Afriana Wahyu: HALAL! Jaminan Yang Terikat Bukan Sekedar Sertifikat

Opini471 Views

RADARINDONWSIANEWS.COM, JAKARTA – Halal dan toyib adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, saat ini Omnibus Law kian trending di kalangan masyarakat, salah satunya mengenai kebijakan penghapusan kewajiban sertifikasi halal.

Aturan ini tercantum dalam Pasal 552 RUU Cipta Lapangan Kerja yang akan menghapus pasal 4, 29, 42, dan 44 UU Jaminan Halal. Dengan dihapusnya Pasal 4 UU Produk Jaminan Halal, maka pasal yang menjadi turunan Pasal 4 juga dihapus.

Jaminan konsumen untuk mendapatkan produk UMKM yang tersertifikasi menjadi salah satu hal yang diusulkan masuk ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Demikian diungkapkan Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki.

Kementeriannya pun mengusulkan agar sertifikasi bukan lagi pada produk jadi, namun pada bahan bakunya.
Dengan demikian, sertifikasi tidak dibebankan kepada pelaku UMKM, namun kepada produsen bahan baku.

Ketua PBNU Robikin Emhas menjelaskan UU ini bertentangan kaedah dasar hukum yakni al ashlu fil asyiya al ibahah illa an yadulla dalil ‘ala tahrimiha (pada dasarnya semua dibolehkan/halal kecuali terdapat dalil yang mengharamkan). Oleh karenanya, UU ini perlu ditinjau ulang secara menyeluruh, karena bertentangan dengan kaedah hukum.

Ditambah mayoritas dari kita adalah muslim yang sangat ingin produk makanan, obat obatan kosmetik yang kita gunakan terjamin kehalalannya. (https://news.detik.com/berita/d-4867585/draf-omnibus-law-hapus-kewajiban-serifikat-halal-ini-sikap-pbnu).

Menyikapi draf yang tercantum dalam Omnibus Law tersebut, sebenarnya yang diperlukan bukan hanya sekedar sertifikasi belaka, namun juga setiap detail pembuatan bahan bakunya,
Karena bisa jadi ada bahan baku yang terkontaminasi dan menyebabkan bahan tersebut tidak layak untuk dikonsumsi.

Sangat jelas, aturan yang berlaku saat ini adalah buah dari sistem yang ada,
Harusnya produk yang beredar adalah wajib halal bukan wajib menggunakan sertifikat halal. Sehingga jaminan halal adalah regulasi yang lahir karena desakan publik semata, tidak sesuai dengan misi negara sekuler sehingga rawan dimanipulasi demi tercapainya kepentingan materialistik.

Menurut prof. Dr. Ir. Anton Apriyantono (mantan menteri RI) akibat dari sistem ini, tidak semua pelaku usaha paham akan halal haram dan ketidakpastian ketentuan halal di masyarakat, akhirnya sertifikat halal menjadi solusi pragmatis.

Sistem kapitalis yang berlaku saat ini hanya berlandaskan pada manfaat, untung atau ruginya saja, tanpa memikirkan baik buruk halal atau haramnya. Rezim sekuler telah gagal melindungi hak publik untuk memberi jaminan halal yang itu semua tentu sangat bersebrangan dengan sistem Islam.

Dalam sistem Islam kaum muslim diwajibkan untuk memakan dan minum yang halal dan toyib seperti yang disebutkan dalam Al-quran
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi ” (Al-baqarah : 168)

Jelaslah hanya sistem islam yang seharusnya diterapkan oleh negara yang akan mampu menjamin keberadaan produk halal di tengah-tengah masyarakat, dan untuk itu masyarakat membutuhkan penerapan Islam secara kaffah.

Dengan menerapkan sistem Islam niscaya umat tidak akan riskan dan ragu, karena semua hukum dan segala aktifitas yang ada berkaitan dengan hukum syara, yang pada akhirnya dalam setiap aktivitas kehidupan baik itu makan, minum, atau pun aktivitas lainnya, hidup akan aman dari pekara-pekara yang di larang syariat. Wallahualam.[]

Comment