Aisyah Karim, S.H*: Pembatasan Impor, Gerbang Kedaulatan Pangan

Opini473 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARYA – Pengusaha memperkirakan pembatasan impor asal China di tengah merebaknya wabah Virus Corona akan mengerek harga barang di Indonesia.

Pasalnya, pembatasan itu akan berpengaruh pada stok barang di dalam negeri.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Bidang Perdagangan Benny Sutrisno mengatakan jumlah pasokan bisa saja tak mencukupi permintaan pasar. Alhasil, harga barang berisiko terkerek (cnnindonesia.com 05/2/2020).

Jika harga barang naik, ujung-ujungnya akan berdampak pada inflasi. Setidaknya, kata Benny, pengaruhnya bisa terasa satu bulan setelah kebijakan pembatasan impor dari China diberlakukan oleh pemerintah. Karenanya, ia mendesak pemerintah untuk meminta pendapat pengusaha sebelum menetapkan kebijakan pembatasan impor dari China. Hal ini dilakukan agar dampaknya bisa ditekan.

Sependapat, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menyatakan pemerintah perlu memberikan waktu kepada pengusaha untuk memastikan ketersediaan pasokan agar tak terjadi kekurangan pangan di pasar. Jika tidak diberikan waktu, otomatis bakal ada lonjakan harga.

Shinta bilang produk pangan yang biasa diimpor dari China, antara lain buah-buahan dan sayuran seperti apel, anggur, jeruk, dan bawang. Ia memproyeksi pembatasan impor ini khususnya akan berdampak pada industri makanan dan minuman (mamin) dan ritel.

Namun, Shinta bilang pihaknya masih harus melihat reaksi pasar setelah aturan pembatasan impor dari China diberlakukan oleh pemerintah.

Jika memang tidak kondusif, dia menyarankan pemerintah hanya mengimbau saja, tetapi tak melarang impor dari China.

Sebelumnya, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menyatakan pemerintah akan membatasi impor asal Negeri Tirai Bambu di tengah penyebaran wabah Virus Corona.

Pemerintah akan segera merilis daftar komoditas apa saja yang impornya akan dibatasi hari ini. Ia meyakinkan pembatasan impor tersebut nantinya tidak akan berdampak kepada ekonomi dalam negeri.

Pasalnya, pembatasan yang dilakukan kemungkinan tidak banyak. Selain hewan, untuk pangan Suhariyanto mengatakan potensi pembatasan kemungkinan akan dilakukan pada impor buah-buahan dan sayur-sayuran. Bahan pangan tersebut merupakan produk makanan yang paling banyak diimpor.

Ditengah sengkerut problematika yang menderanya dari hampir segala sisi, Indonesia tetaplah pada posisinya sebagai negara yang kaya raya sumber daya alamnya termasuk sumber daya alam hayatinya.

Penerapan kapitalisme dan bergabungnya Indonesia dalam jebakan organisasi-organisasi perdagangan dunia, semacam WTO sejatinya telah menyandera ketahanan pangan negeri ini.

Indonesia dipaksa mengimpor banyak komoditas yang sebenarnya tersedia melimpah di dalam negeri hanya demi menggerek keuntungan negara eksportir dan para petani mereka.

Akibat impor ugal-ugalan ini, warta inflasi menghiasi pemberitaan sehari-hari di negeri ini, bahkan 2018 menjadi masa dimana defisit tertinggi terjadi selama kurun 40 tahun terakhir.

Masih tersimpan perihnya aktivitas buang beras busuk160 miliar oleh pemerintah beberapa waktu silam, disusul pemusnahan 10 juta telur demi menstabilkan harga pasar yang menguntungkan kapitalis.

Bagi warga Aceh, kriminalisasi seorang Kades di Aceh Utara karena mengembangkan bibit padi unggulan yang mampu mewujudkan mimpi swasembada pangan Indonesia juga menjadi trauma tersendiri.

Inilah sekelumit derita anak negeri yang di dzalimi oleh mentalitas gila untung kapitalis dan kroni-kroninya.

Kini Allah hadirkan corona sebagai sebuah hikmah yang akan menjadi wasilah bagi bangkitnya kemandirian pangan Indonesia.

Mau tidak mau pemerintah dibuat dilematis antara menyelamatkan neraca dagang para importir kapitalis dan segelintir elit yang mendapat fee karenanya ataukah merelakan negara ini menjadi tempat berkembang biak virus mematikan itu.

Virus ini kelak tidak akan memilih korbannya, bukan hanya menyasar mereka yang miskin, yang berlimpah kemewahan pun tak mampu lari darinya.

Hingga kini nilai impor barang konsumsi lebih kecil dibandingkan impor barang modal dan barang baku penolong. Berdasarkan data BPS pada Mei 2018, impor barang konsumsi mencapai USD 1,73 miliar.

Sementara itu, nilai impor barang modal dan bahan baku penolong adalah USD 2,81 miliar dan USD 13,11 miliar (wartaekonomi.co.id).

Terdapat tiga negara importir besar bagi Indonesia selama 2019. Posisi terdepan di tempati China dengan nilai impor USD 24,73 miliar selanjutnya disusul Jepang dan Thailand.

Sampai disini jargon ekonomi kerakyatan, ekonomi pancasila dan semacamnya terbukti hanya cek kosong. Rezim ini sudah meneguhkan keberadaannya sebagai penopang ekonomi neoliberalisme. Inilah konsekuensi logis kebijakan liberalisasi ekonomi.

Rakyat menjadi sasaran empuk, kesulitan kepayahan mempertahankan hidup. Sementara birokrat bermain mata dengan para kapitalis, menjamin tersedianya semua regulasi untuk memuluskan kepentingan mereka.

Jika dicermati secara mendalam akar masalah yang disebut sebagai alasan impor pangan sesungguhnya bukan semata soal kelangkaan barang alias scarcity.

Tetapi soal kegagalan negara dalam mewujudkan kemandirian pangan dan kekacauan distribusi yang berhubungan dengan maraknya praktik spekulasi dan kartel pangan di satu sisi dan rendahnya daya beli disisi yang lain.

Pada titik inilah seharusnya pemerintah mengarahkan pandangannya, bagaimana pemerintah berupaya mengembalikan kedaulatan pangan dan mengakhiri ketergantungannya kepada impor. Kemudian mengurai permasalahan distribusi sehingga barang dapat beredar dengan luas dan merata.

Kita semua telah letih dan nyaris kehabisan daya untuk bertahan. Inilah kesempatan yang Allah berikan. Semua kembali kepada kita, mau mengambil peran dan melepaskan diri dari gurita China ataukah apatis dan putus asa.

Tanah dan sumber daya di depan mata, jangan biarkan Allah murka. Waktunya bagi kita mengambil konsep Allah untuk memgembalikan kemandirian ekonomi khususnya kedaulatan pangan negara ini. Maka dibutuhkan perubahan yang mendasar dalam tata kelola pangan dan pertanian. Inilah urgensinya kita kembali ke metode yang pernah dijalankan Rasulullah dan dilanjutkan oleh para Khalifah sepanjang 1300 tahun dalam peradaban gemilang, Khilafah.

Untuk merealisasikan kedaulatan pangan, dahulu para Khalifah menjalankan politik ekonomi Islam dalam pengelolaan pangan dan pertanian. Secara politik, syariah Islam menetapkan negara wajib bertanggung jawab secara penuh dalam pengurusan hajat publik.

Sebab pemerintah adalah penguasa yang memiliki 2 peran yang tak tergantikan yaitu sebagai pelayan dan sebagai pelindung (junnah).

Hal ini telah ditegaskan Rasulullah SAW dalam hadits beliau: “Sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus (urusan rakyatnya), dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad). Tanggung jawab ini mutlak diemban oleh Khalifah tanpa boleh dialihkan kepada pihak lain apalagi korporasi.

Sebagai wujud tanggung jawabnya, negara Khilafah hadir secara utuh dalam pengelolaan pangan mulai dari aspek hulu hingga hilir.

Dari aspek hulu, negara bertanggung jawab menjamin berjalannya proses produksi dan menjaga stok pangan. Seperti memberikan kemudahan mengakses bibit terbaik, teknologi pertanian terbaru, menyalurkan bantuan subsidi, membangunkan infrastruktur pertanian, jalan, komunikasi dan sebagainya.

Termasuk menyelenggarakan riset-riset, pendidikan, pelatihan, pengembangannya. Negara menerapkan hukum pertanahan dalam Islam sehingga mencegah penguasaan lahan dan menjamin semua tanah terkelola dengan optimal.

Pada aspek distribusi dan stabilisasi harga, secara prinsip distribusi dan pembentukan harga dalam pandangan Islam mengikuti hukum permintaan dan penawaran yang terjadi secara alami, tanpa adanya intervensi negara. Pemerintah hanya perlu melakukan pengawasan jika terjadi kondisi yang tidak normal.

Pada kondisi harga tidak normal, Khilafah akan mengambil dua kebijakan utama yaitu pertama menghilangkan penyebab distorsi pasar seperti penimbunan, kartel, monopoli dan sebagainya. Kedua dengan menjaga keseimbangan supply dan demand.

Tanggung jawab penuh dari negara Khilafah ini akan menjamin pemenuhan pangan rakyat terjadi secara merata, mencukupi dan harganya pun terjangkau. Dukungan total negara dalam berproduksi, tentu akan menggairahkan petani berusaha.

Begitupula distribusi yang dikawal negara akan menciptakan pasar yang sehat.

Sehingga apabila pengurusan pangan dalam negeri telah dikelola dengan baik, maka kebutuhan untuk impor pangan akan hilang dan kedaulatan pangan benar-benar terwujud. Bagaimana, Berani?.[]

*Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Comment