Arini Faaiza*: Pernikahan Dini, Antara Jalan Pintas dan Solusi

Opini499 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Masa muda masa yang berapi-api, yang maunya menang sendiri, walau salah tak peduli, Darah muda…..

Biasanya para remaja, berpikirnya sekali saja, tanpa menghiraukan akibatnya
Wahai kawan para remaja, waspadalah dalam melangkah, agar tidak menyesal akhirnya

Penggalan lirik lagu yang pernah dipopulerkan oleh si Raja Dangdut, H. Rhoma Irama ini begitu mewakili dan menggambarkan kehidupan remaja pada masanya.

Kini, puluhan tahun berlalu setelah lagu tersebut populer, kehidupan remaja justru kian mengkhawatirkan dengan berbagai permasalahannya. Seperti yang terjadi saat ini, tepatnya di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, ada sekitar 400 pasangan dengan usia di bawah 19 tahun mengajukan perkawinan.

Padahal sesuai dengan Undang-Undang No 16 Tahun 2019 sebagai perubahan dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang menyebutkan bahwa batas usia menikah laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun.

Meningkatnya pengajuan pernikahan dini di Kabupaten Bandung dikarenakan sang calon mempelai wanita tengah berbadan dua alias hamil sebelum menikah atau yang lazim disebut married by accident (MBA). (ayobandung.com, 10/10/2020).

Saat ini, hamil sebelum menikah tak lagi dianggap tabu, bahkan menjadi hal yang lumrah terjadi di tengah masyarakat. Saat ini pergaulan bebas menjadi fakta yang tak terbantahkan.

Hal ini sebagai akibat masifnya gempuran budaya asing yang masuk ke negeri ini tanpa melalui filterisasi. Sehingga apapun yang dibawa budaya tersebut langsung diserap oleh masyarakat terutama kawula muda.

Akibatnya gaya hidup hedonis khas kapitalis telah mencengkeram generasi muda melalui fun, food and fashion. Dengan perantara media sosial para remaja digiring untuk memuja kesenangan duniawi, dan melupakan jati diri mereka sebagai seorang muslim.

Tidak adanya kontrol masyarakat dan payung hukum yang mumpuni merupakan penyebab lain dari berbagai permasalahan dalam kehidupan remaja sehingga semakin jauh dari syariat.

Pergaulan bebas yang marak terjadi baik terhadap lawan jenis maupun sesama jenis saat ini menjadi hal yang biasa terjadi di kalangan remaja. Akibatnya berbagai kemaksiatan seperti kejahatan seksual, hamil di luar nikah, hingga aborsi kerap menimpa kalangan remaja.

Gayung pun bersambut, klinik penyedia jasa aborsi kian menjamur, salah satunya adalah klinik aborsi ilegal yang berkedok klinik pengobatan yang beberapa waktu lalu digrebek polisi.

Bertempat di Jalan Raden Saleh, Senen, Jakarta Pusat. Klinik tersebut telah beroperasi selama lima tahun, dan dalam kurun waktu satu tahun yakni dari 1 Januari 2019 hingga 10 April 2020 tercatat telah melakukan aborsi kepada 2.638 pasien. (mediaindonesia.com, 20/8/2020).

Sungguh sangat memprihatinkan, akan tetapi inilah yang terjadi ketika pilar pengokoh individu, masyarakat dan negara tak lagi mampu menahan gencarnya gempuran pemikiran asing. Maka sedikit demi sedikit akidah, akhlak dan norma-norma yang berlaku di masyarakat pun mulai terkikis.

Dipeluknya demokrasi sebagai ideologi negara menjadi salah satu penyebab karut marutnya negeri ini, karena tak ada solusi tuntas bagi setiap permasalahan yang terjadi hampir di setiap sendi kehidupan masyarakat, termasuk dalam hal pergaulan remaja.

Demokrasi sekuler yang mengadopsi kebebasan berpendapat sebagai ciri khasnya, nyatanya hanya menganggap persoalan pergaulan adalah masalah pribadi dan tak ada hubungannya dengan negara.

Alhasil sebagian masyarakat pun berpendapat demikian. Dengan alasan untuk menutupi aib dan menjaga nama baik keluarga, tanpa memandang halal haram dalam hukum syariat, remaja yang telah telanjur tercebur dalam pergaulan bebas hanya cukup dinikahkan saja, dan semua persoalan pun akan selesai dengan sendirinya.

Lalu, bagaimana Islam memandang permasalahan tersebut? Islam adalah agama paripurna, di dalamnya terdapat aturan yang menyeluruh yang bersumber dari Allah Swt. melalui Al-Qur’an dan as-sunnah.

Segala aktivitas manusia pun terikat pada aturan syariat, baik sistem ekonomi, pemerintahan, bahkan dalam pergaulan, memilih pasangan hingga dalam pernikahan, tak ada satu pun yang luput dari hukum Islam.

Di dalam sistem Islam, pengokohan akidah dan akhlak bukan hanya menjadi tugas individu, keluarga dan masyarakat, akan tetapi juga menjadi tugas negara sebagai pemangku kebijakan.

Oleh karenanya negara membatasi aktivitas laki-laki dan perempuan agar tak terjadi interaksi berlebihan di antara mereka yang bukan mahram, seperti bercampur baur (ikhtilat), berdua-duaan (khalwat), dan hal-hal lain yang akan menghantarkan pada dosa zina.

Selain itu, peran penjagaan negara terhadap rakyat juga direalisasikan dalam bentuk penegakan sanksi bagi pelaku sesuai dengan firman Allah Swt.:

“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman.” (TQS. An-Nur [24]: 2)

Pemberlakuan sanksi tegas tersebut agar menjadi jawabir yakni penebus siksa di akhirat dan jawazir yaitu mencegah hal yang serupa terulang kembali, sehingga akan menimbulkan efek jera bagi pelaku zina dan pencegah bagi pribadi lain untuk terjerumus pada hal serupa.

Sedangkan pernikahan yang terjadi ketika sang perempuan telah hamil akibat pergaulan bebas, terjadi beberapa perbedaan pendapat ikhtilafiyah di kalangan ulama mazhab di dalamnya. Pertama, haram dinikahkan. Ini merupakan pendapat mazhab Maliki, Abu Yusuf dan Zafar dari mazhab Hanafi, termasuk Ibn Taimiyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah.

Kedua, boleh dinikahkan tanpa syarat. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Muhammad dari mazhab Hanafi dan mazhab Syafii.

Ketiga, boleh dinikahkan dengan syarat kehamilannya telah berakhir dan bertobat dengan tobatan nashuha. Ini merupakan pendapat mazhab Hanbali.

Tujuan dari pernikahan di dalam Islam adalah untuk menyempurnakan ibadah kepada Allah Swt. dan tata caranya pun harus mengikuti ketentuan syariat. Bukan sekadar menutupi aib akibat pergaulan bebas seperti yang marak terjadi saat ini.

Demokrasi telah memberikan setiap individu kebebasan berpendapat dan berperilaku sehingga menyuburkan perzinaan dan kemaksiatan.

Sedangkan ideologi Islam memberikan penjagaan dan perlindungan kepada individu, masyarakat dan negara, dalam menjalani kehidupan sesuai dengan tuntunan syariat.

Melindungi sekaligus menjaga generasi muda sebagai penerus peradaban dari segala bentuk kemaksiatan, agar kelak menjadi pemimpin yang tangguh baik dalam segi ilmu pengetahuan maupun keimanan, yang mampu menerapkan hukum-hukum Islam dalam segala aspek kehidupan.

Sehingga keberkahan Allah Swt. akan terlimpah dari langit dan bumi, dan Islam benar-benar menjadi rahmat bagi alam semesta. Seperti telah Allah Swt. abadikan dalam firman-Nya:

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (TQS. Al-Anbiya [21] : 107).

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS. Al-A’raf [7] : 96). Wallahu a’lam bi ash shawab.[]

*Pegiat Literasi, Member AMK

Comment