Arini Gardinia*: Korporasi Ibu Pertiwi

Opini476 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Begitu gencarnya Ketua Komite Tenaga Kerja dan Jaminan Sosial untuk Upah Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Aloysius Budi Santoso mengatakan, dengan Omnibus Law Ciptaker diharapkan terjadi perubahan struktur ekonomi yang akan mampu menggerakkan semua sektor. Dia mengatakan, hal itu juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi mencapai 5,7 hingga 6 persen.

Untuk dapat bertumbuh sebesar 6 persen di tahun 2024, kata Budi, maka pertumbuhan investasi harus sebesar 40 persendari nilai investasi di tahun 2019, atau dari rata rata Rp 3.200 triliun pada periode 2015-2019 menjadi rata rata Rp 4.400 triliun pada periode 2020-2024.

Di sisi lain, hingga saat ini, RUU Omnibus Law Cipta Kerja masih menuai banyak penolakan. Penolakan terhadap RUU ini terdiri dari seluruh lapisan masyarakat. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), KSPSI AGN, dan FSP Kahutindo keluar dan mengundurkan diri dari tim teknis Omnibus Law RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan.

Karena diduga kehadirannya hanya sebuah jebakan dan legitimasi untuk mengesahkan RUU Cilaka ini. Sejalan dengan Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronik, dan Mesin Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP LEM SPSI) menyatakan dengan tegas menolak revisi RUU Omnibus Law klaster Ketenagakerjaan.

Penolakan selanjutnya datang dari Serikat Pekerja PT PLN (Persero). Ketua Umum DPP SP PT PLN Persero M Abrar Alib mengatakan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja berpotensi menimbulkan terjadinya liberalisasi dalam tata kelola listrik di Indonesia. SP PLN khawatir jika swasta menguasai ketenaga listrikan. Abrar mencontohkan kasus padamnya listrik yang sempat terjadi di Pulau Nias karena masalah kerja sama dengan swasta.

Gara-gara pemadaman tersebut internet tidak berfungsi, ekonomi terhenti, bahkan sistem keamanan terganggu.

Senada, Ketua Bidang Kampanye dan Jaringan YLBHI Arip Yogiawan mengatakan, masyarakat sipil juga dengan tegas menolak disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Berikut hanya sekelumit penolakan yang ada dalam artikel ini. Sebenarnya masih banyak penolakan yang menggunung. Banyak penolakan seharusnya dapat diartikan sebagai ketidak cocokan, ketidak berpihakan pemerintah dengan rakyat, serta adanya keistimewaan hukum terhadap kepentingan asing dan aseng yang dibungkus dengan slogan “mendorong pertumbuhan ekonomi”.

Penelitian World Economic Forum (WEF) tahun 2017 menunjukkan terdapat 16 faktor yang menjadi penghalang iklim investasi di Indonesia.

Dari 16 faktor, peraturan ketenagakerjaan hanya berada dalam posisi ke-13 sebagai faktor yang mempengaruhi ada tidaknya investor menanamkan modalnya di Indonesia.

Namun anehnya faktor ke-13 inilah yang menjadi fokus utama pemerintah. Sedangkan korupsi menjadi kendala utama yang disusul oleh inefisiensi birokrasi, infrastruktur tidak memadai, kebijakan dan ketidakstabilan pemerintah.

Padahal, sejatinya masuknya investasi ≠ terciptanya lapangan kerja. Hubungan antara investasi dan penyerapan tenaga kerja terus mengalami penurunan.

Jika sebelumnya investasi 1 triliun rupiah akan menyerap 5.000 tenaga kerja, kini untuk jumlah triliun rupah yang sama yang terserap hanya 2.200 tenaga kerja.

Kaitan antara pertumbuhan ekonomi dengan penyerapan tenaga kerja juga semakin longgar. Pada tahun 2013, setiap 1% pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 750.000 tenaga kerja, di tahun 2019 dengan jumlah pertumbuhan ekonomi yang sama hanya mampu menyerap 110.000 tenaga kerja (Sumber : BPS)

Penjelasan diatas membuat rakyat semakin yakin bahwa menciptakan RUU Omnibuslaw Cipta Kerja bukanlah solusi terbaik untuk menciptakan lapangan kerja. Namun sebagai bentuk legitimasi asing dan aseng untuk berinvestasi (re : eksploitasi) di Indonesia. Kaum pekerja dan umat ini membutuh riayah ketenagakerjaan Islam yang mengeliminir terjadinya konflik antara pekerja dan pengusaha serta memberi solusi paripurna atas problem ketenagakerjaan.

Tentu hal ini tidak akan terjadi pada negara yang menjadikan Islam sebagai ideologi. Ideologi Islam menyatakan bahwa bekerja untuk menafkahi keluarga adalah kewajiban bagi setiap laki-laki baligh dan mampu. Oleh karena itu, negara wajib menyediakannya.

Islam pun dengan seperangkat tata aturan ketenagakerjaan yang lengkap dan detail. Mulai dari sistem pengupahan, waktu kerja, pekerjaan apa yang boleh dan tidak boleh dikerjakan, hingga jika terjadi perselisihan antara majikan dan pekerja. (Taqiyudin An-Nabhani. Sistem Ekonomi Islam.)

Untuk tenaga kerja asing, negara Islam pun mengaturnya. Tidak semua tenaga kerja asing dari berbagai negara bisa masuk dan bekerja di wilayah negara Islam.

Islam membagi negara-negara di luar negara Islam ke dalam beberapa status. Status negara ini akan berpengaruh bagi perlakuan negara Islam terhadap warga negara tersebut. Untuk negara dengan status muhariban fi’lan (memerangi kaum muslimin secara nyata) seperti Cina, Amerika Serikat, Rusia, dan Israel keberadaan warga negaranya di wilayah negara Islam hanya untuk mempelajari Islam.

Tidak boleh bekerja ataupun berdagang. Karena visa (al aman) yang diberikan sebatas hanya untuk itu. Jika terjadi pelanggaran atas ijin ini, maka negara Islam akan mendeportasinya, bisa dipenjara atau sanksi lain yang dianggap tepat oleh hakim, disesuaikan dengan tingkat kejahatan.

Selain itu mengundang masuk tenaga kerja asing dari negara kafir harbi fi’lan, jelas mengancam kedaulatan negara, baik dalam aspek keamanan, daya beli dan daya saing ekonomi, maupun yang lain.

TerIebih, ketika warga negaranya sendiri membutuhkan lapangan kerja, dan seharusnya lapangan kerja itu menjadi hak mereka, lalu diserobot oleh warga negara lain. Kebijakan seperti ini jelas tidak akan dilakukan oleh Kepala Negara Islam, karena akan mengancam ketahanan negaranya sendlri.

Terlebih, ketika tenaga kerja asing dari negara kafir harbi fi’lan itu jelas-jelas musuh kaum Muslim. Kaum Muslimin mengalami serangan dan diskriminasi di wilayahnya.

Mereka juga mempunyai kepentingan untuk menguasai sumber daya alam, energi dan kekayaan alam lainnya. Bahkan, terbukti mereka juga melakukan berbagai tindak kriminal yang merusak, seperti produksi dan perdagangan narkoba. Terhadap negara kafir harbi fi’lan negara Islam akan menutup rapat pintunya, dan ekstra hati-hati. Karena hukum asalnya, negara seperti itu, begitu juga rakyatnya, adalah musuh negara Islam.

Hubungan negara Islam dengan negara kafir harbi fi’lan adalah hubungan perang. Karena itu, tidak mungkin negara Islam membuka ruang baik kepada negaranya maupun rakyatnya untuk keluar masuk wilayahnya, baik berdagang maupun bekerja.

Dalam kondisi perang seperti ini, sangat riskan karena bisa jadi mereka melakukan aksi spionase terhadap negara Islam.

Sementara untuk negara yang berstatus kafir muhariban hukman (negara kafir yang tidak memerangi Kaum muslimin secara nyata), baik yang terikat perjanjian dengan negara Islam [mu’ahad], maupun bukan, seperti Jepang, Korea, dan negara-negara yang tidak terlibat langsung dalam memerangi Islam dan kaum Muslim, maka mereka boleh keluar masuk wilayah negara Islam tanpa visa khusus, sebagaimana kafir harbi fi’lan.

Mengenai boleh dan tidaknya mereka berdagang atau bekerja, bergantung pada perjanjian antara negara mereka dengan negara Islam. Jika perjanjiannya meliputi perdagangan dan jasa, maka mereka boleh berdagang dan bekerja di wilayah negara khilafah. Jika tidak, maka tidak boleh.

Inilah hukum Islam dalam penataan tenaga kerja. Baik asing maupun tenaga kerja lokal. Hukumnya yang detail dan terperinci adalah satu-satunya solusi bagi persoalan ketenagakerjaan saat ini.[]

Comment