Astri Ayung*: UKT Tinggi, Beban Baru Era Pandemi

Opini535 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Pendidikan menempati peran penting untuk mewujudkan sebuah peradaban sebuah bangsa.

Sebagaimana diamanatkan UUD’45, setiap orang berhak mengenyam pendidikan mulai usia dini hingga perguruan tinggi.

Namun, pendidikan saat ini belum bisa dinikmati semua orang di negeri ini. Hal ini disebabkan biaya yang tinggi dan menjadi penghalang utama mereka mendapatkan pendidikan di negeri yang kaya sumber daya alam ini.

Biaya pendidikan mulai dari tingkat terendah hingga tertinggi, terganjal biaya yang tidak sedikit. Walhasil, banyak anak Indonesia putus di tengah jalan, tidak bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.

Dunia pendidikan di Indonesia kini memasuki masa pelik. Bukan saja karena masa pandemi yang tak kunjung usai, pola dan proses pembelajaran pun mengalami pergeseran.

Belum lagi dari sisi pembiayaan pendidikan, terlebih di tingkat universitas, biaya UKT tetap harus dibayar penuh. Sehingga menimbulkan reaksi dari mahasiswa sebagai peserta didik itu sendiri.

Berbagai gerakan dari kalangan mahasiswa perwakilan berbagai kampus dan daerah melakukan unjuk rasa menyampaikan protes atas minimnya perhatian pemerintah terhadap keadaan mahasiswa di tengah pandemi.

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam aliansi Gerakan Mahasiswa Jakarta Bersatu melakukan aksi unjuk rasa di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Mereka meminta adanya audiensi langsung dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim guna membahas aspirasi mereka terhadap dunia perguruan tinggi, salah satunya masalah pembiayaan kuliah di masa pandemi. (detik.com).

Unjuk rasa juga terjadi di Universitas Brawijaya (UB). Puluhan mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) melakukan aksi demonstrasi menuntut penurunan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di tengah pandemi corona di Kampus UB, Jalan Veteran Kota Malang, Jawa Timur, Kamis 18 Juni 2020..

Namun hingga selesai mediasi tidak ada titik temu antara rektorat dengan mahasiswa (okezone.com).

Begitupun di kampus Universitas Negeri Islam (UIN) Banten. Menurut Presiden Mahasiswa (Presma) UIN Banten Ade Riad Nurudin dalam orasinya, aksi ini dilatarbelakangi karena keluhan dan keresahan yang dialami oleh mahasiswa UIN Banten atas tidak adanya titik terang dari pimpinan kampus mengenai kebijakan yang diharapkan mahasiswa soal penggratisan atau pemotongan UKT semester depan.

Menurutnya, pihak kampus tak serius menanggapi keluhan mahasiswa. Meski begitu, Ade mengaku bahwa rektorat sempat memberikan janji untuk memberikan subsidi berupa gratis kuota internet untuk mahasiswa, namun hingga saat ini belum diberikan (bantennews.co.id).

Berbagai aspirasi dan protes yang disampaikan mahasiswa nampaknya tidak mendapat respon dari pemerintah. Meski akhirnya Mendikbud menetapkan skema penurunan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan menjanjikan realokasi dana sebesar Rp1 triliun yang akan diberikan kepada Perguruan Tinggi Negri (PTN) dan Swasta (PTS).

Namun alokasi dana tersebut akan diprioriotaskan untuk mahasiswa di Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Untuk mendapatkan bantuan Dana UKT, mahasiswa harus memenuhi sejumlah kriteria yang disyaratkan.

Bantuan ini juga hanya diberikan kepada mahasiswa yang sedang menjalankan masa kuliahnya. Penerima Dana Bantuan UKT juga bukan mahasiswa yang sudah mendapatkan KIP-kuliah, sehingga  tidak ditujukan untuk mahasiswa baru.

Padahal selama Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) mahasiswa harus mempersiapkan tambahan kebutuhan dana quota internet yang tidak kevil. Banyak mahasiswa yang mengeluh mahalnya kuota internet yang membuat pengeluaran mereka semakin bertambah.

Kuliah daring (dalam jaringan) pada akhirnya hanya menambah beban orangtua yang sedang kesulitan ekonomi. Terlebih beban biaya pendidikan yang tetap mencekik.

Jika biasanya dalam sebulan menghabiskan sekitar Rp100 ribu untuk kuota internet, maka selama PJJ bisa sampai Rp400 ribu. Belum lagi mereka tetap diharuskan membayarkan UKT penuh walau mereka kuliah di rumah masing-masing selama pandemi dan tidak menikmati fasilitas kampus.

Kondisi wabah pandemi ini kemudian menelanjangi ketidak-mampuan sistem sekuler mengelola kehidupan termasuk persoalan pendidikan.

Penguasa seolah tutup mata dengan kondisi rakyat yang harus berjuang sendiri melawan keganasan virus corona, ditambah beban biaya pendidikan yang semakin berat.

Semestinya umat menyadari bahwa pendidikan adalah hak warga negara-baik muslim maupun non muslim- dan negara wajib menyediakan dengan sarana dan prasarana pendukung secara gratis dan berkualitas.

Memaklumi kehadiran negara hanya berwujud pada penurunan biaya, termasuk UKT di masa pandemi sama saja dengan membiarkan berlangsungnya pendidikan sekuler yang mengamputasi potensi generasi khoiru ummah.

Tiadanya kritik terhadap kewajiban negara menyediakan pendidikan gratis artinya melestarikan tata kelola layanan masyarakat yang menyengsarakan karena lepasnya tanggungjawab penuh negara. Wallahu’alam.[]

*Praktisi pendidikan

Comment