 |
Foto:Haris/Globalindonesia |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Sindo Trijaya FM selenggarakan diskusi publik bertema “Media Sosial, Hoax Dan Kita” di Warung Daun Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (7/1). Diskusi publik yang dihadiri sekitar 40 undangan tersebut dimoderatori oleh Pangeran Ahmad Nurdin dari Harian Sindo.
Dalam kesempatan tersebut, Pangeran Ahmad Nurdin (Koran Sindo) mengatakan, fenomena berita hoax di media sosial menjadi isu nasional yang banyak diperbincangkan. Pemerintah pun tengah berupaya keras memberantas hoax yang banyak beredar di media sosial, mulai dari revisi UU ITE hingga rencana pembentukan Badan Cyber Nasional. Bahkan pemerintah juga melakukan penangkapan, pemeriksaan dan pemblokiran terhadap situs yang dianggap meresahkan.
“Banyak kalangan menilai tindakan represif ini cermin ketidakberdayaan pemerintah terhadap dahsyatnya pengaruh medsos. Diakui ada info hoax beredar namun banyak info-info itu benar dan nyata kejadiannya namun tidak dicover media mainstream.” Ujar Ahmad Nurdin.
Semuel Abrijani Pangerapan, Dirjen Aplikasi Informatika Kemenkominfo yang hadir dalam diskusi tersebut mengatakan, kita sudah punya UU ITE yg mengatur bagaimana mengelola dan memantau penggunaan medsos. UU ITE mengatur transaksi dan juga penggunaan media sosial di Indonesia.
“Kita lakukan pemblokiran terhadap beberapa situs situs tersebut adalah tahap warning. Banyak situs situs yg mengaku situs jurnalistik, namun tidak mengikuti kaidah. Hoax itu penyebaranya massif, akan susah bagi pemerintah untuk melihat lebih dalam.” Ujar Samuel.
Menyikapi hal tersebut, Sukamta, Komisi 1 DPR RI mengatakan, Hoax tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial yang berkembang di masyarakat. Sejak media sosial muncul, kemudian menjadi massif saat Pilkada 2014,dan berlanjut hingga sekarang. Seharusnya dibuatkan PP terlebih dahulu agar ada kejelasan peraturan tentang penggunaan media sosial. Pemerintah seharusnya segera membuat tata kelola konten yang positif dan dianjurkan, agar jelas batasannya.
Effendi Simbolon, Komisi 1 DPR RI menyayangkan sikap pemerintah yang terlalu reaktif sehingga timbul kepanikan.
“Saya mendukung pemerintah membentuk Badan Siber Nasional, tapi jangan untuk mengatur orang. Dinamika komunikasi antar manusia antar negara, biarlah berjalan dengan apa adanya. Saya dorong pemerintah lebih rileks dalam menyikapi netizen, toh mereka dulu berjasa dalam pemenangan.” Kilahnya.
Sementara itu, Sodiq Ramadhan Sekretaris Forum Jurnalis Muslim mengatakan, sebagian besar media media yang di blokir telah berbadan hukum. Perusahaan Pers itu harus memenuhi syarat untuk sebuah perusahaan pers, dan seharusnya terdaftar di Dewan Pers.
“Selain badan hukumnya, kita perlu lihat juga konten berita sebuah media pers. Isinya harus sesuai dengan kode etik jurnalistik. Ketika ada yang menilai konten dari media yang dianggap sara, radikal, itu siapa yang menilai? Bicara media Islam, tidak melulu motivasinya tentang materi. Media Islam menganut prinsip Tabayyun.” Ujar Sodiq.
Di tempat yang sama, Pratama Pershada, Pakar Teknologi Informasi Dan Kriptografi Chairman CISSReC mengkritisi tindakan pemerintah yang represif dengan pemblokiran terhadap beberapa situs yang dianggap menyebarkan fitnah dan hoax.
.
“Orang yang membaca tulisan tersebut, tidak semua dalam pemahaman yang sama. Sebenarnya agak aneh ktika pemerintah bilang diblokir dulu baru diadakan normalisasi. Saat ini masyarakat menjadikan dirinya sebagai media, fenomena ini sangat sulit dibendung.” Cetusnya.
Imam Wahyudi dari Dewan pers, yang juga hadir sebagai pemateri dalam diskusi publik tersebut menyatakan hoax sekarang ini sudah dalam kondisi berbahaya bagi bangsa. Jika sudah jelas itu hoax, langsung hukum saja pelakunya. Tidak perlu warning warning.
“Masyarakat berhak mencari edukasi untuk menambah pengetahuan di internet. Pemerintah gas dan rem nya harus sama dalam menyikapi peredaran hoax. Pemerintah juga harus lebih giat lagi untuk mengcounter apa informasi yg disampaikan di ruang publik untuk menghindari hoaiskusi publik tersebut.(haris/Gin)
Post Views: 608
Comment