Cinta Indhira, Rasa Yang Tak Hanya

Novel560 Views

 

 

 

Sebuah Novel

Karya: Athfah Dewi

____________

 

Bab 1. Rahim Yang Berisi

“Sekali lagi papa tanya, siapa laki-laki kurang ajar itu?” tanya Papa dengan rahangnya yang masih mengeras, sehingga wajah dan kedua matanya memerah.

“Aku gak tahu, Pa. Aku gak tahu …,” jawabku frustasi.

Jawaban itu juga yang sejak tadi aku berikan kepadanya. Aku benar-benar tidak tahu siapa yang sudah melakukan perbuatan bi**ab ini. Menanam benih dalam rahimku dengan paksa.

Ya, meski aku tidak tahu kapan hal menjijikkan itu terjadi. Namun, sudah tentu apa yang laki-laki bej*at tersebut lakukan adalah dengan paksa. Karena, aku tidak pernah berpikir untuk melakukan hubungan terlarang dengan siapapun.

“Kamu keterlaluan! Teganya membuang kotoran di muka papa! Kamu ingin papa mati menyusul mama, iya?” Telunjuk laki-laki cinta pertamaku itu mengarah lurus ke muka yang basah ini. “Aghhh …,” rintih Papa tiba-tiba dan kemudian dia tersungkur.

“Papa …!” Perempuan bermuka dua yang sejak tadi memegang lengan Papa berteriak. Lalu, meraih tubuhnya. “Dhira! Siapkan mobil, kita ke rumah sakit!” perintahnya.

Andai tidak sedang dalam keadaan darurat seperti ini, aku tidak akan pernah sudi melakukan perintahnya itu. Namun, melihat Papa yang meringis sambil memegang dada, aku terpaksa menurunkan egoku.

Gegas aku ke luar dan menyalakan mobil. Perempuan itu datang sambil memapah Papa yang berjalan dengan sangat kesusahan.

Aku turun dan membantu membawa Papa ke mobil. Lalu, cepat menancap gas menuju rumah sakit.

Kurang dari tiga puluh menit, kami sampai di rumah sakit terdekat. Kemudian, langsung membawa Papa ke ruang IGD.

Aku tidak ikut masuk ke ruangan. Namun, duduk di bangku tunggu dengan perasaan yang sulit digambarkan.

Ya Allah … andai aku masih layak untuk memohon, tolong … selamatkan papa. Karena, hanya dia satu-satunya yang kupunya di dunia ini. Meski sekarang, sudah tak ada lagi cinta di hatinya untukku.

Aku mengusap pipi yang basah. Kenapa semua ini menimpaku? Sungguh, aku tidak bisa mengerti.

Aku harus kehilangan mama yang sangat menyayangiku. Separuh jiwaku pergi bersama jasadnya yang ditimbun tanah waktu itu. Hari-hariku hampa tanpa kehadirannya yang selalu membuatku tersenyum bahagia.

Belum kering luka di hati ini. Beberapa bulan kemudian, Papa tiba-tiba membawa seorang perempuan dan mengenalkannya sebagai calon mama sambungku.

Tentu saja aku menolak. Mamaku hanya satu, dan tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun. Apalagi perempuan matrealistis itu.

Namun, Papa sudah terbuai bujuk rayunya. Sampai-sampai, tidak lagi mempedulikan aku. Dia tetap menikahinya.

Untuk kedua kalinya, duniaku kembali runtuh. Satu-satunya orang yang kuharapkan bisa membantu menyembuhkan luka di hati ini, malah berpaling.

Aku benci! Aku jijik mereka berdua.

Apalagi, ternyata perempuan itu mempunyai satu orang anak. Usianya, dua tahun di bawahku. Sama seperti mamanya, dia pun sangat menyebalkan dan pandai sekali mengambil hati Papa.

Sehingga lambat laun, Papa pun lebih menyayanginya dibanding aku. Aku yang anak kandung selalu salah di matanya. Sedangkan dia, selalu dipujinya setinggi langit.

Aaah! Aku benci hidup ini! Apalagi sekarang, kenapa bisa aku hamil? Siapa yang sudah menodaiku?

Aku tidak punya pacar. Karena, aku benci hubungan antara laki-laki dan perempuan itu yang katanya berlandaskan cinta. Cinta macam apa? Sebab, kenyataannya mereka mudah sekali berpaling.

Seperti Papa. Belum satu tahun ditinggal Mama, dia sudah memiliki perempuan lain dan melupakannya.

Selain Papa, aku mempunyai satu orang sahabat. Ya, mungkin sekarang dia bisa menolongku. Karena, ternyata Papa hanya bisa menyalahkan tanpa memberiku solusi.

Kucari ponsel di dalam tas. Lalu, memanggil Dhimas.

“Apa, Ra?” tanyanya dari seberang sana tidak lama setelah nada sambung terdengar.

“Dim, kamu bisa ke sini?”

“Ke mana?”

“Rumah sakit yang gak jauh dari rumahku.”

“Kamu sakit?” tanyanya. “Oke, aku ke sana sekarang.”

Tanpa sempat aku menjelaskan, Dhimas sudah menutup sambungan teleponnya.

Aku hanya menarik napas. Dia memang seperti itu. Selalu khawatir dengan apa yang terjadi kepadaku.

Ya, seharusnya tadi aku bercerita kepada Dhimas saja. Bukan kepada Papa tentang apa yang sedang dialami sekarang. Karena sepertinya, Dhimas akan bisa memberiku solusi atas apa yang sedang kualami.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Aku hanya bisa berharap, Papa baik-baik saja dan Dhimas bisa membantuku.

“Ra, kamu sakit apa?” tanya Dhimas tiba-tiba.

“Kamu ngebut lagi, ya?” tanyaku agak terkejut, lalu bangkit. Karena baru beberapa menit, dia sudah berada di sini.

“Kamu sakit? Apa yang kamu rasakan? Kata dokter bagaimana?” tanyanya lagi sambil menatap dan memegang bahuku kuat sekali.

“Bukan aku yang sakit,” jawabku sambil berusaha melepaskan tangan Dhimas.

“Lah, terus?” Dia mengerutkan dahinya.

“Papa.”

“Papa kamu sakit apa?”

“Gak tahu.” Aku menggeleng. “Masih di ruang IGD. Tapi, aku minta dateng bukan buat ngomongin tentang papa. Ini tentang aku.”

Beberapa saat, Dhimas menatapku, lalu bertanya, “Apa yang terjadi?”

Aku duduk di bangku tunggu. Lalu, menarik napas dalam-dalam dan langsung mengembuskannya kembali dengan cepat. “Aku … hamil, Dhim.”

“Apa?” Dhimas pun terduduk di sampingku. Lalu, kembali menatapku dalam-dalam. “Kamu … hamil?”

Aku mengangguk pelan.

“Serius?”

“Aku gak tahu, Dhim. Aku juga gak ngerti. Soalnya, aku gak pernah ngelakuin itu ….” Aku menggeleng.

“Sudah diperiksa sama dokter?”

“Ini juga kata dokter. Aku ngerasa gak enak badan. Terus periksa ke dokter. Ternyata, katanya aku hamil. Berulang kali aku nanya dokter, takutnya dia salah baca hasil tesku. Tapi, ternyata aku benar-benar hamil.”

“Kamu jangan panik. Kita coba periksa ke dokter lain.” Dhimas berdiri dan meraih tanganku.

“Kemana?”

“Kita periksa di sini. Kita harus cari second opinion. Siapa tahu dokter yang kamu temui sebelumnya salah.”

Aku mengangguk. Kenapa tidak terpikirkan sebelumnya? Mungkin saja, dokter salah mendiagnosa. Semuanya bisa saja terjadi, bukan?

Setelah melewati beberapa tahap pemeriksaan, akhirnya hasilnya pun keluar.

Aku dan Dhimas duduk di depan dokter berkaca mata itu. Jantungku rasanya berdetak lebih cepat karena merasa takut jika apa yang dokter ini katakan, sama dengan yang dikatakan dokter kemarin.

Dhimas menggenggam tanganku erat. Seolah ingin membantu meredakan rasa khawatir yang benar-benar sedang mencengkramku saat ini.

“Selamat Bapak, Ibu …. Dari hasil tes, saat ini Ibu sedang hamil.”

“Apa gak salah, Dok?” tanyaku memotong kalimat dokter itu.

“Enggak, Bu. Insya Allah ini tidak salah,” jawab Dokter itu lagi sambil tersenyum.

“Tapi, Dok ….”

“Iya, Dok. Terima kasih.” Dhimas memotong ucapanku dan langsung meraih tanganku. Lalu, mengajak keluar ruangan itu.

“Dhim, aku harus cerita ke dokter semuanya. Karena ini aneh. Aku hamil padahal tidak pernah melakukan hubungan badan.”

“Ra, tenang dulu. Dokter itu gak akan percaya sama kamu. Karena hasilnya sudah jelas. Dua orang dokter bilang seperti itu, bukan?”

“Iya. Tapi, aku tetap gak ngerti. Kenapa ini bisa terjadi?” tanyaku mulai panik.

“Coba kamu ingat-ingat. Siapa tahu kamu lupa pernah melakukan hal itu?”

“Astaga Dhimas …. Aku ini sudah dewasa, masa lupa begitu saja kalau memang pernah melakukannya?”

“Atau … kamu ingat sesuatu yang mencurigakan?”

Aku terdiam. Setelah dipikir-pikir, aku memang pernah merasakan ada yang aneh dengan organ kewanitaanku. Terasa sakit beberapa hari.

Aku melirik Dhimas lalu menatapnya lekat-lekat.

Dhimas tampak salah tingkah. Wajahnya terlihat agak pucat. Dia pun sepertinya tidak berani menatapku.

“Ya, aku ingat sesuatu, Dhim. Ada yang aneh dengan anggota tubuhku waktu itu. Aku pikir, karena habis berjalan jauh dan naik turun tangga. Apa mungkin … saat itu kejadiannya?”

“Ka-kapan itu?” gagap Dhimas.

“Waktu kita berkemah.”

Bersambung…..

Comment