Derek Manangka: Intelejens, Titik Lemah Rezim Jokowi

Berita418 Views
Derek Manangka
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Soeharto bisa berkuasa selama 32 tahun, itu terjadi antara lain karena tim intelejensnya sangat kuat. Masukan para anggota intelejens yang tersebar dimana-mana, dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Presiden
Soeharto.
Tim intelejens rezim Soeharto tidak hanya kuat di bidang militer, melainkan hampir di semua lini. Cara mereka beroperasi tak terdeteksi namun selalu mengintip apa yang berkembang di dalam masyarakat.
Lembaga intelejens rezim Soeharto juga memiliki independensi yang tinggi
dan cara beroperasinya tidak tunduk pada sistem komando Soeharto.
Presiden dari militer ini, hanya memberi garis besar apa yang harus dikerjakan tapi detail dan pelaksanaannya di lapangan diserahkan kepada petugas yang beroperasi.
Jumlah personalia intelejens rezim Soeharto, juga cukup banyak. Tetapi berapa sebetulnya jumlah mereka, tidak ada yang tahu persis. Selain itu pimpinan mereka tidak berusaha menonjolkan diri atau mau dikenal oleh
masyarakat.
Sementara yang menjadi titik lemah pemerintahan Presiden Joko Widodo, justru di bidang intelejens.
Intelejens rezim Joko Widodo, tidak belajar dari pengalaman pemerintahan Soeharto atau rezim Orde Baru.
Sayang sekali, kalau begitu. Sebab sebetulnya tidak semua peninggalan Orde Baru itu jelek atau tidak cocok diteruskan.
Sebaliknya intelejens rezim Jokowi, menunjukkan kualitasnya yang tidak
mampu bersaing dengan rezim terdahulu, Soeharto khususnya.
“Baru di era Jokowi, seorang Kepala Intelejens wajahnya dikenal luas masyarakat. Bahkan terakhir saya dengar kalau bepergian, seorang kepala intel dikawal oleh lima sampai enam buah mobil. Di daerah bahkan wajah si kepala intel dibuat dalam bentu baliho, karena sang kepala sedang
berkunjung ke daerah itu.
Lebih aneh lagi bekas kepala intel ikut-ikutan berpolitik, menjadi ketua partai politik atau mendirikan partai politik”.
Kalau melihat kebangkitan Rusia, sebagai negara pecahan bekas Uni Sovyet, kebangkitannya tidak lain karena bekas negara komunis ini menggunakan jaringan dan sistem intelejens secara maksimal.
Kekuatan KGB, sebagai agen rahasia yang tersohor di era Perang Dingin, dihidupkan oleh Presiden Vladimir Putin, yang sejatinya seorang anggota
intelejens di era rezim Uni Sovyet.
Dalam persaingan antar negara saat ini, kekuatan dan jaringan intelejens, kembali dimaksimalkan.
Kecuali Indonesia. RRT melakukan operasi intelejen di Indonesia, tidak di bidang militer, tetapi justru di dunia bisnis dan ekonomi. Intelejens RRT, masuk ke mall-mall mempelajari karakter orang Indonesia yang konsumtif.
Masukan intelejens kemudian digodok di Beijing, ibukota negara RRT. Kesimpulannya negara itu perlu memproduksi gadget berupa “power bank” untuk setiap handphone.
“Power bank” buatan RRT itu membanjiri pasar Indonesia. Konsumen Indonesia ramai-ramai membeli produk RRT. RRT memasok “power bank” sebanyak mungkin di Indonesia dan ternyata konsumennya memang luar biasa banyak dan besar.
Kembali ke sistem dan jaringan intelejens di era Soeharto.
 Ada seorang inelejens bernama Pitut Soeharto. Namanya sangat terkenal dan menjadi legenda yang disegani. Namun hingga sekarang, bagaimana bentuk wajah seorang Pitut Soeharto, tidak ada atau tak banyak yang tahu sosok ini. Keberadaannya pun begitu.
Banyak versi yang muncul tentang manusia intel yang satu ini. Di antaranya ada yang menyebut bahwa Pitut Soeharto, sudah meninggal
dunia. Dia dikubur di Taman Makam Pahlawan Surabaya. Namun, katanya, makam itu kemudian dibongkar untuk menegaskan nama seorang anggota intelejens Indonesia itu tidak pernah ada di TMP.
Tidak hanya itu semua dokumen yang berkaitan dengan Pitut Soeharto
yang masih disimpan oleh keluargaya, dibakar atau dihancurkan agar tidak diketahui publik. Moral dari cerita ini menunjukan, bagi dunia intelejens nama dan popularitas bukanlah tujuan utama.
Sejumlah tokoh intelejens di era rezim Soeharto, pernah muncul di panggung nasional. Seperti Ali Murtopo dan Benny Moerdani. Tapi hal itu
terjadi, tak bisa dihindarkan karena berkaitan dengan jabatan resmi mereka
di pemerintahan.
Ali Murtopo pernah menjadi Menteri Penerangan, sementara Benny Moerdani selaku Panglima TNI dan Menteri Pertahanan.
Dua figur ini sebelum menduduki jabatan resmi di pemerintahan, dikenal sebagai sosok yang banyak melakukan operasi di bawah tanah bagi penguatan pemerintahan Presiden Soeharto.
Ali Murtopo misalya mendirikan lembaga “think tank” bernama CSIS. Lembaga ini pada satu era pernah menjadi konseptor bagi pembangunan Indonesia untuk jangka panjang. Konsepnya terkenal dengan sebutan “Akselerasi dan Modernisasi Pembagunan Indonesia 25 Tahun”.
Berbagai perundang-undangan yang lahir dari godokan pemeritah dan DPR, antara
lain bersumber dari konsep lembaga CSIS.
Yang menarik, baik Ali Murtopo maupun Benny Moerdani, tidak berusaha memanfaatkan pengaruh mereka untuk membangun sebuah “Kerajaan Bisnis”. Kalau tokh ada pebinsis dan konglomerat yang mereka berdua besarkan, tetapi entity perusahaan itu tidak ada yang menggunakan nama Ali Murtopo dan Benny Moerdani.
Juga tak ada bukti bahwa mereka menjadi pendiri sebuah perusahaan yang orientasinya murni kepada pencarian keuntungan sebesar-besarnya bagi kepentingan pribadi.
Adalah Ali Murtopo sendiri yang juga tampil sebagai penerobos lahirnya mortalitas sistem multi partai. Kemampauan intelejens Ali Murtopo dalam melobi para pimpinan partai, melahirkan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia).
PPP merupakan gabungan dari semua parti Islam sementara PDI gabungan dari partai nasionalis dan Kristen.
Di era pemerintahan Jokowi, intelejens kelihatannya tidak dianggap sebagai sebuah lembaga ataupun pos yang penting dan strategis. Salah satu dampaknya, kita banyak kedodoran.
Kepala BIN (Badan Inelejens Negara), seorang Jenderal Polisi. Padahal selama ini polisi tidak dikenal sebagai lembaga yang memiliki reputasi yang
bisa dibanggakan di dunia intelejens.
Begitu komentar panjang Kisman Latumakulita, seorang wartawan senior, terhadap artikel “Catatan Tengah” dua hari lalu. Arikel itu antara lain menyoroti strategi personalia yang digunakan Presiden
Soeharto dalam merekrut anggota tim pemerintahannya.
Sesuatu yang “hilang” dalam pemerintahan rezim Jokowi adalah tidak berperannya intelejens.***

Berita Terkait

Baca Juga

Comment