Desi Yunise, S.TP*: Teganya, Musim Pandemi Subur Korupsi

Opini467 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Dilansir dari Kompas.com (28/5/2020), Komisi Pemilihan Umum ( KPU) bakal menggelar pemungutan suara pilkada pada 9 Desember 2020. Pemungutan suara yang semula dijadwalkan digelar 23 September harus tertunda akibat wabah Covid-19.

Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, pihaknya bersama pemerintah dan DPR tidak mungkin lagi menunda jadwal yang telah disepakati.

“Kita tidak mau tarik mundur lagi karena ini sudah menjadi pilihan kita. Bahwa pilkada akan diselenggarakan Desember 2020,” kata Arief dalam diskusi yang digelar secara daring (Kamis, 28/5/2020).

Pemilihan kepala daerah 2020 akan digelar di 270 wilayah di Indonesia. 270 wilayah ini meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Meski sejumlah pihak mendesak DPR dan pemerintah tak memaksakan diri melaksanakan pilkada Desember mendatang. Namun, belum ada perubahan rencana terkait waktu pelaksanaan pilkada yang disampaikan DPR maupun pemerintah.

Penyelenggaraan pilkada di saat pandemi tentu sangat riskan. Sebab ini akan sangat rawan terjadi korupsi. Kerawanan terjadi korupsi selalu menjadi soal dalam pilkada. Mengapa korupsi bisa terjadi?

Pertama, biaya politik mahal.

Tak bisa dipungkiri bahwa pilkada membutuhkan biaya tinggi. Modal besar dibutuhkan dalam ajang persaingan menuju orang nomor satu, baik provinsi, kabupaten dan kota. Karenanya pilkada bukan lagi sekedar pemilihan kepala daerah semata, namun banyak kepentingan yang ikut bermain disana.

Calon kepala daerah ditak mungkin hanya bermodal dari kocek sendiri. Hampir semua penguasa membutuhkan dukungan pemodal. Jadilah, simbiosis mutualisme antara politikus dengan pemodal terjadi.

Berbagai proyek pengusaha membutuhkan legalisasi dari penguasa. Sebab itulah para pengusaha mati matian memenangkan siapa yang akan duduk di pemerintahan.

Sebab hal itu ikut menentukan nasib proyek dan bisnisnya di masa depan. Berbagai cara pun ditempuh, meski harus curang sekalipun. Tak jarang pula para pengusaha itu menjadi politisi dan bergabung dalam partai politik demi melanggengkan kepentingan dirinya maupun kelompoknya.

Pada akhirnya kekuasaan dan kewenangan digunakan untuk mengembalikan modal politik yang dikeluarkan. Korupsi pun jadi budaya dalam kekuasaan.

Kedua, kesempatan dalam kesempitan
Situasi masyarakat dalam kesulitan ekonomi membuat para politikus mengambil kesempatan dalam kesempitan. Bagi pasangan inkamben, aksi bagi-bagi masker dan bantuan sosial dimanfatkan untuk tujuan merebut suara rakyat. Mereka pun mencuri start kampanye tanpa malu untuk menyertakan nama dan foto pada paket bansos yang dibagikan. Jargon-jargon politik pribadi disertakan di bungkus bansos meski bukan dari kantongnya sendiri. Inilah korupsi demi kepentingan politik sendiri.

Politik uang pun tak akan bisa dicegah mewarnai pilkada. Apalagi di saat rakyat banyak yang miskin. Aksi bagi bagi uang atau sembako selalu terjadi saat pilkada. Tentu terlebih-lebih di musim pandemi ini. Lagi-lagi rakyat hanya dimanfaatkan untuk meraup suara. Pemenuhan kebutuhan rakyat dimanfaatkan sesuai kepentingan politik sesaat.

Ketiga, minim pengawasan.

Di saat normal pengawasan pemilu sulit dilakukan. Korupsi dilakukan secara terstruktur lagi massif. Lalu bagaimana di saat pandemi?

Hal ini makin membuka peluang lebih leluasa untuk korupsi pengadaan barang dan jasa. Jelas yang dirugikan lagi adalah rakyat. Biaya yang tak sedikit diambil dari APBN lagi-lagi harus ditanggung oleh rakyat seluruhnya.

Inilah kenyataan pemilihan kepada daerah dalam sistem demokrasi. Begitu rawan terjadi korupsi. Teori politik ala Machiavelli teraplikasi di sistem politik demokrasi-sekuler. Bagi Machiavelli dunia politik itu bebas nilai, artinya politik jangan dikaitkan dengan etika (moralitas).

Dalam politik, yang penting adalah bagaimana seorang raja/penguasa bisa mendapatkan/mempertahankan kekuasaannya agar selanggeng mungkin, meski dengan cara inkonstitusional, bertentaangan dengan nilai-nilai moral. Karena itulah maka korupsi, politik uang menjadi bagian tak terpisahkan dari pilkada, yang penting calon yang diusung mendapat kursi kekuasaan.

Sistem Poltik Islam Bebas Kepentingan.

Disinilah kita perlu mengubah paradigma politik yang lebih manusiawi dan adil bagi seluruh rakyat. Islam memandang politik sebagai memelihara urusan rakyat berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum syara yang rinci. Sistem politik Islam bukanlah sistem yang bebas nilai, tapi ia terikat dengan ketentuan hukum-hukum Sang Pencipta manusia, yaitu Allah SWT.

Seseorang dipilih oleh rakyat menjadi penguasa bukan untuk meraih kepentingan dirinya dan kelompoknya yang bersifat materi. Ia dipilih sebagai penanggung jawab kepengurusan rakyat berlandaskan syariat islam.

Dalam sistem politik islam meniscayakan adanya pemilu. Hanya saja, pemilu ini berbiaya rendah. Pemilu dalam islam diperuntukkan untuk mengetahui calon yang menjadi kehendak rakyat dalam memimpin mereka sesuai Al Qur’an dan As sunnah. Mereka dapat memilih kepala negara dan wakil mereka di majlis ummat melalui pemilu.

Tugas majelis ummat ini adalah menyampaikan aspirasi rakyat dan mengontrol jalannya pemerintahan. Sedangkan kepala daerah,  baik wali (setingkat gubernur) dan amil (setingkat bupati) diangkat langsung oleh kepala negara. Sehingga tak dibutuhkan pilkada dalam hal ini.

Sistem seperti ini sangat hemat biaya. Disamping itu, masa tugas kepala negara adalah seumur hidup. Tak perlu bolak balik pemilu. Ia tak boleh diturunkan sepanjang menjalankan Al Qur’an dan As sunnah.

Namun sayangnya, sistem politik seperti ini telah lama hilang dari tengah-tengah masyarakat. Mereka terjatuh dalam sistem kepemimpinan demokrasi yang sekuler jauh dari nilai-nilai agama. Sistem demokrasi inilah sumber korupsi yang merusak. Hingga penguasanya rela melakukan kecurangan pada rakyatnya sekalipun. Benarlah sabda Rasulullah SAW :

“akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajakan dengan bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk daripada bangkai”
(HR Ath –Thabrani). Wallahu a’lam bish shawab.[]

*Institut Kajian Politik dan Perempuan

Comment