Devi Yulianti, ST: Demokrasi Dan Pengorbanan Yang Sungguh Besar 

Opini632 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Seakan tiada persoalan, pilkada terus melaju di tengah Covid-19. Bagaimana tidak, Pilkada memakan korban seakan menjadi menu wajib bagi negri ini. Bak masakan tanpa garam, begitu juga dengan negri ini tak lengkap tanpa Pilkada memakan korban.

Seperti halnya baru-baru baru ini dilansir dari Kabar24.bisnis.com (28/11). Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva menyampaikan keprihatinannya terkait banyaknya jumlah calon kepala daerah dan anggota penyelenggara pemilu yang terpapar Covid-19 selama pelaksanaan tahapan Pilkada serentak 2020.

Dengan rincian 70 orang calon kepala daerah terinfeksi Covid-19, 4 orang diantaranya meninggal dunia.

Tidak hanya calon kepala daerah saja yang terinfeksi Covid-19, tetapi Hamdan juga menyoroti banyaknya anggota penyelenggara pemilu yang juga terinfeksi virus Corona (Covid-19).

Begitu juga dengan pemberitaan News.detik.com (5/11/2020) Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) menunda debat pasangan calon (paslon) Pilkada Kepri 2020. Sebab, tiga anggota KPU setempat terkonfirmasi positif COVID-19.

Ketua KPU Kepri Sriwati mengatakan perubahan jadwal debat paslon dan mengurangi volume debat dari tiga kali menjadi dua kali. Semula, KPU Kepri menetapkan tiga kali jadwal debat, yakni 12 November 2020, 19 November 2020, dan 29 November 2020. Setelah tiga anggota KPU Kepri, yakni Priyo Handoko,Arison, dan Parlindungan Sihombing, terkonfirmasi positif COVID-19, KPU Kepri terpaksa mengubah jadwal debat paslon menjadi 20 November 2020, kemudian dilanjutkan pada 29 November 2020.

Persoalan Pilkada Sebenarnya

Pilkada sudah menjadi suatu rutinitas dan selalu membutuhkan banyak pengorbanan bahkan nyawa sekalipun. Persoalan ini terjadi bukan hanya sebatas karena akibat covid-19, tapi lebih karena kebijakan yang menganggap Pilkada lebih berarti dibandingkan keselamatan nyawa manusia.

Saat covid-19 belum mewabah, pilkada pada tahun 2019 pun sudah memakan korban yang salah satu penyebabnya karena persoalan mengantisipasi beban kerja Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Dengan terselenggaranya Pilkada, berharap dari setiap penyelenggaraan ada perubahan yang signifikan pada masyarakat. Namun, taruhan nyawa hingga menguapnya anggaran, kerap terjadi pada pilkada.

Tentu semua terjadi, tidak lain karena Pilkada selalu dijadikan alat semata-mata untuk melanggengkan kekuasaan yang dimodali para pengusaha. Seperti apa yang pernah disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD sekaligus sebagai Pakar hukum dan tata negara pada saat menjadi pembicara dalam diskusi bertema “Memastikan Pilkada Sehat: Menjauhkan Covid-19 dan Korupsi” yang disiarkan melalui kanal YouTube resmi Pusako FH Unand, Jumat (11/9)

Beliau membeberkan realitas pemilihan daerah yang hampir seluruhnya dibiayai cukong alias pemilik modal.

“Di mana-mana, calon-calon itu 92 persen dibiayai oleh cukong dan sesudah terpilih, itu melahirkan korupsi kebijakan,”

Mahfud juga mewanti-wanti bahwa korupsi kebijakan yang dihasilkan dari money politik di pilkada lebih berbahaya dari korupsi uang.

Jika korupsi uang, bisa dihitung. Tapi tidak untuk korupsi kebijakan.Karena korupsi kebijakan biasanya berupa lisensi penguasaan hutan, lisensi tambang, dan lisensi lainnya yang lebih merugikan masyarakat.

Senada dengan pernyataan Mafhud, salah satu pimpinan KPK Nurul Ghufron mengatakan dalam kajian yang pernah dilakukan KPK, 82 persen calon Kepala Daerah didanai sponsor.

“Faktanya dalam kajian KPK sebelumnya ada 82 persen calon kepala daerah didanai oleh sponsor bukan didanai pribadi. Kemudian memungkinkan sebagai money politic, sehingga itu menunjukkan nanti akan ada aliran dana dari sponsor kepada calon kepala daerah.” (cnnindonesia.com 11/09/2020)

Sungguh, inilah drama yang terjadi pada sistem demokrasi yang sedang memandu arah kehidupan masyarakat, bangsa bahkan negara Indonesia ini.

Dari sini, hendaklah kita menyadari bahwa sistem demokrasi yang dijadikan acuan dalam kehidupan saat ini telah menimbulkan berbagai persoalan yang berujung pada kesengsaraan rakyat.

Gambaran Kepala Daerah dalam Islam.

Saatnya mengembalikan panduan kehidupan pada aturan yang berasal dari sang Pencipta kehidupan yaitu Allah bukan pada aturan yang dibuat dari, oleh dan untuk manusia yang berlindung dalam baju demokrasi.

Dalam Islam persoalan mengatur negara bukan hanya sekedar memilih pemimpin tetapi juga dengan apa dan seperti apa sebuah negara di pimpin.

Dalam sistem Islam, negeri yang diperintahnya dibagi dalam beberapa bagian dan setiap bagian disebut wilayah (provinsi). Setiap provinsi dibagi dalam beberapa bagian dan setiap bagian disebut imalah (karesidenan). Pemimpin wilayah (provinsi) disebut wali (gubernur). Pemimpin imalah disebut amil atau hakim.

Wali adalah orang yang diangkat oleh kepala negara (pejabat pemerintah) untuk suatu wilayah (provinsi) serta menjadi amir (pemimpin) wilayah itu.

Wali harus memenuhi syarat-syarat sebagai penguasa, yaitu harus seorang laki-laki, merdeka, muslim, balig, berakal, adil dan mampu. Jabatan wali memerlukan adanya pengangkatan dari kepala negara.

Sebagaimana Rasulullah Saw. telah mengangkat Muadz bin Jabal menjadi wali di wilayah Janad, Ziyad bin Walid di wilayah Hadhramaut, dan Abu Musa al-‘Asy’ari di wilayah Zabid dan ‘Adn.

Rasulullah Saw. memilih para wali dari orang-orang yang memiliki kecakapan dan kemampuan memegang urusan pemerintahan, yang memiliki ilmu dan yang dikenal ketakwaannya serta mampu “mengairi” hati rakyat dengan keimanan dan kemuliaan negara.

Adapun pemberhentian wali adalah hak kepala negara jika kepala negara memandang perlu untuk memberhentikannya atau jika penduduk wilayah itu mengadukan walinya.

Seorang wali juga tidak dapat dipindahkan (mutasi) dari satu tempat ke tempat lain. Namun, ia dapat diberhentikan dan diangkat kembali untuk kedua kalinya.

Suasana keimanan yang ada dalam sistem Islam menjadikan penyelenggaraan aparatur negara dalam Islam dapat berjalan dengan amanah.

Kinerja pemimpin daerah akan senantiasa dikontrol kepala negara atau orang-orang yang ditunjuk kepala negara. Disisi lain pemilihan ini lebih hemat, tidak memakan banyak biaya.

Fungsi pemimpin dalam Islam adalah mengurusi rakyatnya secara sungguh-sungguh dan melindungi rakyat, baik dari ancaman kelaparan, kemiskinan, termasuk penyakit (dalam hal ini kerawanan tertular virus berbahaya seperti Covid-19 ini).

Jika dilihat dengan hati yang jernih,  Islam jauh lebih manusiawi daripada sistem demokrasi – karena tatanan dan aturan Islam lebih mengutamakan keselamatan rakyat.

Dari sini, sudah selayaknya nikmat yang dianugerahkan Pencipta kepada kita dialamatkan kepada pengorbanan yang lebih berarti.

Indonesia akan terjaga dan terselamatkan dari segala bentuk penjajahan baik ekonomi atau politik yang bersembunyi di balik demokrasi- dengan mengembalikan semua pedoman kehidupan kepada Islam yang menyeluruh (kaffah).Wallahu a’lam bishowab.[]

Comment