Devita Deandra: Islam Solusi Fundamental Masalah Stunting

Opini476 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA Sungguh ironis sekali, negeri yang kaya akan sumber daya alam, namun faktanya masih banyak calon generasi bangsa yang menderita stunting. Dimana Indonesia masuk urutan ke-4 dunia dan kedua di Asia Tenggara dalam hal balita stunting.

Anggota Komisi IX DPR, Netty Prasetiyani Aher dalam keterangan pers merinci riset kesehatan dasar Kementerian Kesehatan Tahun 2019 mencatat sebanyak 6,3 juta balita dari populasi 23 juta atau 27,7 persen balita di Indonesia menderita stunting.

Dia pun mengingatkan Pemerintah untuk melakukan evaluasi pembangunan keluarga agar persoalan ini teratasi.

Pasalnya jumlah tersebut masih jauh dari nilai standard WHO yang seharusnya di bawah 20 persen. Sebab itu dia meminta agar pemerintah memberikan otoritas yang lebih besar pada BKKBN untuk menjadi leading sektor pengentasan stunting.

Seperti dilansir oleh merdeka.com (30/11/20), di Sulawesi Selatan sebanyak 151.398 anak menderita Stunting atau kondisi gagal tumbuh sepanjang tahun 2020. Mereka tersebar pada lima kabupaten yang memiliki angka stunting tertinggi. “Dari 24 kabupaten/kota di Sulsel, ada empat daerah dengan angka stunting tertinggi yakni di Kabupaten Bone 43 persen, Enrekang 39 persen, Jeneponto 36 persen, Takalar 34 persen dan Bantaeng 33 persen,” kata Kepala Dinas Kesehatan Pemprov Sulsel, Ichsan Mustari di Makasar, Minggu (29/11).

Dan ini tidak hanya terjadi di Sulawesi Selatan saja melainkan di beberapa daerah di Indonesia. Persoalan stunting ini sudah bergulir cukup lama di negeri ini. Banyak balita telah menjadi korbannya. Beberapa upaya pemerintah sebagai program pengentasan stunting ini dilakukan.

Setidaknya sudah ada 21 lembaga yang ditunjuk untuk mengatasi stunting hingga rencana pemerintah untuk menunjuk salah satu lembaga agar dapat bertangung jawab secara penuh dan menangani secara jelas permasalahan stunting ini hingga wacana penggantian msg dengan penyedap ikan serta mengkonsumsi ikan dinilai sebagai langkah yang dapat mengurangi angka stunting yang terjadi. Namun nyatanya angka stunting di negeri ini masih saja tinggi.

Jika ditelisik lebih dalam, penyebab gagalnya tumbuh kembang anak, atau kekerdilan pada anak di bawah dua tahun yang biasa kita sebut stunting ini terjadi sesungguhnya karena gagalnya pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama.

Sehingga anak lebih pendek atau berperawakan pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berfikir.

Umumnya disebabkan asupan makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Kurangnya pemenuhan gizi pada anak hingga anak menderita gizi buruk dan terhambat dalam tumbuh kembangnya.

Lantas mengapa Indonesia dengan SDA yang melimpah ruah, gemah ripah loh jinawi ini melahirkan generasi stunting?. Bukankah, fakta di atas telah menunjukkan kegagalan negara dalam menjamin kesejahteraan, salah satunya terpenuhinya makanan bergizi per individu rakyatnya.

Indonesia yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme, yang berorientasi pada materi (untung rugi) sangat diskriminatif karena pro kepentingan modal. Sementara rakyat selalu dianggap beban. Inilah bentuk lepas tangannya pemerintah dalam mengurus rakyatnya.

Dalam praktiknya sistem ekonomi kapitalisme juga meniscayakan distribusi logistik pangan yang tidak adil. Hal ini berimplikasi pada semakin tajamnya ketimpangan sosial.

Demikianlah sistem kapitalisme yang telah gagal menyejahterakan rakyat hingga menjamin terpenuhinya keutuhan pangan (gizi) bagi rakyatnya. Ditambah lagi kebijakan impor pangan menjadikan rakyat sulit mendapatkan bahan pangan karena mahal.

Berbeda dengan negara Islam, yang secara alami akan menjamin kesejahteraan bagi rakyatnya hingga mampu mencegah stunting pada balita. Kesejahteraan yang dimaksud adalah terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan bagi rakyatnya.

Sebab Islam telah menggariskan khalifah (kepala negara) sebagai penanggung jawab atas urusan rakyatnya melalui penerapan aturan Islam yang menjamin kesejahteraan setiap rakyat.

Pertama, Islam memerintahkan setiap laki-laki untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keluarganya. Negara bertanggung jawab penjaminan kesejahteraan warganegaranya.

Jaminan langsung berupa pendidikan, kesehatan gratis serta keamanan. Jaminan tidak langsung berupa tersedianya lapangan pekerjaan yang besar. Agar negara mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang sangat besar maka negara harus menguasai pengelolaan SDA.

Dengan dikelolanya SDA secara mandiri secara tidak langsung akan menyerap tenaga kerja di banyak lini baik tenaga ahli maupun tenaga terampil sehingga tidak adalagi yang menganggur.

Kedua, jika individu tidak mampu memenuhi kebutuhan, maka beban tersebut dialihkan kepada ahli warisnya. Jika kerabat tidak ada atau tidak mampu maka beban itu akan beralih ke baitul mal yakni kepada negara. Ketiga, Islam juga menetapkan kebutuhan dasar berupa pelayanan yakni pendidikan, kesehatan, keamanan mutlak dijamin negara.

Pemenuhan tersebut merupakan kewajiban negara bagi seluruh masyarakat tanpa kecuali. Sehingga income negara hanya dialokasikan untuk kebutuhan pokok. Semua jaminan tersebut didukung oleh baitul mal.

Dengan demikian. Maka solusi untuk masalah stunting harus diselesaikan dari akarnya. Yaitu dengan diterapkannya hukum Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan.

Hukum Islam bersumber dari Allah SWT sang Khaliq (pencipta) yang berupa Al Quran dan as-Sunnah sehingga perlindungan negara terhadap rakyat akan memberikan keadilan tanpa memandang miskin dan kaya.

Penyediaan lapangan pekerjaan adalah salah satu hal utama yang harus dilakukan sehingga setiap keluarga memiliki penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan memberikan makanan yang bernutrisi untuk tumbuh kembang anak-anaknya.

Maka pembentukan lembaga hingga penggantian msg dengan ikan yang diwacanakan pemerintah saat ini sebagai solusi untuk meminimalisir angka penderita stunting hanyalah solusi tambal sulam, dan bersifat sementara yang tidak menyelesaikan permasalahan rakyat. Wallahu a’lam bi ash shawab.[]

Comment