dr. Agnes Ummu Afifah*: Bukan Antek Konspirasi. Tenaga Medis Hanya Berpedoman Pada Prinsip Pandemi

Opini452 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Sudah menjadi rahasia umum bahwa di tengah pandemi covid-19, tenaga medis yang menjadi garda depan penanganan berguguran satu demi satu.

Mereka harus berhadapan dan breinteraksi langsung dengan pasien positif atau yang dicurigai terjangkit, guna melakukan berbagai tindakan perawatan sesuai prosedur medis.

Meski telah menggunakan alat pelindung diri berlapis, nyatanya resiko tertulari virus masih tinggi. Hingga April 2020 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengonfirmasi telah kehilangan 25 anggotanya akibat pandemi covid-19 yang masih berlangsung.

Sementara itu Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadhillah mengungkapkan total sudah 20 orang perawat meninggal dunia dalam tugas pelayanan pasien Covid-19 di seluruh Indonesia (kompas.com).

Artinya, dalam rentang waktu kurang lebih tiga bulan selama pandemi berlangsung, negri ini telah kehilangan setidaknya 45 tenaga kesehatan. Mereka adalah prajurit terbaik yang rela dan siap menghadapi resiko kehilangan nyawa terjun ke medan perang melawan wabah.

Bukan perkara gampang untuk menemukan pengganti puluhan pahlawan medis ini. Para guru besar, profesor, spesialis, hingga perawat senior mustahil bisa tercetak kembali dalam waktu singkat dan proses yang mudah.

Mirisnya, beberapa tenaga kesehatan tersebut harus kehilangan nyawa akibat kelalaian pasien. Minimnya edukasi terhadap masyarakat, tak jarang membuat mereka meremehkan bahkan menganggap tenaga kesehatan berlebihan dalam menghadapi wabah. Sehingga menghasilkan sikap apatis hingga berani berbohong memberikan keterangan riwayat kesehatannya pada dokter dalam proses pemeriksaan.

Telah ramai pembahasan di berbagai media berita, beberapa dokter dan perawat yang akhirnya meninggal akibat tertular pasien tak bertanggung jawab seperti ini.

Belum lagi sikap apatis masyarakat yang termakan isu miring terkait wabah. Mereka digiring pada suatu opini untuk tidak mempercayai seluruh prosedur yang dilakukan tenaga dan pelayanan kesehatan dalam mengatasi dan mencegah perluasan pandemi.

Berbagai teori hayalan konspirasi sains penciptaan virus yang tidak pernah bisa dibuktikan dengan data dan penelitian ilmiah menjadi viral dan dikonsumsi warga sosial media.

Tulisan-tulisan berisi pendapat pribadi tanpa landasan ilmu memadai mulai menebar informasi sesat serta menyesatkan terkait wabah. Hingga yang paling parah, tersebar fitnah keji yang menikam prajurit garda terdepan penanganan covid-19 tentang proyek jutaan rupiah yang diterima tenaga medis untuk setiap keberhasilan mereka memanipulasi diagnosis pasien menjadi covid dan mengisolasinya.

Akibatnya, masyarakat mulai menolak segala bentuk prosedur medis yang dilakukan demi memutus rantai penularan. Termakan isu konspirasi bahwa virus ini hanya rekaan, masyarakat mulai berani keluar rumah seperti biasanya tanpa memperhatikan protokol kesehatan.

Tak ada lagi jaga jarak aman, tak perlu masker, hingga bersusah diri rutin cuci tangan. Pasien terduga covid (PDP) dan pasien positif tanpa gejala yang seharusnya dilakukan isolasi baik dengan perawatan intensif maupun biasa mula menolak dijemput tim medis.

Beralasan mereka bukan sedang menderita covid, atau bahkan merasa dalam kondisi fisik yang sehat sehingga menganggap tidak perlu diisolasi.

Fenomena lain muncul, masyarakat menganggap fasilitas kesehatan kini melakukan pembohongan publik besar-besaran. Penanganan pasien yang masuk dengan gejala penyakit tertentu tiba-tiba diharuskan dirawat secara prosedur covid, yaitu menjalani isolasi ketat.

Bahkan ada sebagian masyarakat yang tidak percaya dengan prosedur pemakaman jenazah positif atau terduga covid. Mereka memilih untuk memakamkan jenazah dengan cara biasa. Tenaga kesehatan yang bertugas dalam pemulasaran jenazah terpaksa menerima pasrah saat keluarga jenazah yang telah mereka siapkan dengan tuntas secara prosedur covid, bersikeras membuka peti dan plastik pelindung.

Prinsip Medis Menghadapi Wabah
Ada suatu prinsip dalam dunia medis dalam menghadapi wabah yang belum banyak diketahui publik. Yaitu, para tenaga medis wajib menganggap semua pasiennya telah positif terjangkit virus hingga terbukti negatif melalui pemeriksaan medis berstandart.

Apalagi, fakta di lapangan membuktikan jika prinsip ini sedikit saja dilalaikan, berakibat terenggutnya nyawa puluhan tenaga kesehatan. Prinsip ini yang membuat segala pelayanan kesehatan di berbagai lini mengharuskan prosedur pencegahan terhadap penularan. Baik bagi diri tenaga medis maupun pada pasien.

Mulai dari pakaian pelindung yang minimal harus dipakai dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lain meski mereka tidak langsung menangani pasien yang telah didiagnosis positif terjangkit. Bukan berlebihan, melainkan inilah prosedur perlindungan diri mencegah resiko penularan. Begitu juga prosedur terhadap setiap pasien yang datang ke fasilitas kesehatan.

Apapun gejala yang dikeluhkan, tidak menutup kemungkinan bahwa pasien tersebut membawa virus. Inilah maksud dari diambilnya kebijakan khusus saat pandemi dalam pelayanan kesehatan. Berbagai penelusuran riwayat kesehatan akan lebih detail digali demi memastikan pasien bebas virus.

Bahkan beberapa rumah sakit mensyaratkan pemeriksaan rapid pada setiap pasien yang membutuhkan pelayanan. Jika pasien menolak syarat tersebut, maka rumah sakit juga menolak melayaninya.

Lagi, ini bukan rumah sakit abai dan kejam menolak pasien, melainkan sikap perlindungan mereka terhadap para tenaga medisnya.

Kasus pada pasien yang dicurigai atau telah berstatus Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dan pasien tanpa gejala (OTG) tapi masih tinggal di rumah bersama keluarganya, maka akan dilakukan penjemputan oleh tim covid dengan tujuan mengisolasi pasien. Bukan untuk memenjarakan atau mendapat fee khusus seperti yang dituduhkan masyarakat, melainkan ini prosedur mencegah penularan yang lebih luas baik pada keluarga maupun masyarakat sekitar tempat tinggalnya.

Adapun pada pasien yang awalnya rawat inap dengan keluhan tertentu, lalu pada pemeriksaan selanjutnya menunjukkan tanda-tanda keberadaan virus dalam tubuhnya, maka akan segera diambil tindakan isolasi.

Bukan diskriminasi atau manipulasi diagnosis, melainkan demi mencegah pasien semakin parah jatuh pada kondisi yang sulit ditolong dan juga untuk mencegah penularan pada tenaga medis dan pasien yang lain. Sebab mereka telah berstatus PDP, hingga didapatkan hasil pemeriksaan swab tenggorokan.

Jika hasilnya positif, maka perawatan secara prosedur covid akan dilanjutkan. Sebaliknya, jika negatif maka pasien akan kembali dirawat dengan prosedur biasa. Mengenai hak pasien untuk menolak prosedur isolasi, maka sebenarnya telah diatur dalam pasal 56 ayat 2 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan “Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku padapenderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas”.

Kemudian, jika selama menunggu hasil swab ternyata pasien meninggal, maka pemulasaran jenazahnya akan mengikuti prosedur covid. Jadi jangan kaget atau curiga berlebihan, jika pasien meninggal karena stroke tapi dimakamkan secara covid. Bukan menakuti masyarakat atau mempermalukan keluarga jenazah, melainkan inilah cara pemulasaran bagi jenazah yang berstatus PDP. Syukur jika setelah dimakamkan ternyata hasil swabnya negatif.

Terlebih jika positif, maka pencegahan penularan pada keluarga dan masyarakat telah dilaksanakan dengan tepat.

Jadi, tidak ada prosedur pelayanan medis yang sengaja direkayasa secara massif oleh para tenaga medis ataupun fasilitas-fasilitas kesehatan dalam menghadapi pandemi saat ini demi merngambil keuntungan di tengah kesulitan masyarakat.

Kecuali mereka hanya oknum saja. Semua prosedur medis dilakukan demi pelayanan terhadap masyaakat agar pandemi segera berakhir.

Tidak ada lagi penambahan pasien tertular virus. Tidak ada lagi sejawat mereka yang harus gugur di tengah tugas. Serta demi harapan bisa kembali berkumpul dengan keluarga tercinta yang telah lama terpaksa mereka tinggalkan.

Meski di balik semua itu, mereka harus dihadapkan pada ketidaktegasan pemerintah menyusun kebijakan penanganan wabah. Wallahu’alam.[]

Referensi:
https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/28/163240665/ada-25-dokter-yang-meninggal-terkait-covid-19-di-indonesia-pb-idi-bentuk

https://megapolitan.kompas.com/read/2020/05/19/05582081/ppni-20-perawat-di-indonesia-meninggal-dunia-dalam-tugas-melayani-pasien

https://news.okezone.com/read/2020/04/28/519/2205943/pasien-tak-jujur-dokter-rsud-soewandhie-meninggal-karena-tertular-corona

https://aceh.tribunnews.com/2020/06/02/new-normal-covid-19-masyarakat-abaikan-protokol-kesehatan-ini-penjelasan-jubir-covid-19-aceh-besar

https://banyumas.tribunnews.com/2020/05/18/keluarga-nekat-buka-plastik-dan-mandikan-jenazah-covid-19-15-warga-di-sidoarjo-positif-corona

http://p2ptm.kemkes.go.id/uploads/2016/10/Undang-Undang-Republik-Indonesia-Nomor-36-Tahun-2009-Tentang-Kesehatan.pdf

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5e97e97edfbda/hak-hak-pasien-tenaga-kesehatan-dan-dokter-di-tengah-wabah-covid-19/

 

Comment