RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pengesahan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law menjadi Undang-Undang menuai protes banyak pihak. Di antara isi Undang-Undang yang banyak dikritisi dan ditolak adalah undang-undang cipta kerja. Undang-undang ini dianggap berpotensi memarginalkan hak-hak buruh dan lebih mengedepankan pihak perusahaan dan para kapitalis.
Namun demikian, andai Undang-Undang Cipta Kerja ini dibatalkan, apakah lantas buruh menjadi sejahtera?
Pada kenyataannya problem perburuhan dan atau Ketenagakerjaan selalu muncul baik ketika UU Ciptakerja telah disahkan ataupun sebelumnya. Pengesahan UU ciptakerja diduga hanya akan lebih memperburuk kesejahteraan buruh yang memang sudah buruk, bukan menyelesaikan problem perburuhan.
Jika kita cermati lebih mendalam, problem perburuhan saat ini muncul bukan hanya karena faktor teknis terkait perundang-undangannya tapi lebih dari itu, problem perburuhan muncul disebabkan oleh paradigma keliru dalam penempatan posisi buruh itu sendiri.
Buruh dalam sistem kapitalis diposisikan sebagai salah satu komponen biaya produksi. Jika pengusaha menginginkan grafik keuntungan yang lebih tingg, maka si pengusaha tersebut harus menekan upah serendah-rendahnya.
Lahirlah kemudian hukum upah besi yaitu sistem pengupahan yang stagnan, tidak dinaikkan atau diturunkan. Upah hanya bertengger di tataran minimum regional, sebatas memenuh kebutuhan fisik minimum selama sebulan.
Problem perburuhan terjadi akibat kesalahan tolok ukur yang digunakan dalam menentukan upah buruh, yaitu living cost terendah. Living cost inilah yang digunakan untuk menentukan kelayakan upah buruh. Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu sekedar untuk mempertahankan hidup mereka.
Akibatnya, terjadi eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan terhadap buruh.
Dampak eksploitasi ini lalu memicu lahirnya gagasan sosialisme tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial dan sebagainya.
Para kapitalis akhirnya melakukan sejumlah revisi, dan tidak lagi menjadikan living cost terendah sebagai satu-satunya tolok ukur dalam menentukan upah buruh.
Maka kontrak kerja pun akhirnya diikuti dengan sejumlah prinsip dan ketentuan yang bertujuan melindungi kaum buruh dengan memberikan hak mereka yang sebelumnya tidak didapatkan.
Hak tersebut semisal membentuk serikat pekerja, mogok, pemberian dana pensiun, penghargaan dan sejumlah kompensasi lainnya. Mereka juga diberi hak upah tambahan, libur mingguan, jaminan berobat dan sebagainya. Meski demikian tambal sulam ini hanya sekedar “obat penghilang rasa sakit” tanpa menghilangkan sumber penyakit itu sindiri.
Jadi, problem perburuhan sebenarnya muncul disebabkan oleh penerapan sistem ekonomi kapitalis yang memposisikan buruh hanya sebagai salah satu komponen produksi. Dengan demikian upah yang diberikan akan ditekan sebatas memenuhi kebutuhan fisik minimum saja.
Karena itu, masalah perburuhan ini akan selalu ada selama relasi antara buruh dan majikan masih dalam traktat yang didasari oleh sistem ini.
Meski sistem ini telah melakukan tambal sulam, tetap saja tambal sulam itu hanya sebatas mempertahankan sistem yang usang ini. Jadi jangan berharap problem perburuhan akan terpecahkan secara brilian meski UU Ciptaker dibatalkan oleh Perppu.
Lalu bagaimana? Adakah solusi tuntas untuk menyelesaikan problem perburuhan?
Sebagai agama yang sempurna, Islam telah memberikan solusi tuntas terhadap seluruh problem yang menimpa manusia, tidak terkecuali problem perburuhan.
Perburuhan dalam Islam dinamakan ijarah. Ijarah adalah akad atau kesepakatan atas suatu jasa atau manfaat dengan imbalan atau kompensasi tertentu.
Ijarah dalam pandangan Islam adalah pertukaran antara manfaat dengan kompensasi atau upah. Dengan demikian yang menjadi fokus dalam ijarah adalah sisi jasa atau manfaat.
Dalam melaksanakan akad ijarah ada beberapa ketentuan yang wajib diperhatikan.
Ketentuan tersebut adalah: pertama, dua pihak yang berakad yakni buruh dan majikan atau perusahaan. Kedua, akad dari dua belah pihak, yaitu buruh sebagai pemberi jasa atau manfaat dan majikan atau perusahaan sebagai penerima manfaat atau jasa. Ketiga, upah tertentu dari pihak majikan atau perusahaan. Keempat, jasa atau manfaat tertentu dari pihak buruh atau pekerja.
Akad yang telah disepakati wajib dilaksanakan oleh kedua belah pihak yang berakad. Buruh wajib memberikan jasa sebagaimana yang disepakati bersama dengan pihak majikan atau perusahaan. Buruh terikat dengan jam kerja maupun jenis pekerjaan yang sudah disepakati.
Perusahaan atau majikan wajib menjelaskan kepada calon pekerja/buruh tentang jenis pekerjaannya, waktu kerjanya serta besaran upah dan hak-hak mereka.
Perusahaan tidak boleh mengurangi hak buruh, mengubah kontrak kerja secara sepihak atau menunda-nunda pembayaran upah buruh.
Dalam menentukan upah buruh, standar yang digunakan adalah manfaat tenaga yang diberikan buruh bukan living cost terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh perusahaan atau majikan.
Jika terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam menentukan besaran upah, maka pakar (khubara’) lah yang menentukan upah sepadan. Pakar ini dipilih oleh kedua belah fihak.
Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negara akan memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negara akan memaksa kedua belah pihak untuk mengikuti keputusan tersebut. Dengan demikian negara tidak perlu menetapkan UMR (Upah Minimum Regional)
Dengan adanya berbagai macam ketentuan aturan dalam kontrak perburuhan menurut Islam, diharapkan ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh yaitu :
Pertama, kaum buruh tidak akan ditindas oleh majikan atau perusahaan. Mereka memperoleh upah sesuai manfaat yang telah diberikan. Jika manfaat yang diberikan tinggi, maka dia berhak mendapat upah yang tinggi dan sebaliknya.
Upah tidak disamaratakan, yang hanya didasarkan pada kebutuhan fisik minimum dari pekerja untuk bisa hidup satu bulan.
Kedua, Pihak perusahaan atau majikan juga tidak akan dirugikan. Majikan dapat memberikan upah sesuai manfaat dari masing-masing pekerjanya, sehingga tidak akan membebaninya lagi. Jika ada tekanan untuk menaikkan upah, maka perusahaan bisa menolak karena menyalahi kesepakatan yang sudah disepakati.
Ketiga, dengan jelasnya ketentuan aturan dalam pembuatan akad kontrak kerja, maka diharapkan tidak ada konflik atau perselisihan antara kedua belah pihak kelak di kemudian hari.
Inilah poin-poin penting yang diharapkan mampu menuntaskan problem ketenagakerjaan. Semua pihak akan memperoleh keadilan, baik pihak pekerja atau kaum buruh maupun pihak perusahaan. Jika semua merasa tenang dan nyaman dalam bekerja, maka diharapkan perekonomian akan tumbuh dan berkembang secara sehat.
Adakah sistem lain selain Islam yang bisa menuntaskan problem ketenagakerjaan? Sistem kapitalis yang eksploitatif tidak mampu lagi mengemban amanah keadilan untuk semua (Justice for All).
Hanya Islam dengan visi rahmatan lil alamin saja yang mampu memberi keadilan tanpa membedakan latar belakang agama, suku, ras dan profesi termasuk buruh di dalamnya. []
Comment