Dyka Apriliani, S.Sos: Ekonomi Terpuruk, Indonesia Dapat Penghargaan  

Opini482 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Mentri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani baru saja meraih penghargaan sebagai Finance Minister of the Year for East Asia Pacific tahun 2020 dari majalah Global Markets untuk ke dua kalinya.

Menurut Global Markets, Sri Mulyani layak mendapatkan penghargaan tersebut atas prestasinya dalam menangani ekonomi Indonesis saat pandemi corona (Covid–19).

Bagaimana bisa Menkeu meraih penghargaan di tengah Indonesia banyak menghadapi masalah ekonomi, seperti nilai tukar rupiah melemah dan juga utang negara terus menumpuk yang akan menjadi warisan bagi anak cucu.

Namun Menurut Menkeu Sri Mulyani Indrawati sejumlah utang adalah warisan dari Belanda untuk Indonesia. Warisan itu mulai dari utang hingga kondisi perekonomian yang rusak.

Fadli Zon menyimpulkan bahwa Menkeu Sri Mulyani merupakan menteri terbaik di mata asing dan bukan di mata rakyat Indonesia.

Bukti bahwa Indonesia mempunyai hutang menumpuk bisa kita lihat dari laporan Bank Dunia berjudul International Debt Statistics (IDS) 2021, Indonesia di daftar 10 negara dengan utang luar negeri terbesar.

Jika kita telisik lebih dalam, Global Market adalah majalah kelas dunia yang digagas dan  diterbitkan oleh World Bank Group, lembaga keuangan Internasional dengan sistem kapitalisme sekuler.

Patut diwaspadai apa yang menjadi goal terhadal pemberian penghargaan kepada Sri Mulyani sebagai Menkeu terbaik ini. Apakah tujuan penghargaan ini hanya sebuah strategi agar indonesia terjerembab lebih dalam lagi ke lubang kapitalisme global?

Dalih membangkitkan ekonomi nasional melalui utang hanyalah angan-angan. Bukannya bangkit, malah kian terpuruk. Sesungguhnya utang yang menumpuk telah memandulkan peran negara. Kemandirian bangsa akan semakin pupus. Tak hanya itu, dengan hutang menumpuk, negeri ini akan semakin mudah didikte asing.

Dalam Islam, ada cara mengatasi jebakan-jebakan utang para kapitalis. Tentunya ada tindakan-tindakan praktis yang harus dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan utang.

Pemerintahan dalam Islam bukanlah pemerintahan yang merujuk segala aturannya kepada hukum buatan manusia tapi sebuah pemerintahan dengan sistem Islam yang berbasis pada syariat dalam segala persoalan termasuk dalam perkara utang.

Utang dalam tinjauan syatiat islam tidak boleh mengandung unsur riba. Utang yang sah adalah utang yang tak mengandung unsur ribawi.

Cara praktis atasi utang dalam islam adalah; Pertama, memisahkan utang luar negeri pemerintah sebelumnya dengan utang pihak swasta (baik perorangan maupun perusahaan).

Jika utang itu milik swasta, merekalah yang harus membayar. Sebaliknya, jika melibatkan penguasa sebelum munculnya sistem pemerintahan Islam, maka sistem pemerintahan Islam harus mengambil alih sisa cicilan pembayarannya.

Kedua, sisa pembayaran utang luar negeri hanya mencakup sisa cicilan utang pokok saja, tidak meliputi bunga, karena syariat Islam mengharamkan bunga.

Firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman.” (QS al-Baqarah [2]: 278).

Ayat di atas mengharuskan pemerintahan Islam, individu, maupun perusahaan yang memiliki utang luar negeri, membayar sisa cicilan pokoknya saja. Diharamkan untuk menghitung serta membayar sisa bunga utang.

Ketiga, meski diwajibkan melunasi sisa cicilan pokok utangnya, sistem pemerintahan Islam menempuh berbagai cara demi meringankan bebannya. Hal itu dapat dilakukan dengan “lobi” agar pihak pemberi utang (kreditur) bersedia memberikan cut off (pemutihan).

Bila cara ini gagal, untuk mengurangi tekanan beban pembayaran dalam jangka waktu yang amat pendek, bisa meminta rescheduling (penjadwalan pembayaran utang yang lebih leluasa waktunya).

Keempat, utang sebelumnya akan dibayar negara dengan mengambil seluruh harta kekayaan yang dimiliki secara tidak sah oleh rezim sebelumnya beserta kroni-kroninya. Deposito mereka yang  “parkir” di berbagai bank luar negeri, baik di Swiss, Kepulauan Cayman, Singapura, dan lain-lain, akan dijadikan jaminan negara untuk pembayaran sisa utang tersebut.

Seandainya akumulasi deposito harta kekayaan mereka masih kurang untuk menutupi sisa utang, negara harus mengambil alih utang tersebut dan menalanginya dari pendapatan negara. Misalnya, bisa menggunakan harta yang berasal dari pos Jizyah, cukai perbatasan, atau badan usaha milik negara.

Sistem pemerintahan Islam semaksimal mungkin menghindari penggunaan harta yang berasal dari pemilikan umat (seperti hasil hutan, barang-barang tambang dan sebagainya) untuk pembayaran utang. Sebab, yang berutang adalah penguasa “rezim” sebelumnya bukan rakyat.

Kelima, utang luar negeri yang dipikul swasta (baik perorangan maupun perusahaan) dikembalikan kepada mereka untuk membayarnya. Misalnya, bisa dengan menyita dan menjual aset perusahaan yang mereka miliki.

Jika jumlahnya masih kurang, Pemerintahan Islam bisa mengambil paksa harta kekayaan maupun deposito para pemilik perusahaan sebagai garansi pembayaran utang luar negeri mereka.

Namun, bila jumlah harta kekayaan mereka belum mencukupi juga, negara harus mengambil-alih dan menalangi utang-utang mereka, karena negara adalah penjaga dan pemelihara (Râ’in) atas seluruh rakyatnya, tanpa kecuali. (K.H. Hafidz Abdurahman).

Demikianlah beberapa langkah praktis sistem pemerintahan Islam dalam upaya mengatasi jebakan utang luar negeri “rezim” sebelumnya. Penyelesaian ini tanpa mengambil harta kekayaan masyarakat dan dikelola negara untuk kemaslahatan dan kemakmuran seluruh rakyat.

Penyelesaian seperti ini  secara langsung akan menghancurkan dominasi kapitalis Barat dan menghapus ketergantungan negeri-negeri muslim pada dunia Barat.

Selain itu dapat menambah kepercayaan diri kaum muslimin bahwa mereka dapat berdiri sendiri tanpa sokongan yang justeru menjadi jebakan utang yang diciptakan Barat. Tentu hanya sistem pemerintahan Islam lah yang mampu melakukan hal ini. Tak perlu seorang ekonom “terbaik” ala kapitalis.[]

*Komunitas muslimah IMUT (ingin mau tahu)

Comment