Esa Mardiah*: Ibu, Dan Taruhan Nyawa-mu

Cerpen191 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — “Ayo bu! Ibu harus kuat … harus yakin. In syaa Allah ibu bisa. Pasti bisa. Tarik nafas dan kumpulkan tenaga, supaya mengejannya benar,” seruku sambil mengusap lembut perut dan pahanya. Masih ada sedikit sisa lumpur sawah di kaki setelah pertama kali datang kubersihkan.

Ibu yang selama kehamilannya entah melakukan pemeriksaan entah tidak, bercerita mengalami kontraksi ketika dia sedang di sawah.

_”Sawah batur…”_ Ucapnya lirih sekan berusaha menjelaskan.

Grande multipara dengan _Susp.Baby giant._ Wanita yang nampak lebih tua dibandingkan umurnya itu mengerjap penuh harap. Aku tersenyum mencoba menenangkan. Walau jauh dalam lubuk hati mulai muncul rasa bimbang.

Hampir satu jam mengejan, sebenarnya sudah harus persiapan ke Rumah Sakit. Tapi dari awal datang dengan keadaan pucat pasi dan nampak lemah Ibu sudah menolak.

_”Di dieu we bu, ulah dicandak kamana-mana…”_ pintanya memelas.

Aku hanya bisa tertegun ketika yang menjadi alasan lagi-lagi adalah biaya. Dukun yang ikut mengantar mengatakan bahwa untuk membawa ke tempat praktekku saja, butuh perjuangan yang lama. Sang Ibu bersikukuh tidak mau. Aku pun tidak mengerti mengapa masyarakat dengan kondisinya yang lemah seperti ini, justeru tidak termasuk mendapatkan jaminan kesehatan yang gratis.

_”Duka bu da abdi mah teu kenging, di lembur abdi mah nu kenging kartu eta sodara pak RT wungkul.”_

Pertolongan Allah, walau dengan susah payah,  alhamdulillah – akhirnya bayi besar itu lahir.  Ibu yang lemah nampak pasrah. Tak ada ekspresi dan pertanyaan seperti kebanyakan orang menanti sang buah hati. Tangisnya memecah sunyi antara bahagia dan sedih. Ya, mata ini sudah memanas menahan tangis ketika sejak datang, suaminya tidak bisa kuajak untuk diskusi.

Aku sempat menegur dan meminta dia untuk shalat, mendoakan istrinya yang sedang berjuang. Saat aku mencari, aku malah menemukannya begitu nyenyak di kursi panjang.

“Tumbuhlah sehat Nak, jadi anak saleh yang bisa membuat ibumu bangga dan bahagia.” Batinku, sambil menatap bayi yang meronta-ronta ketika dipakaikan baju baru yang sudah sangat lusuh, entah mungkin pakaian lungsuran dari kakak-kakaknya.

***

Keesokan harinya.

_”Ibu, nuhun, abdi bade uih, hampura can tiasa naur…”_ Dengan membungkuk-bungkuk ibu yang masih nampak ringkih itu berpamitan. Ada sesak dalam dada, ingin marah. Bukan karena dia belum bisa membayar seperti yang dia ucapkan.

Tapi sekali lagi mataku mencari suaminya. Mana suaminya? Aku sangat berharap bukan Ibu itu yang harus mengiba menemuiku. Aku ingin suaminya menunjukkan ittikad baik dan rasa tanggung jawab.

Duh, benar adanya kalau kadang kala situasi seperti ini dimanfaatkan kaum feminis dengan isu kesetaraan gendernya untuk mengangkat isu basi yang terus digoreng garing tentang perempuan yang terintimidasi. Perempuan yang teraniaya, perempuan yang perlu diberdayakan.

Padahal, ini bisa jadi karena suami lebih miskin lagi pengetahuan tentang memperlakukan istri. Bisa jadi karena individualistis merajai. Bisa jadi karena negeri kita sangat jauh dari berkah Sang Pemilik langit dan bumi. Karena dalam segala urusan umat semakin dijauhkan dari syariat.

Kupeluk erat Ibu itu, kubisikan bahwa dia tak perlu memikirkan biayanya.

Tapi aku manusia biasa yang memang masih terus harus belajar tentang keikhlasan. Hati kecilku masih tidak rela jika itu harus terdengar oleh suaminya yang masih nampak sehat dan masih bisa bertanggung jawab, paling tidak dengan kata-kata. Bukan diam seribu bahasa.[]

=============
*Ket:*
1. Sawah batur: Sawah orang.
2. Susp. Baby Giant (Kemungkinan bayi besar)
3. Di dieu wae…ulah dicandak kamana-mana : Disini saja jangan dibawa ke mana-mana.
4. Duka da abdi teu kenging : Nggak tahu saya gak dapat kartu itu, di kampung saya yang dapat saudaranya pak RT saja.
5. Maaf can tiasa naur: Maaf belum bisa bayar

Comment