Fatamorgana Swasembada Pangan Di Negeri Zamrud Khatulistiwa

Opini619 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Dahulu Indonesia dijuluki negeri Zamrud Khatulistiwa, tanahnya subur, kekayaan alamnya melimpah, seolah menjadi surga dunia. Dengan sumber daya alam yang luar biasa itu, hidup sejahtera bagi rakyat Indonesia tentu bukanlah sesuatu yang utopia.

Namun realitas berkata lain, rakyat justru hidup dalam bayang-bayang kemiskinan. Kondisi rakyat Indonesia sampai hari ini masih sangat jauh dari kata makmur dan sejahtera. Belum jua usia masalah mahal dan langkanya minyak goreng yang membuat rakyat miris dan menangis, masalah yang tak kalah menyusahkan bermunculan satu demi satu.

Harga Naik, Rakyat Menjerit

Harga kedelai, daging, hingga gas elpiji ikut mengalami kenaikan. Tentu saja kenaikan sejumlah barang yang menjadi kebutuhan pokok menambah kian beratnya rakyat. Patut dipertanyakan, apa gerangan yang salah sehingga mimpi untuk hidup sejahtera di negeri ini seolah mustahil untuk terwujud. Orde Lama berganti ke Orde Baru hingga masa reformasi telah dilalui dalam sejarah kepemimpinan bangsa ini, namun rakyat tetap saja hidup dalam kesulitan dan kesengsaraan. Kemakmuran dan kekayaan hanya dinikmati segelintir orang sementara yang hidup dalam garis kemiskinan jauh lebih banyak.

Fenomena kelangkaan minyak goreng misalnya, membingungkan banyak pihak. Bagaimana mungkin negara penghasil sawit terbanyak di dunia bisa mengalami kelangkaan minyak goreng? Atau kalaupun ada harus rakyat beli dengan harga yang tinggi? Terlebih Indonesia adalah negara eksportir Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia. Realita itu bukankah seharusnya menjadi indikator utama bahwa Indonesia dapat memiliki suplai minyak goreng melimpah dengan harga yang terjangkau?

Namun kenyataan berkata lain, hingga hari ini masih banyak yang mengeluh karena kesulitan untuk mendapatkan minyak goreng, bahkan harus antri panjang dan lama sekedar untuk membeli produk salah satu pelengkap kebutuhan pokok masyarakat.

Termasuk harga kedelai yang melonjak naik yang menimbulkan aksi mogok produksi dari para pengrajin tahu tempe. Alasannya suplai impor kedelai di pasar terbatas dikarenakan mengikuti harga pasar Internasional yang juga mengalami kenaikan. Alasan serupa pun dijadikan dalih atas kenaikan harga minyak goreng dalam negeri yaitu mengikuti harga minyak sawit dunia.

Tak hanya pengrajin tahu tempe yang berencana akan mogok produksi, pedagang daging pun berencana akan melakukan hal yang sama setelah banyak pedagang daging mengeluh naiknya harga daging di pasaran. Daging sapi yang biasanya dibanderol Rp 115.000-Rp 120.000 per kilo naik menjadi Rp 132.000 per kilo. Padahal ketersediaan daging sapi dalam negeri masih aman bahkan surplus.

Terbaru adalah kebijakan pemerintah menaikkan harga gas Elpiji nonsubsidi karena mengikuti perkembangan terkini dari industri minyak dan gas global. Tentu kenaikan harga tersebut akan disertai dengan kenaikan harga-harga komoditas lainnya yang menjadikan gas sebagai bahan utama, seperti produk makanan misalnya.

Bisa dikatakan, naik dan turunnya harga produk di atas ataupun produk-produk lainnya bergantung pada harga dunia. Hal tersebut seharusnya tidak perlu terjadi seperti pada kasus kenaikan harga minyak goreng. Pasalnya buah sawit kebunnya ada di dalam negeri, bahkan hasil panennya melimpah ruah, seharusnya penetapan harga bisa diambil secara mandiri oleh petani-petani kelapa sawit dalam negeri tanpa terikat dan terpengaruh sama sekali oleh harga CPO internasional.

Kedelai pun demikian, kebutuhan dalam negeri akan bahan dasar pembuatan tahu dan tempe tersebut mayoritas disuplai dari impor. Alhasil, Indonesia akan sangat bergantung pada impor. Jika harga kedelai impor melambung hal tersebut akan berimbas juga pada kemampuan Indonesia mengimpornya. Stok kedelai dalam negeri akan berkurang secara otomatis harganya pun akan naik.

Menyerahkan pengelolaan lahan pertanian kepada swasta bahkan asing bukanlah keputusan yang tepat. Sebab orientasi pengelolaan mereka hanya akan bertumpu pada profit sehingga memenuhi kebutuhan stok dalam negeri tak akan menjadi prioritas mereka.

Demikian halnya pada kebijakan over impor sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah saat ini. Selain berpengaruh pada dinamika harga produk, impor juga akan mematikan potensi pertanian dalam negeri yang sebenarnya sangat luar biasa. Cara instan yakni dengan impor dipandang mampu mengatasi problem ketahanan pangan dalam negeri, namun pada faktanya mengakibatkan banyak polemik yang ujung-ujungnya menyengsarakan rakyat. Impor bahkan akan membuat negara tidak mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyat sebab akan berada dalam tekanan dan kontrol negara lain.

Alhasil swasembada pangan pun tidak akan terwujud di negeri ini meski telah menjadi salah satu cita-cita pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan sekaligus jaminan ketersediaannya untuk memenuhi kebutuhan pangan, pakan dan industri dalam negeri.

Padahal, swasembada pangan sangat mungkin dilakukan mengingat potensi lahan pertanian juga keuletan para petani Indonesia yang sangat hebat. Jika dikelola dengan baik melalui pengaturan yang proporsional tentu kondisi memprihatinkan seperti yang terjadi saat ini tidak akan terjadi.

Wujudkan Swasembada Pangan Dengan Menerapkan Islam

Demi menjaga kualitas pangan yang juga akan berdampak pada bidang lain seperti stabilisasi roda perekonomian dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (yang sangat bergantung pada pangan sebagai kebutuhan pokok) pemerintah wajib untuk segera melakukan swasembada pangan. Dan jika hal tersebut sampai detik ini tidak bisa direalisasikan akibat terjebak pada hegemoni ideologi kapitalisme yang menincayakan adanya liberalisasi pertania, maka wajib bagi pemerintah untuk mau menerapkan pengaturan Islam yang terbukti memiliki konsep jitu untuk mewujudkan swasembada pangan demi memenuhi hajat asasi rakyat.

Langkah Islam dalam wujudkan swasembada pangan di antaranya: Pertama, negara wajib memberhentikan impor dan lebih fokus pada pemberdayaan sektor pertanian dalam negeri. Terlebih saat ini sektor industri seolah jauh lebih diprioritaskan sehingga sektor pertanian terabaikan. Bahkan banyak lahan pertanian di negeri ini yang kini beralih fungsi menjadi lahan bisnis. Akibatnya, Indonesia banyak kehilangan lahan pertanian yang seharusnya menjadi penunjang merealisasikan swasembada pangan. Termasuk banyak petani yang akhirnya beralih profesi menjadi pekerja atau buruh pabrik sebab tak ada lagi lahan pertanian yang membutuhkan tenaga mereka untuk menggarapnya.

Kedua, negara wajib membuat kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Intensifikasi dilakukan dengan meningkatkan produktifitas lahan pertanian yang sudah ada. Dalam hal ini pemerintah dengan kemajuan ilmu pengetahuan dapat mengembangkan sarana dan prasarana modern seperti pengadaan mesin dan peralatan produksi lainnya. Termasuk menjamin ketersediaan benih unggul dan pupuk guna meningkatkan kualitas pertanian.

Hal ini sangat penting dilakukan oleh pemerintah mengingat yang berkewajian untuk menjamin kebutuhan pangan rakyat adalah negara. Karenanya, pengelolaan pertanian harus secara mandiri dilakukan dan tidak boleh menerapkan liberalisasi pada sektor pertanian yang hanya akan menguntungkan industri-industri swasta dan asing. Termasuk pemerintah tidak boleh membuat kebijakan untuk memuluskan industri asing tersebut menguasai lahan-lahan pertanian yang ada.

Selain itu, negara juga tidak boleh melakukan impor sebelum memastikan stok pangan dalam negeri cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat orang per orang. Dengan kata lain, jaminan terpenuhinya kebutuhan pangan rakyat harus menjadi prioritas utama negara sehingga tidak boleh ada satupun rakyat yang kekurangan pangan atau bahkan kelaparan.

Sementara ekstensifikasi dilakukan dengan cara membuka lahan-lahan pertanian baru dan menghidupkan tanah mati. Dalam pandangan Islam, setiap tanah wajib untuk dikelola dan haram untuk dibiarkan begitu saja. Setiap pemilik tanah yang tidak mampu mengelola tanahnya dengan alasan tidak memiliki modal, maka pemerintah akan memberikan bantuan modal dari Baitul Maal tanpa meminta kompensasi apapun dari hasil tanahnya nanti.

Sementara yang dimaksud tanah mati menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Sistem Ekonomi Islam adalah tanah yang ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh siapapun. Sehingga siapa saja yang datang menghidupkannya (mengelolanya), menanaminya atau mendirikan bangunan di atasnya maka akan menjadi miliknya. Hal tersebut sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Saw:

“Siapa saja yang lebih dahulu sampai pada sesuatu (sebidang tanah) sementara tidak ada seorang Muslim pun sebelumnya yang sampai padanya, maka sesuatu itu menjadi miliknya.” (HR. Thabrani, dalam kitabnya al-Kabir)

Apabila seseorang telah memagari tanah mati, namun pemilik tanah menganggurkan tanahnya tanpa mengelolanya sama sekali selama tiga tahun maka tanah tersebut akan diambil alih oleh negara dan akan diberikan kepada orang lain untuk dikelolanya. Hal tersebut didasarkan pada perkataan Umar bin Khaththab ra., “Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang dipagarinya) setelah membiarkannya selama tiga tahun.”

Ketiga, menetapkan kebijakan distribusi pangan secara merata. Distorsi pasar seperti penimbunan barang dan permainan harga diharamkan dalam Islam. Setiap pelakunya akan diberikan sanksi yang tegas sebab perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi rakyat selaku konsumen.

Penimbunan barang juga akan menyebabkan kelangkaan sekaligus menimbulkan ketidakstabilan harga produk-produk di pasar. Kelangkaan dan harga mahal berdampak juga pada perolehan bahan pangan yang tidak merata, sebab yang mampu memperolehnya hanya orang yang kaya.

Jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat akan dilihat sesuai dengan jumlah kebutuhan pangan individu per individu masyarakat sehingga pemerintah dapat mengetahui sedikit banyaknya pasokan pangan yang harus disiapkan dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok rakyat.

Jika pemerintah Indonesia mau untuk menerapkan hukum-hukum Islam, swasembada pangan tak lagi sebatas fatamorgana dan rakyat Indonesia akan benar-benar merasakan kehidupan yang makmur dan sejahtera.[]

Comment