Fenomena Kekerasan Pada Remaja Tanggung Jawab Siapa?

Opini458 Views

 

 

 

Oleh: Hidayati Sundari, Praktisi Pendidikan

_________

RADARINDONIANEWS.COM, JAKARTA –Di penghujung tahun 2021 kita dikejutkan dengan maraknya tindak kekerasan oleh para remaja. Aksi kekerasan tersebut dilakukan secara bergerombol, biasanya mereka menggunakan sepeda motor, dan membawa senjata tajam.

Masyarakat sering menyebutnya sebagai gangster. Tentu ini sangat meresahkan. Selain ulah gangster remaja, marak juga terjadi tawuran antar pelajar dan tidak kalah mengejutkan adalah banyaknya aksi pembegalan. Aksi pembegalan tersebut tak jarang dilakukan oleh para remaja tanggung dan anak dibawah umur.

Bukan hal sulit saat ini untuk mengetahui berapa banyak aksi kejahatan yang dilakukan oleh para remaja ini. Apalagi di era digital, di mana hanya dalam hitungan menit semua kejadian tindak kejahatan di masyarakat bisa langsung diakses di berbagai portal media online atau platform media sosial.

Tindakan kejahatan yang dilakukan oleh para remaja ini sedang marak terjadi di berbagai wilayah. Beberapa contoh adalah yang terjadi di wilayah Kabupaten/Kota Tangerang.

Seperti dikutip dari Tribun news.com (6/12/2021). Seorang gadis berusia 14 tahun menjadi korban kebengisan geng motor di Cibodas Kota Tangerang. Wajah gadis tersebut robek di bagian pipinya terkena sabetan celurit yang dilakukan sekelompok orang menggunakan sepeda motor.

Sementara itu di hari yang sama terjadi tindakan penyerangan terhadap 4 pemuda diduga dilakukan oleh gangster di Sepatan Kabupaten Tangerang. Metro.sindonews.com (7/12/2021).

Sementara itu puncaknya adalah ketika Polda Banten menangkap 36 orang anggota gangster yang akan melakukan tawuran di wilayah Cisoka, Kabupaten Tangerang. KOMPAS.TV(21/12/2021).

Tentu Kita tidak lupa saat peringatan hari guru 25 November yang lalu, pelajar SMP di Pamulang memilih tawuran di depan Pamulang Square, Kota Tangerang Selatan. Tribun News.com(26/11/2021).

Hal yang sangat mencoreng wajah dunia pendidikan kita. Fakta- fakta di atas hanya sebagian contoh kecil kekerasan yang yang terjadi, pada kenyataannya serupa dengan fenomena gunung es. Hanya sebagian kecil yang tampak di permukaan, padahal banyak hal besar lainnya yang terjadi di bawah permukaan.

Jika berbicara kekerasan seperti tawuran, pembegalan dan aksi teror para gangster, ada kekerasan lain yang banyak dialami oleh para remaja, yaitu kekerasan seksual. Hal yang paling menohok adalah semakin banyaknya tindakan kejahatan kekerasan seksual berupa perkosaan disertai penganiayaan bahkan sampai tindakan pembunuhan. Beberapa pelaku bahkan secara hukum masih bisa di kategorikan sebagai anak-anak. Melihat fakta di atas tentunya akan timbul pertanyaan besar, mengapa hal ini bisa terjadi. Tentu ada banyak faktor yang melatar belakanginya.

Sebelumnya kita juga harus memahami definisi remaja agar kita tau cara memperlakukan mereka dengan benar.

Dalam sudut pandang Islam, remaja adalah orang yang menginjak aqil baligh, di mana mereka sudah mampu untuk membedakan mana perbuatan yang baik dan yang buruk. Oleh karena itu mereka termasuk ke dalam kategori mukallaf yaitu mereka telah dikenakan beban kewajiban melakukan syari’at.

Biasanya hal ini ditandai dengan menstruasi bagi perempuan dan mimpi basah bagi laki-laki. Masa peralihan dari fase anak- anak menuju setengah dewasa inilah yang sering membuat mereka melakukan hal yang kita anggap sebagai kenakalan remaja. Fase di mana mereka ingin mencoba hal baru, fase mereka ingin diakui keberadaan dan eksistensi dirinya.

Ada banyak faktor mengapa para remaja ini mempunyai perilaku yang menyimpang, ada faktor internal, yaitu yang berkaitan dengan dirinya sendiri dan faktor eksternal, yaitu faktor di luar diri mereka namun sangat berpengaruh terhadap mereka, di antaranya adalah:

1. Faktor keluarga
Faktor keluarga sangatlah penting bagi tumbuh kembang fisik maupun mental para remaja ini. Peran orang tua tidak hanya memberikan ke cukupan dalam hal materi saja, tetapi membangun jiwa anak agar memiliki mental yang kuat dan rasa percaya diri atau self esteem yang tinggi.

Agar memiliki mental yang kuat orang tua bisa memberikan pemahaman agama, sebab dengan pemahaman agama yang baik, para remaja ini memiliki sandaran yang kokoh dan mengenal hakekat keberadaannya di dunia ini untuk menjadi sebaik baiknya manusia.

Mereka tidak akan mengalami apa yang dinamakan dengan krisis identitas dan kontrol diri yang lemah, sebab mereka mengetahui dan mampu menjawab tiga pertanyaan mendasar. Seperti yang di ungkapkan oleh Dr. Yusuf al-Qordhowi, yaitu dari mana ia berasal, untuk apa ia diciptakan, dan akan ke mana ia nantinya.

2. Faktor lingkungan sekitar
Tidak dapat di pungkiri bahwa pertemanan di lingkungan sekitar para remaja membawa pengaruh yang sangat besar. Jika mereka berada di lingkungan pertemanan yang baik, tentu saja mereka akan melakukan hal-hal yang baik, begitupun sebaliknya. Termasuk pengaruh media sosial, apa yang mereka lihat, yang mereka dengar dan apa yang mereka baca akan mempengaruhi perilaku mereka.

Di sini pentingnya tontonan yang mendidik, tapi tetap menarik. Memfilter tayangan kekerasan dan berbagai jenis tontonan atau bacaan berbau pornografi.
Begitupun tempat pendidikan, tempat para remaja ini menimba ilmu pengetahuan dan belajar berbagai hal, tetapi tidak banyak yang mengetahui bahwa sekolah merupakan tempat yang cukup rentan, untuk para remaja melakukan tindakan kenakalan/kekerasan atau tempat di mana remaja ini menjadi korban tindakan kekerasan tersebut.

Berbagai faktor tersebut akan berfungsi dengan baik jika ada peran negara, sebab hanya negara yang memiliki seluruh sumberdaya dan otoritas untuk memproteksi segala macam ancaman yang akan merusak para generasi muda ini.

Tidak akan mungkin ada keluarga yang harmonis dengan orang tua yang dapat mendidik anak-anak mereka, jika perhatian mereka teralihkan akan kebutuhan hidup mereka yang serba kekurangan.

Kepala keluarga sulit mendapatkan pekerjaan, jika adapun penghasilan mereka sangat minim. lalu sebagai solusi sang istripun harus ikut mencari nafkah. Maka akan semakin berkurang waktu bagi sang ibu sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Mengenai hal ini ada seorang penyair ternama Hafiz Ibrahim mengungkapkan sebagai berikut: “Al-Ummu madrasatul ula, iza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq”.

Artinya: Ibu adalah madrasah (Sekolah) pertama bagi anaknya. Jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya.

Mungkin ini awal dari kerusakan para generasi yang kita saksikan saat ini, di mana seorang ibu akan dibuat sibuk dengan urusan yang seharusnya peran mencari nafkah ini berada di pundak kepala keluarga. Di sini pentingnya peran negara, di mana negara harus hadir di tengah masyarakat dengan menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan untuk para kepala keluarga dengan kelayakan upah.

Dunia seakan terbalik, perempuan diberikan lebih banyak peluang mendapatkan lowongan pekerjaan, dan para kepala keluarga yang seharusnya berada di luar rumah mencari nafkah malah harus bertukar peran untuk mengurus rumah tangga.

Peran negara selanjutnya adalah bagaimana menciptakan lingkungan sekitar yang kondusif, dengan tidak menyediakan tempat- tempat yang banyak mudharatnya, istilah remaja sekarang “tempat nongkrong” di mana gaya hidup yang hedonis di pertontonkan, gaya hidup kebarat-baratan menjadi kebanggaan, dan aurat diumbar tanpa rasa malu. Seakan mereka hanya hidup di dunia ini saja tanpa mempertanggung jawabkan perbuatannya nanti.

Di era digital ini, semakin banyak hal yang bisa diakses, dengan sentuhan jari semua yang diinginkan sudah dalam genggaman. Peran negara adalah bagaimana memproteksi konten-konten negatif dan aplikasi yang sudah jelas nyata hanya membawa keburukan.

Para remaja cenderung ingin mencoba dan mengeksplore hal baru, mereka memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi, menurut data yang didapat Indonesia termasuk pengguna media sosial terbanyak dan termasuk dalam 5 negara tertinggi pengakses konten dewasa.

Sungguh miris memang, padahal sudah sangat nyata efek konten dan aplikasi yang buruk tersebut pada perilaku masyarakat. Tidak heran jika tindakan asusila merebak di negeri ini, dan kekerasan seksual semakin marak.

Negara selanjutnya harus hadir dalam memperbaiki sistem pendidikan, yang akan melahirkan generasi terbaiknya seperti generasi Islam terdahulu. Bukan melulu soal karakter. Pola sikap dan pola pikir Islam harus tertancap kuat dalam benak mereka. Satu hal yang pasti adalah pola pendidikan ala barat harus ditinggalkan, karena sejarah telah membuktikan dengan penerapan pendidikan Islam telah melahirkan para intelektual mumpuni, yang dengan ilmunya mampu menerangi manusia dari kegelapan dan kebodohan.

Sejatinya problematika pendidikan adalah problematika yang sistemik, artinya segala permasalahan mencakup seluruh komponen pendidikan yang ada, dimulai dari peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan pada sistem pendidikan di Indonesia, peran manajerial, guru/ dosen yang kompeten, sarana dan prasarana, kurikulum yang menunjang, serta peran aktif dan dukungan dari masyarakat.

Jika negara benar- benar hadir dalam unsur-unsur di atas tentunya para remaja ini tidak akan menjadi seperti saat ini, mereka akan menjadi generasi terbaik yang akan memimpin peradaban. Wallahu A’lam Bishawab.[]

Comment