Fitriani, S.Hi*: Bukan RUU P-KS, Islam Solusi Tuntas Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan

Opini469 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Hari ini fakta kekerasan seksual terhadap perempuan seakan tidak ada habisnya. Baik yang menimpa orang dewasa mau pun anak-anak.

Padahal segala upaya dilakukan oleh pihak yang berwenang, dari mulai upaya pencegahan sampai pemberian sanksi bagi pelaku. Namun bak bola salju liar, kasus per kasus terjadi semakin masif dan memprihatinkan.

Alih-alih reda kasus kekerasan seksual semakin menjadi dengan berbagai bentuknya. Seperti yang disampaikan oleh Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI) SUMUT mencatat hingga akhir tahun 2019 dan ditahun 2020 jumlah kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak semakin merajalela.

Menurut mereka cara ampuh untuk menghapuskan kekerasan seksual terhadap perempuan adalah dengan segera menjadikannya sebagai Undang-Undang, karena selama ini adanya tindak kekerasan seksual tersebut tidak bisa menjerat pelaku kekerasan seksual karena tidak ada payung hukum yang memadai.

Hal ini dikarenakan payung hukum yang ada hanyalah berupa KUHP yang pastinya kekuatan hukumnya dibawah UU.

Maka mereka menganggap bahwa pengesahan RUU PKS menjadi UU adalah kebutuhan yang mendesak untuk dilakukan setelah berselang 8 tahun dari diusulkannya RUU P-KS ini ditahun 2012 silam.

Sejak awal 2019 lalu RUU ini kembali mencuat untuk segera disahkan karena sudah masuk dalam daftar Prolegnas sejak 2016, namun karena pro dan kontra terus terjadi hingga hari ini belum disahkan.

Dan kembali dari HAPSARI SUMUT salah satu LSM yang menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan meminta agar RUU ini dilanjutkan untuk segera di golkan dalam rangka menyelesaikan kasus kekerasan seksual.

Desakan pengesahan semakin kuat karena kekerasan terhadap perempuan di negeri ini melonjak hampir 8 kali lipat.

Kekerasan makin marak terjadi dilingkungan keluarga seperti inses dan marital rape (kekerasan seksual dalam rumah tangga).(Kompas.com/01 Juli 2020). Namun benarkah dengan RUU PKS ini masalah kekerasan seksual dapat diselesaikan?

Jika dilihat RUU P-KS ini masih menimbulkan polemik. Indah di judul saja namun bisa berbahaya jika sampai RUU ini disahkan.

Karena setelah dikaji lebih dalam ternyata RUU ini hanya mempermasalahkan kasus yang di dalam tindak seksualnya ada unsur pemaksaan.

Namun ketika tidak ada pemaksaan, maka hal tersebut dianggap bukan sebuah kejahatan atau pelanggaran terhadap peraturan.

Sebagaimana yang pernah disampaikan Dr. Sabriati Azis Ketua Bidang Jaringan AILA (Aliansi Cinta Keluarga), bahwa dari definisi atau konsep kekerasan seksual dalam RUU Penghapusan KS (Kekerasan Seksual) itu adalah adanya paksaan dan tidak adanya upaya persetujuan dari seseorang. Bukan pada baik atau buruknya perilaku seksual tersebut ditinjau dari kesehatan, nilai-nilai agama, sosial, dan budaya Indonesia.

Maka, jika seseorang melakukan zina suka sama suka, aborsi secara suka rela atau suami mensodomi istrinya dan istrinya senang-senang aja, itu tidak dianggap sebagai kekerasan seksual.

Selain itu, perzinaan dan perilaku LGBT serta penyimpangan seksual lainnya dalam RUU itu tidak dianggap sebagai bentuk kekerasan seksual jika tidak ada unsur paksaan walaupun perilaku seksual tersebut bertentangan dengan moralitas dan agama.

Sehingga RUU ini, juga berpotensi melegalkan prostitusi dan aborsi. Jelas sekali sebenarnya ada nuansa liberalisasi dan sekulerisasi agama dalam RUU PKS ini.

Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Ketua Perkumpulan Penggiat Keluarga (GiGa) Indonesia, Prof. Euis Sunarti di tahun 2019 lalu bahwa RUU PKS ini memiliki satu masalah serius yaitu memisahkan agama dari keseharian masyarakat. Jelas ini sesuatu yang sangat berbahaya apalagi bagi seorang muslim.

Jika dilihat meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, bukan tanpa sebab dan ternyata penerapan sistem sekulerisme dan liberalisme menjadi faktor dan akar permasalahan yang sebenarnya.

Sekulerisme dan liberalisme tidak akan pernah memuliakan para wanita. Karena mereka memandang wanita hanya sebagai komoditi yang harus mendatangkan keuntungan dan manfaat materi.

Mereka memandang kaum wanita sebagai bagian dari “factor produksi” yang harus diproduksikan agar menghasilkan bukan untuk dilindungi dan dimuliakan.

Maka Sejatinya RUU PKS bukanlah solusi terhadap maraknya kasus kekerasan seksual pada perempuan, karena nyatanya RUU ini justru menyebabkan legalnya dosa yang lebih besar yakni melanggengkan seks bebas, LGBT, prostitusi bahkan aborsi.

Sebab jika tata kehidupan di masyarakat tetap sekuler-liberal maka kejahatan seksual pun akan terus menjamur di masyarakat. Satu-satunya solusi yang harus kita ambil adalah bagaimana syariat Allah SWT bisa diterapkan, baik di dalam tataran individu, keluarga, masyarakat dan pastinya negara.

Maka penerapan Islam secara Kaffah lah yang akan menjadi solusi tuntas terhadap meningkatnya kasus kekerasan seksual ini.

Islam sebagai ideology yang bisa
menyelesaikannya. Karena dalam Islam kejahatan seksual didefinisikan sebagai segala bentuk pelampiasan hasrat seksual yang dilakukan secara tidak ma’ruf dan tidak legal.

Segala kejahatan itu zarimah (kriminal), termasuk di dalamnya berupa kejahatan yang bentuknya seksual, dan segala zarimah menurut Islam, itu pasti mengandung dosa. Tidak memandang lagi dilakukan atas dasar suka sama suka maupun paksaan (kekerasan).

Karena memang standar Islam menghukumi sesuatu bukanlah ukuran suka atau tidak suka, bukan menggunakan standar HAM yang sudah jelas-jelas beraroma liberalisme Barat. Namun berdasarka apa yang ditetapkan Allah SWT.

Maka selayaknya sistem Islam inilah yang harusnya kita perjuangkan untuk diterapkan. Sistem Islam Kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah yang akan menjaga kaum perempuan dari maraknya kejahatan seksual dan akan melindungi dan memuliakannya. Wallahu`alam bisshawab.[]

 

*Founder Forum Tokoh Muslimah Deli Serdang

Comment