Fluktuatif Harga Cabai, Kemana Pemerintah?

Opini515 Views

 

 

Oleh: Puput Hariyani, S.Si, Praktisi Pendidikan

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Tak ada habis-habisnya, masyarakat kembali dibuat kelimpungan karena harga cabai yang fluktuatif. Polemik harga cabai terus menjadi perbincangan di tengah masyarakat dan mengundang beragam respon.

Jika sebelumnya masyarakat menjerit karena harga cabai yang meroket tinggi hingga mencapai ratusan ribu, kini petani harus menangis tersebab harga cabai yang anjlok pada kisaran di bawah sepuluh ribu.

Tak ayal kita saksikan video viral seorang petani cabai yang mengamuk dan merusak kebun miliknya diduga akibat harga cabai yang nyungsep di pasaran. Tak tanggung-tanggung besarnya kerugian yang harus ditanggung petani. Sangat fantastis. Padahal jika kita berbicara Impas Biaya Produksi atau Break Event Point (BEP) untuk cabai idealnya di angka Rp 25.000-Rp 30.000 per kg.

Anggota Komisi IV DPR RI, Slamet turut menanggapi perihal anjloknya harga cabai. Menurutnya harga cabai yang anjlok di pasaran menandakan adanya masalah yang seharusnya menjadi perhatian serius dari Pemerintah.

Pemerintah harus hadir melindungi petani Indonesia. Jangan hanya impor terus, sementara nasib petani semakin sengsara. Ia melanjutkan, bahkan impor cabai tahun ini naik 54 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun 2020 mengimpor sebesar 18.075 ton sementara tahun 2021 semester I mencapai 27.851 ton (Radartegal.com)

Keprihatinan juga diungkapkan oleh Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Yogyakarta Hempri Suyatna dengan adanya kebijakan impor cabai pada saat pandemi. Seharusnya Indonesia mengurangi impor besar-besaran saat pandemi karena akan mengganggu panenan produk lokal.

Lebih lanjut ia mengeluhkan kebijakan pemerintah karena negara sebenernya bisa memfasilitasi pengembangan industri olahan cabai dan juga membangun sistem atau teknologi penyimpanan cabai agar tahan lama tetapi tidak pernah dilakukan (Ayoyogya.com)

Namun, rakyat harus menelan pil pahit berulang kali ketika penguasa berdalih anjloknya harga akibat faktor kelebihan produksi atau surplus dan barang melimpah.

Padahal anjloknya harga cabai saat ini disebabkan oleh sepinya pasar, rendahnya daya beli akibat PPKM dan adanya kebijakan impor komoditas cabai yang sudah dilegalkan oleh pemerintah.

Masyarakat semakin dikecewakan karena pemerintah kembali berdalih untuk menutupi kekurangannya bahwa impor untuk menstabilkan harga cabai. Alasan yang tak masuk akal dan terkesan mengada-ada.

Padahal seharusnya minimal pemerintah konsisten berpegang pada landasan kerja era Kabinet Indonesia Maju sebagaimana tertuang dalam nawacita kedaulatan pangan yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan para petani.

Semestinya dari sini kita paham bahwa problem utama kita hari ini adalah abainya peran penguasa terhadap rakyat. Berlepas tangan dari tanggungjawab yang seharusnya mengurusi urusan rakyat termasuk serius dalam membangun kedaulatan pangan di negeri sendiri.

Hal ini semakin menegaskan bahwa penguasa tak lagi menjadikan kepentingan rakyat adalah hal utama. Penguasa dengan kacamata sekuler kapitalistiknya telah membatasi diri hanya sebagai fasilitator bukan lagi pemimpin yang mengurus, mengayomi dan melindungi rakyat.

Kenyataannya, rezim ini gagal dalam mengurus rakyat karena fokus orientasinya pada kepentingan diri dan kelompoknya. Mahalnya mahar demokrasi dalam penyelenggaraan pemilihan seorang pemimpin menjadikan siapa saja yang duduk di kursi panas harus bersegera mengembalikan modal besar yang telah ia gelontorkan.

Maka sangat disayangkan lahirnya berbagai kebijakan yang tidak berpihak terhadap rakyat, justru pro kepada para pendukungnya, para kapital dan sekutunya.

Semoga realitas ini menggugah kesadaran rakyat akan abainya penguasa hari ini dan pentingnya menghadirkan kepemimpinan Islam sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan diteladani oleh para Khalifah setelahnya.

Dengannya berharap keberkahan dan kerahmatan dapat terwujud di muka bumi ini. Wallahu’alam bi ash-showab.[]

Comment