Hanif Kristianto*: Adu Tak-Tik Dukun-Dukunan Versus Dukun Politik

Opini531 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Masih ingat Mohammad Ponari? Dukun cilik dengan genggaman batu ajaib yang turun bersamaan petir. Mantan dukun cilik yang usianya kini 20 tahun itu akan menikah setelah melamar kekasihnya. Tak ayal fenomena percaya pada dukun dan pengobatan alternatif masih melekat di masyarakat Jawa.

Entah karena akses kesehatan yang mahal, atau sugesti kuat sembuh tanpa berobat ke dokter. Hari ini pun, Ningsih Tinampi memanfaatkan media You Tube menyajikan pengobatan alternatif. Ningsih Tinampi membiarkan orang lain menyebut dirinya dukun atau yang lain.

Pasalnya dia enjoy melakoni aktifitas mengobati pasiennya. Hal yang membuat geger publik dunia ialah selorohnya bisa memanggil nabi dan malaikat.

Hal yang mustahil bin mustahal dilakukan manusia biasa yang lemah dan bukan hamba pilihan Allah Swt. Alhasil Ningsih Tinampi meminta maaf dan tak mengulanginya.

Dua peristiwa yang terjadi di Jombang dan Pasuruan, Jawa Timur, sejatinya bisa diambil pelajaran dari sisi sosiologis-politik.

Maksudnya, fenomena itu terus berulang dan berulang di tengah kemajuan teknologi dan dunia kedokteran. Seolah meminggirkan peranan akal untuk memahami fakta dan mengindera setiap masalah yang ada.

Pelajaran pertama, masyarakat belum mampu menggunakan cara berfikir yang benar terkait pengobatan dan dunia medis kesehatan.

Hal ini dikarenakan hilangnya pemikiran dan suatu sistem kesehatan Islam di benak umat Islam. Umat masih mengenal Islam seputar ritual kegamaan tanpa menyentuh teknis kehidupan.

Alhasil, meski pengobatan itu menyimpang dari syariah Islam, umat tidak merasa berdosa apalagi takut masuk ke jurang kesyirikan.

Pelajaran kedua, negeri ini memang mengambil sistem aturan kehidupan yang sekular. Tugas utama negara yang seharusnya menjaga aqidah Islam diabaikan.

Umat Islam tidak diberikan petunjuk mana jalan yang haq dan mana jalan yang bathil. Ada dugaan penyegajaan membiarkan aqidah umat terkotori dengan hal-hal yang berbau takhayul, khurafaat, dan kepercayaan di luar Islam.

Pelajaran ketiga, secara asasi seharusnya kesehatan adalah kebutuhan setiap manusia. Tanpa membedakan kaya atau miskin.

Negara harus menyediakan sarana dan prasarana agar rakyat hidup sehat dan terhindar dari penyakit. Negara tidak boleh menarik biaya atau dengan alasan asuransi sosial kesehatan. Alhasil rakyat sering mengeluh dengan beban hidup yang bertambah berat. Jika rakyat sehat, negara pun kuat.

Pelajaran keempat, fenomena dukun ala pengobatan alternatif itu akan terus bermunculan jika umat tidak sadar diri. Kurangnya edukasi dari negara menyebabkan rakyat mudah terbelokkan dalam memutuskan model pengobatan. Seolah ada pemisahan, misalnya medis dan non medis. Medis tugasnya dokter. Non medis tugasnya dukun atau paranormal. Padahal setiap penyakit pasti ada obatnya dan Islam telah memberikan panduannya.

Lantas, bagaimanakah jika dikaitkan dengan model ‘dukun politik’? dukun politik di Indonesia telah menjelma menjadi lembaga survey, konsultan komunikasi politik, dan tim pemenangan.

Jika diamati selama pemilu mereka begitu yakin akan kemenangan calon yang diusung. Adapun pemerhati dan analis politik, mereka seperti menerawang masa depan peristiwa dan manuver politik yang akan terjadi.

Jika dukun tahu masa depan karena bantuan jin dan setan, maka dukun politik menerawang masa depan berdasarkan pengamatan dan mengikuti rangkaian peristiwa.

Jin sendiri kerap berbohong dan mengadu domba dalam memberikan informasi. Sayangnya yang datang ke dukun juga percaya dan meyakininya. Apalagi dukun politik. Analisisnya memang tidak selalu benar, tapi paling tidak mendekati benar.

Bagaimana menjadi ‘dukun politik’ yang normal, dalam artian positif seseorang yang melayakkan diri menjadi pemerhati dan analis politik.

Pertama, Politik adalah pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan mengurus kepentingan rakyat. Pemikiran tersebut dapat berupa pedoman, keyakinan, hukum, atau aktivitas yang telah-sedang-atau akan terjadi, maupun informasi-informasi.

Kedua, kuat dalam literasi membaca dan mengikuti rangkaian peristiwa dalam pemberitaan. Kemudian menyimpulkan dan menganalisisnya. Ibaratkan puzzel ini merupakan bagaian merangkainya.

Ketiga, memiliki pisau bedah ideologi yang sahih (Islam). Tanpa ideologi analisis yang dihasilkan akan terasa hambar karena kerap muncul praduga dan anggapan salah. Solusi yang diberikan pun akan salah jika ideologi (kapitalisme dan sosialisme) yang dipakai.

Keempat, memiliki ilmu dasar berupa politik, hukum, sejarah, ideologi, geografi, dan cakrawala berfikir luas. Kalulah hanya mengandalkan cara berfikir sederhana, dipastikan hasil analisisnya hambar dan cenderung mengekor ke orang lain. Tak percaya diri.

Kelima, menuliskan analisisnya terus menerus dengan istiqomah. Sulit di awal adalah tanda bahwa analisis politik itu menantang. Jika di awal sudah menyerah, maka selamanya tidak akan pernah menulis analisis politik.

Keenam, memperkaya literasi, diksi, diskusi, narasi, dan persepsi. Kekuatan itu harus diperkaya dengan rujukan yang kuat dari quran dan sunnah. Alhasil seorang analis dan pemerhati politik tidak hanya menulis dengan bahasa langit dan membingungkan, tapi juga dengan bahasa ringan dan mudah dimengerti publik.

Janganlah terjebak menjadi dukun-dukunan. Fokuslah pada ‘dukun politik’ nyentrik yang mampu berfikir futuristik. Menyontoh hasil ijtihad ulama dalam kaidah hukum fiqih. Kalaulah analisis politik salah maka dapatnya satu nilai kebaikan. Kalaulah benar maka dapat dua kebaikan.

Apalagi memosisikan diri menjadi analis politik dengan sudut pandang Islam sebagai pengatur urusan kehidupan dunia hingga akhirat kelak. Bersedia?[]

*Analis politik dan media, Pusat kajian data dan analisis

Comment