Hard dan Soft Power Dalam Mengamankan Perairan Natuna

Berita411 Views
Prasetyo Sunaryo, Ir., MT
RADAR INDONESIA NEWS.COM, Jakarta – Pada tanggal 23
Juni 2014, Hunan Publishing House telah merilis peta vertikal baru dari Cina
yang meliputi sebagian besar Laut Cina Selatan yang biasa disebut “sembilan
garis putus-putus” (9 Dash Line), dengan menambahkan satu “dash”
menjadi sepuluh. Dalam pembenaran peta baru tersebut, Wang Junming, seorang
profesor hukum internasional dan hukum laut di Sekolah Partai, Komite Sentral
Partai Komunis China berpendapat, bahwa peta tersebut untuk menggambarkan
hak-hak kedaulatan China dan hak-hak nelayan tradisional di Laut Cina Selatan.
Jelas, argumen tersebut sangat aneh serta tidak sejalan dengan norma-norma
internasional dan hukum kontemporer laut .
 Apa dampak dibalik pemunculan peta
tersebut bagi Indonesia ?
Adanya tiga
peristiwa konflik perikanan akhir-akhir ini di wilayah perairan Natuna
menandakan adanya overlapping (tumpang-tindih) wilayah antara ZEE Natuna
dengan claim China berbasis 9 dash line tersebut. Pemerintah Indonesia
sudah menegaskan sikapnya bahwa ZEE diperairan Natuna adalah sah secara hukum
Internasional (UNCLOS ‘82) dan akan dipertahankan sebagai wilayah
kedaulatannya. Dan Indonesia tidak mengakui berbagai jenis claim diluar
kesepakatan UNCLOS serta mendukung kebebasan navigasi di perairan
internasional.
Di  UNCLOS, hak nelayan tradisional telah
ternaungi, dalam konteks negara kepulauan (archipelagic state).
Indonesia yang dalam UNCLOS sudah jelas dinyatakan sebagai negara kepulauan (archipelagic
state
) mempunyai hak ZEE dalam pengelolaan perikanannya. Dengan demikian
menyangkut pengelolaan perikanan di zone ZEE di perairan Natuna, merupakan hak
sepenuhnya negara Indonesia. Bagi negara lain yang ingin melakukan penangkapan
ikan di wilayah ZEE diperairan Natuna harus melakukan perjanjian bilateral dulu
dengan Indonesia. Inilah kaidah pergaulan internasional yang berlaku dalam
persoalan perikanan didaerah ZEE bagi sebuah negara yang telah dinyatakan
sebagai arcipelagic state (negara kepulauan).
Mengantisipasi
terjadinya eskalasi konflik yang terjadi di perairan Natuna yang disebabkan claim
wilayah pencarian perikanan, guna menjaga kedaulatan wilayah, perlu diwujudkan
sistim pertahanan integratif di wilayah propinsi Kepulauan Riau, yang termasuk
di dalamnya wipayah perairan di Kabupatan Natuna, yaitu yang berupa pertahanan
militer (hard power) yang simultan dengan pertahanan nir militer (soft
power
).
Untuk pertahanan
militer diusulkan menggunakan sistim teknologi pertahanan terintegrasi, baik
yang berdimensi laut seperti kapal-kapal perang/pengintai  TNI AL dan sistim pengintaian pertahanan laut
melalui udara seperti teknologi drone (pesawat nir awak) yang
dapat dikendalikan dari kapal maupun dari daratan dengan wilayah jangkauan yang
memadai khususnya di wilayah yang dianggap terjadi tumpang tindih (antara versi
ZEE UNCLOS vs Claim China/9 dash line).
Sistim pertahanan
nir militer dilakukan dengan jalan, agar mendayagunakan potensi nelayan Natuna
dengan meningkatkan kapasitas perikanan tangkapnya, baik dari aspek ketersediaan
teknologi yang memadai (teknik penangkapan, storage system dan delivery)
dan kemampuan SDM perikanannya maupun kemudahan pemasaran hasil
perikanan tangkap di wilayah perairan Natuna dan sekitarnya.
Bila perbandingan
kapasitas perikanan tangkap berkelanjutan (sustainable fishing) masih
diatas kapasitas tangkap nelayan Kabupaten Natuna dan Propinsi Kepri, maka
dapat didatangkan nelayan dari daerah-daerah yang sudah over fishing,
dengan pengaturan khusus. Kegiatan perikanan di laut Natuna juga harus  mendapatkan pengawalan yang memadai dari coast
guard
Indonesia yang dalam hal ini adalah Bakamla (Badan Keamanan Laut). 
Dalam mewujudkan
pertahanan nir militer ini, ada beberapa misi yang hendak dicapai. Pertama
adalah, optimalisasi pendayagunaan sumberdaya hayati yang ada di perairan
Natuna sekaligus peningkatan upaya peningkatan kesejahteraan nelayan di
propinsi Kepulauan Riau. Kedua, para nelayan Indonesia dapat ikut memantau
pergerakan nelayan asing, baik yang berpotensi memasuki perairan Indonesia dan
sekaligus memantau tentang apa yang dicari oleh para nelayan asing tersebut.
Para nelayan asing yang berlayar jarak jauh tanpa perlengkapan pendingin atau
pengawet perikanan, memberikan indikasi bahwa nelayan tersebut prioritasnya tidak
mencari ikan tetapi mencari kekayaan laut hayati non perikanan seperti : karang
merah (red coral) dan giant clams yang akan diperlukan sebagai
bahan baku “perhiasan” berbasis produk kelautan. Beberapa jenis karang tersebut
sebenarnya termasuk biodiversitas yang dilindungi. Apakah jenis karang tersebut
banyak terdapat di laut Natuna ? Bila memang banyak, tentu pelanggaran willayah
pencarian sumberdaya hayati kelautan berpotensi meningkat. 
Perwujudan sistim
pertahanan nir militer dengan pola ini, akan menyempitkan ruang pelanggaran
oleh nelayan asing dari manapun datangnya di wilayah kedaulatan maritim
Indonesia.
Sedangkan bagi
keperluan jangka panjang, wilayah kedaulatan NKRI termasuk semua aspek hukum
yang mendukungnya serta potensi kekayaan yang terkandung di dalamnya perlu
diajarkan dan diperkenalkan sejak tingkat SD, SMP dan SMU/K, agar kesadaran kedaulatan
teritorial NKRI (termasuk zona maritimnya) dapat ditumbuhkan sejak kecil.
Materi ajar dapat dirancang sesuai dengan tingkat pendidikan yang sedang dijalani
siswa.
Dengan terjadinya
kasus persengketaan di wilayah laut Natuna yang berhubungan timbal-balik dengan
kondisi stabilitas Asia-Pacific, dapat dijadikan momentum untuk meningkatkan
kembali : (1) kesadaran nasional yang berdasarkan 4 Konsensus Nasional yaitu
Pancasila, UUD ’45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika dan (2) merumuskan kembali
jenis prioritas penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bagi bangsa Indonesia
baik untuk keperluan jangka pendek dan keperluan jangka panjang yang perlu
mendapat pengukuhan konstitusi.
Termasuk Lembaga penelitian yang terkait kelautan perlu mendapat dorongan untuk
menggali lebih rinci dan dalam potensi-potensi sumberdaya hayati kelautan di
wilayah Indonesia, sebagai bagian dari pembangunan pertahanan nir militer.(HD)

Berita Terkait

Baca Juga

Comment