Hawilawati, S.Pd*: Doa Senjata Ampuh Meredam Amarah Dan Perseteruan Anak Anak Di Rumah

Opini501 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Suasana ruang tengah tampak ramai dengan mainan berserakan dan suara gaduh anak anak.

Mainan berserakan itu bukan masalah karena memang begitulah dunia anak anak, dunia bermain yang sudah menjadi fitrah mereka.

Namun sebagai orang tua, kita harus memberi pemahaman kepada mereka tentang sebuah komitmen dan konsekuensi bilamana mereka mengeluarkan box mainan.

Kesepakatan ini harus diajarkan dan dipahami  anak anak sebagai pelatihan tanggung jawab terhadap apa yang telah mereka lakukan sejak dini.

Siapapun yang mengeluarkan mainan dan selesai bermain maka harus memasukkan kembali ke dalam box tanpa tersisa satupun di lantai. Jika kesepakatan  itu dilanggar, maka sebagai punishment,  untuk beberapa hari mereka tak diizinkan membuka box mainannya.

Ketika permainan anak anak kita berserakan itu sebagai pertanda bahwa mereka sehat dan kreatif. Orang tua, dalam hal ini tidak perlu ambil pusing. Biarkan mereka mengekspresikan diri melalui benda benda permainan itu meski kemudian berserakan di lantai dan tampak berantakan. Bukankah sudah ada kesepakatan dan komitmen dengan mereka?

Namun sebaliknya, jika tak ditemukan mainan beberapa hari di lantai, ruang tengah sepi. Pertanda sang pemilik mainan sedang berbaring lemah terpapar sakit.

Bagaimana mereka akan menyentuh mainan yang beragam dan lucu-lucu yang biasa menemani mereka bermain sementara suara cerianya saja tak terdengar? Begitupun makanan kesukaannya tak mereka sentuh dan nikmati.

Dalam kondisi ini, yang bisa mereka lakukan hanya memandang mainan dengan tubuhnya yang lemah. Mereka ingin bermain dengan benda permainan tapi apa daya, mereka tak bisa bangun tuk mengisi hari-harinya bersama mainan kesukaannya.

Mereka benar-benar tak ada energi untuk beraktivitas dan bermain. Kondisi ini menjadi sebuah pemandangan yang sungguh menyedihkan. Tenang tapi tidak menenangkan.

Pengalaman di rumahku

Saat salah seorang putriku yang masih duduk di taman kanak-kanak merajuk dan si sulung yang masih sekolah level kecilpun siap pasang kuda-kuda dan menangkis apa yang akan dilakukan adik perempuannya dengan fisik. Mereka mulai berseteru soal mainan yang mereka miliki.

Putriku sekarang sedang berada dalam masa unjuk baqo yang tinggi. Jika mainannya dirusak atau diambil tanpa izinnya, maka tak akan segan-segan akan mencubit siapapun yang melakukannya hingga nangis bombay.

Untuk meluapkan rasa kesal, putriku hanya bisa melakukan dua hal,  yaitu mencubit atau berteriak. Sementara si kakak laki-laki menunjukkan ke maskulinannya dengan fisik yang aktif.

Apa sebab? Ternyata si kakak mengambil mainan miliknya tanpa izin. Sang adik tak terima dan jadilah perang lokal di dalam rumah.

Melihat dan menyaksikan perseteruan sesama mereka ini tentu membuat pening kepala seketika.

Aku mulai tergoda secara emosional dan hampir naik pitam namun masih tersadar.  Cuma istighfar dengan nada tinggi dan tarik nafas dalam dalam, bukan siap siap terjun ke kolam renang tapi agar tak sesak dada dan agar tidak muncul dua tanduk di kepala. Naudzu billah.

Gaduh dan ramai. Tangis dan teriak lebay anak-anak pun memekakan telinga, memenuhi rumah.

Melerai sungguh menjadi tugas yang sangat melelahkan.

Lagi-lagi, aku tak mau banyak bicara, lelah mengurusi anak yang masih kecil-kecil dan lelah dengan pekerjaan yang tiada habis. Seperti kehabisan energy.

Akhirnya merekapun lelah juga usai berjibaku dengan teriak dan  saling mengeskpresikan baqo satu dengan lainnya. Namun episode inipun belum selesai.

Sang adik tak mau berbaikan dengan sang kakak begitupun sebaliknya, ya mungkin baqo negatif masih menyertai mereka.

Aku tak ingin hubungan mereka selalu diliputi pertikaian karena hal kecil. Ya walau ini wajar terjadi di dunia anak terhadap saudara kandungnya.

Seorang ibu juga akan galau jika melihat kegaduhan, apalagi tak hanya sekali mengendalikannya.

Aku sadar, emosi dan suara tinggi tak akan menyelesaikan masalah. Namun anak-anak harus tahu bahwa ada saatnya bermain itu saling berbagi dan bersama tanpa harus dibumbui pedasnya baqo melampaui batas.

Sungguh aku sedang menahan emosi dan masih kontrol diri. Ingin mengedukasi mereka agar selalu rukun dan berdamai.

Tibalah kami sholat Maghrib. Mereka berkumpul turut sholat berjamaah, walau sebenarnya hati mereka belum bersahabat dan menyatu kembali satu dengan lainnya.

Saat berdoa, aku selalu bersuara keras agar mereka mendengar apa yang  aku curhatkan kepada Allah dalam doa-doa yang kupanjatkan.

“Ya Allah ampunkanlah hamba, atas segala kesalahan hamba dalam mengasuh dan mendidik anak-anak dan ampunilah segala perbuatan yang tidak ahsan yang dilakukan anak-anak”

“Janganlah Engkau halalkan api neraka bagi mereka walau mereka melakukan perbuatan yang salah ya Allah. Sayangilah mereka ya Allah”

“Ya Allah, hari ini begitu melelahkan, mereka bertikai sulit sekali hamba lerai ya Allah. Biarlah perbuatan yang mereka lakukan agar hamba yang menanggung, ya Allah seandainya hamba meninggal lebih dulu sementara mereka masih kecil-kecil apa yang terjadi pada diri mereka ya Allah jika tak saling menyayangi”

“Jangan masukkan mereka ke dalam nerakamu atas segala kesalahan yang mereka perbuat, namun hambapun tak kuat merasakan panasnya api neraka yang menyala-nyala karena menangung dosa anak-anak yang tidak berbuat baik”.

“Ya Allah ampunilah hambaMu ini ya Allah..Aamiin ”

Doa itu diiringi tangis dan disaksikan oleh mereka. Hening, mata mereka mulai berbinar-binar, entah karena faham dengan doaku atau karena melihat air mata bercucuran di pipiku saat berdoa, sehingga mereka ikut melow juga.

Owh sungguh ternyata mereka faham setiap untaian kata dalam doa yang kupanjatkan.

Seketika itu sang sulung menangis dan memelukku sambil berujar, ” bunda maafin aku, aku mau sayang sama adik, bunda jangan marah, bunda jangan meninggal, aku gak mau bunda masuk neraka karena kita gak saling sayang, aku sayang bunda, gak mau bikin bunda marah lagi.”

Sang adik pun menimpali, “iya bunda kita sayang bunda, bunda jangan marah ya”.

Sholat Maghribpun diakhiri dengan saling memaafkan. Mereka berpelukan satu sama lain.

Sebelum tidur aku menemani mereka dan sedikit membahas peristiwa yang tetrjadi sore tadi sambil bercerita shiroh sahabat nabi yang saling menyayangi kepada saudaranya.

Ya seperti itulah seorang ibu menghadapi dunia anak yang penuh rasa. Berbagai rasa tak memupuskan asa seorang ibu tuk menjadikan mereka menjadi generasi berkepribadian Islami.

Perilaku yang menyejukan yang harus mereka miliki perlahan mulai kanak kanak hingga mereka dewasa tanpa memantik amarah orang tua.

Seorang ibu terbaikpun akan terus belajar melayakkan diri menjadi ibu kebanggaan mereka, membinanya dengan kelembutan dan penuh kasih sayang tanpa dibumbui emosi yang melampaui batas, apalagi dengan berbagai sumpah serapah. Naudzubillahi min dzalik.

*Penulis adalah seorang guru

Comment