Hj. ESA Mardiah: Berkah Cinta Sang Pencipta Dalam Tarwiyah Dan Arafah*

Opini458 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pagi itu, berenam kami berjalan kaki meninggalkan Mina menuju Arafah, tepat setelah salat subuh.
Setelah kemarin tanggal 8 Dzulhijjah bermalam di Mina. Meminta izin dan do’a kepada Karom sekaligus pembimbing ibadah haji untuk melaksanakan tarwiyah.

“Jika Abi semuda kalian, Abi pun pasti melakukan hal yang sama.” Ucap beliau, suntikan semangat yang sungguh melekat.

Tarwiyah, meski hukumnya sunah, bukan wajib ataupun rukun. Berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud dan Ibnu Abbas. “Rasulullah salat duhur pada hari tarwiyah dan salat subuh pada hari Arafah dari Mina.”

Dari hadits ini diketahui Rasulullah SAW salat Duhur, Ashar, Magrib Isya dan subuh di Mina lalu pada hari itu menuju wukuf di Arafah sebelum matahari tenggelam.

Kami ingin sekali bisa melaksanakannya, dengan konsekuensi harus berpisah untuk sementara dengan rombongan.

Sangat dimaklumi Abi yang membawa ratusan orang di rombongan kami dan banyak di antaranya sudah cukup sepuh. Memilih untuk mengikuti pemerintah Indonesia dan kebanyakan negara yang tidak memfasilitasi tarwiyah dengan alasan waktu yang terlalu pendek dan membutuhkan energi besar. Jadi jama’ah difokuskan untuk langsung ke Arafah.

Dalam sejarahnya ibadah tarwiyah yang dalam bahasa Arab artinya (proses berfikir), dikaitkan dengan peristiwa mimpi nabi Ibrahim AS yang diperintah menyembelih Nabi Ismail AS, anak kesayangan dari ibunda Siti Hajar.

Mimpi yang sama terulang pada malam ke sembilan hingga Nabi Ibrahim AS yakin bahwa itu perintah Allah SWT. Karenanya, hari ke sembilan di sebut hari Arafah ( mengetahui ). Dan sehari berikutnya (10 Dzulhijjah), nabi Ibrahim AS kembali bermimpi yang sama ke tigakalinya, sehingga perintah itu dilaksanakan pada 10 Dzulhijjah yang kemudian disebut hari Nahar (Menyembelih).

Sungguh peristiwa besar itu menggambarkan bagaimana ketaatan seorang hamba secara total pada Rabb Pencipta dan Pengatur hidupnya. Mari selalu merenung, hakikat penciptaan diri ini, dari mana, untuk apa dan kemana kelak kembali.

Saat iman mengendur, jiwa yang seringkali sangat mudah futur. Kubayangkan bagaimana dari seorang bapak luar biasa sekaligus penghulu para nabi kita diajarkan bahwa kecintaan kepada Allah azza wajjalla, ketaatan kepada Sang Pencipta meminta pembuktian dan totalitas. Melakukan ketaatan sesempurna mungkin baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.
Cinta tak terbatas.

Menuntut kecintaan melebihi cinta kita terhadap makhluk. Anak-anak kita, harta, tahta bahkan dunia dan segala isinya.

Melakukan ketaatan dengan kadar, ukuran, jumlah dan tata cara dari sisi fisik, emosi maupun ekspresi dalam bentuk terbaik dan bukan hanya mencukupkan pada yang wajib.

Rabb, terimalah setitik amal ini.

“Allahumma ij’alna min al-muhsinin.”

*Catatan kecil, Arafah, 9 Dzulhijjah 1431 Hijriyah

Comment