Impor Beras Dapat Dihentikan Dengan Tatakelola Pangan Yang Tepat

Opini468 Views

 

 

Oleh :  Dra. Irianti Aminatun*

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Dengan dalih menjaga stok beras, Pemerintah berencana  melakukan impor  satu juta hingga satu setengah juta ton beras. Rencana ini telah disepakati dalam rapat kootdinasi terbatas. Bahkan Kementerian Perdagangan sudah mengantongi  jadwal impor beras tersebut.

Menko Bidang perekonomian, Airlangga Hartanto menyebutkan bahwa stok beras perlu dijaga karena pemerintah melakukan pengadaan beras besar-besaran untuk pasokan beras bansos selama masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). (kompas, 6/3/2021).

Memenuhi kebutuhan rakyat seperti sandang, pangan dan papan adalah tanggung jawab negara. Saat stok pangan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat individu per individu, negara wajib mengadakannya agar kebutuhan rakyat tercukupi. Upaya negara melakukan impor beras, bisa menjadi solusi sementara  untuk mencukupi kebutuhan pangan rakyat.

Tapi benarkah impor beras dilakukan untuk menjaga stok beras, atau dampak dari liberalisasi pertanian? Tulisan ini mencoba menganalisa serta memberikan solusi yang tepat untuk ketahanan pangan.

Impor Beras Merugikan Rakyat

Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas santosa mengatakan, jika ingin mengimpor sebaiknya tunggu Juli atau Agustus ketika sudah ada kepastian berapa potensi produksi 2021.

“Kalau memang kurang silakan impor, kalau tidak kurang tidak perlu impor karena produksi tahun ini diperkirakan memang bagus”, katanya.

Ia mengemukakan bahwa wacana impor jelang masa panen raya ini menjadi pukulan tersendiri bagi petani di tengah harga gabah kering panen (GKP) yang terus turun sejak September 2020.

“Alasan importasi untuk menjaga stok cadangan beras pemerintah (CBP) tidak bisa diterima karena Perum Bulog sebagai pengemban tugas seharusnya menyerap beras petani lebih banyak tahun ini,” cetusnya.

Ia menunjukkan hasil proyeksi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa produksi padi nasional untuk periode Januari–April 2021 bakal lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya akibat naiknya potensi luas panen.

“Hasil survei kerangka sampel area (KSA) yang dilakukan BPS menunjukkan luas panen padi pada musim Januari–April 2021 mencapai 4,86 juta ha atau naik sekitar 1,02 juta ha (26,53 persen) dibandingkan dengan sub round Januari–April 2020 yang sebesar 3,84 juta ha,” jelasnya.

Dengan potensi luas panen yang besar, produksi gabah kering giling (GKG) pada Januari–April mencapai 25,37 juta ton atau naik 26,68 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Jika dikonversi  menjadi beras, potensi produksi pada periode Januari–April 2021 diperkirakan mencapai 14,54 juta ton beras atau mengalami kenaikan sebesar 3,08 juta ton (26,84 persen) dibandingkan dengan produksi beras pada sub round yang sama tahun lalu sebesar 11,46 juta ton.

“Potensi kenaikan masa panen raya kali ini cukup tinggi menurut perkiraan BPS. Jika pemerintah mau mengimpor satu juta ton mau disalurkan ke mana? Usia beras ini kan hanya enam bulan,” ujarnya. (bisnis.com 7/3/2021).

Pendapat yang kurang lebih sama juga disampaikan Ketua Departemen Litbang Teknologi Pertanian KTNA Kabupaten Bandung, Andri Ramadani. Ia menolak kebijakan Pemerintah yang akan melakukan impor beras. Menurutnya, kebijakan peningkatan produktivitas padi lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan membeli beras dari negara lain.

“Kalau dengan impor, ya dengan cepat langsung terpenuhi, , tapi kan merugikan petani. Sampai kapan terus begini, kapan bisa swasembada padi lagi. Padahal presiden menyatakan kita harus cinta produk nasional dan benci produk luar,” ujar Andri seperti dilansir radarbandung.id (11/3/2021).

Dampak Liberalisasi Pertanian

Indonesia melakukan perjanjian dengan WTO pada 1995 yang menandai awal mula liberalisasi di sektor pertanian. Liberalisasi pertanian disinyalir mempengaruhi komoditi utama Indonesia seperti beras, jagung, gula dan kedelai. Hal ini semakin memperkokoh impor pangan dari luar dan semakin menyengsarakan petani dalam negeri. Hal itu karena liberalisasi memberikan kebebasan kepada pasar menjalankan mekanisme yang ada.

Liberalisasi pertanian memberikan peran terhadap WTO mengatur serta mengendalikan sistem pangan pada negara-negara anggotanya seperti Indonesia.

Indonesia yang terjebak dalam lingkaran tersebut harus menanggung konsekwensi yang ada. Pengurangan maupun pencabutan subsidi pupuk sangat merugikan petani dalam negeri. Hal ini membuat petani kalah saing dengan produk pangan dari negara lain yang kemudian di impor ke Indonesia.

Dampak dari leberalisasi pertanian adalah menurunnya pendapatan petani. Artinya liberalisasi pertanian justru memberikan masalah yang cukup serius pada sistem pertanian di Indonesia.

Mekanisme yang ditetapkan WTO,  memberikan dampak seperti ketergantungan pada produk pangan impor, kesejahteraan petani dalam negeri menurun, produk dalam negeri kalah saing dengan produk pertanian dari luar.

Menghilangkan Ketergantungan pada Impor

Liberalisasi pertanian yang melahirkan impor pangan sejatinya adalah alat bagi korporasi menguasai ekonomi. Negara hadir sebagai regulator dan fasilitator kepentingan korporasi. Akibatnya fatal, korporasi menguasai hajat pangan dan pertanian mulai dari produksi, distribusi dan konsumsi.

Ini adalah buah pahit akibat penerapan sistem sekuler, terutama sistem ekonomi kapitalis.

Oleh karena itu ketergantungan pada impor hanya bisa diselesaikan dengan perubahan mendasar dengan tatakelola pangan yang benar.  Dibutuhkan negara yang dengan visi yang jelas dan berperan sebagai  pelayan,  serta sistem ekonomi yang adil yaitu sistem Ekonomi Islam.

Dalam masa yang panjang, Islam pernah menerapkan prinsip ketahanan pangan hingga terbebas dari impor. Di antara prinsip tersebut adalah :

Pertama, optimalisasi produksi, yaitu mengoptimalkan seluruh potensi lahan untuk melakukan usaha pertanian berkelanjutan yang dapat menghasilkan bahan pangan pokok. Di sinilah peran berbagai aplikasi sains dan teknologi, mulai dari mencari lahan yang optimal untuk benih tanaman tertentu, teknik irigasi, pemupukan, penanganan hama hingga pemanenan dan pengolahan pasca panen.

Kedua, adaptasi gaya hidup, agar masyarakat tidak berlebih-lebihan dalam konsumsi pangan. Konsumsi berlebihan justru berpotensi merusak kesehatan (wabah obesitas) dan juga meningkatan persoalan limbah. Nabi juga mengajarkan agar seorang mukmin baru “makan tatkala lapar, dan berhenti sebelum kenyang”.

Ketiga, manajemen logistik, di mana masalah pangan dan yang menyertainya (irigasi, pupuk, anti hama) sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah yaitu dengan memperbanyak cadangan saat produksi berlimpah dan mendistribusikannya secara selektif pada saat ketersediaan mulai berkurang. Di sini teknologi pasca panen menjadi penting.

Keempat, prediksi iklim, yaitu analisis kemungkinan terjadinya perubahan iklim dan cuaca ekstrem dengan mempelajari fenomena alam seperti curah hujan, kelembaban udara, penguapan air permukaan serta intesitas sinar matahari yang diterima bumi.

Kelima, mitigasi bencana kerawanan pangan, yaitu antisipasi terhadap kemungkinan kondisi rawan pangan yang disebabkan oleh perubahan drastis kondisi alam dan lingkungan. Mitigasi ini berikut tuntunan saling berbagi di masyarakat dalam kondisi sulit seperti itu.

Sumber daya pertanian di negeri ini sangat melimpah. Didukung tersedianya sumber daya manusia yang banyak, tanah yang subur, iklim yang mendukung, semestinya Indonesia mampu memproduksi kebutuhan pangannya sendiri tanpa tergantung impor. Kemandirian pangan ini bisa terealisasi jika sistem yang diadopsi adalah sistem yang benar yaitu sistem Islam.[]

*Pemerhati Masalah Umat

_____

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat menyampaikan opini dan pendapat yang dituangkan dalam bentuk tulisan.

Setiap Opini yang ditulis oleh penulis menjadi tanggung jawab penulis dan Radar Indonesia News terbebas dari segala macam bentuk tuntutan.

Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan dalam opini ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawab terhadap tulisan opini tersebut.

Sebagai upaya menegakkan independensi dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Redaksi Radar Indonesia News akan menayangkan hak jawab tersebut secara berimbang

Comment