Impor Garam, Bentuk Intervensi Liberalisasi Pasar Bebas

Opini608 Views

 

Oleh: Sarah Ainun, S.Kep, M.Si

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Melihat letak geografi dan demografi Indonesia, wajar kemudian muncul pertanyaan, kapankah negeri ini bebas dari impor bahan pangan?

Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar ke 4 di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat, sudah barang tentu, bahan pangan menjadi komuditas strategis karena penggunaanya dalam jumlah yang begitu besar dan luas. Salah satunya adalah kebutuhan akan garam.

Pun 2/3 wilayah Indonesia adalah lautan dan merupakan negara kepulauan, artinya ketersediaan lahan/tambak produksi garam Indonesia sendiri, sangat mendukung terwujudnya swasembada pangan (garam). Namun pasar domestik Indonesia terus menerus dibanjiri impor pangan.

Seperti dikutip CNN Indonesia, 24/09/2021, menteri perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, untuk menjamin ketersediaan bahan baku garam industri dalam negeri, pemerintah menyepakati alokasi impor garam industri sebanyak 3,07 juta ton dari kebutuhan garam nasional yang mencapai 4,6 juta ton pada tahun 2021.

Tidak mencukupinya kebutuhan nasional, kualitas garam lokal tidak memenuhi standar industri, dan petani garam lokal yang belum bisa memenuhi pasokan garam untuk industri secara berkesinambungan menjadi alasan utama Indonesia terpaksa melakukan impor garam (Kompas.com, 25/09/2021).

Alasan ini terus muncul seperti tahun-tahun sebelumnya, masalah kuantitas dan kualitas garam lokal sebagai penyebab utama impor garam industri terus terjadi. Jika penguasa sudah tahu betul yang menjadi sumber masalah dan berdampak pada kekisruhan pasar domestik, tetapi keputusan atau kebijakan impor mengapa terus saja dibuka oleh penguasa setiap tahunya?

Sementara faktor demografi sosial ekonomi rakyat Indonesia sebahagian besar adalah sebagai petani dan nelayan dan Sumber Daya Alam (laut) Indonesia begitu kaya, merupakan indikator utama Indonesia bisa mencapai swasembada pangan (garam).

Maka, jika benar-benar penguasa serius ingin menyelesaikan persoalan ini, kebijakan stategis apakah yang sudah dibuat dalam upaya pengembangan industri garam nasional agar impor garam tidak terus berulang? Sementara penguasa selama ini cenderung mengambil kebijakan impor dalam memenuhi permintaan pasar dalam negeri.

Hal ini dirasa senada dengan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fadli Zon, mengkritik kebijakan impor garam melalu cuitanya dalam akun Twitternya “Negeri maritim tapi garam masih impor. Hebatnya di mana”.

Menurutnya, Indonesia sebagai negara maritim tidak seharusnya mengimpor garam dari luar negeri. Fadli Zon menilai sumber daya alam di Indonesia sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan garam bagi masyarakat (harianmerdeka.id, 22/04/2021).

Begitu juga sebelumnya, respon Joko Widodo pada Oktober tahun lalu, mengingatkan soal impor garam yang tidak pernah ada jalan keluarnya dari dulu.

Bahkan, menurutnya tidak ada pihak yang ingin mencari jalan keluarnya. “masih rendahnya kualitas garam rakyat sehingga tidak memenuhi standar untuk kebutuhan industri, ini harus dicarikan jalan keluarnya. Kita tahu masalahnya tapi nggak pernah dicarikan jalan keluarnya,” kata Jokowi di Istana Merdeka (merdeka.com, 21/03/2021).

Ternyata kemarahan orang nomor satu di Indonesia ini, tidak berdampak dan berpengaruh apa-apa terhadap pengambilan kebijakan impor pangan dalam negeri. Karena sumber dari sumber persoalan ini adalah Indonesia terikat dan tunduk pada perjanjian pasar bebas internasional (World Trede Organitation/WTO) sejak bergabungnya Indonesia menjadi negara anggota WTO pada 24 Februari 1950.

Terjunya Indonesia ke dalam pasar bebas dunia, menjadikan Indonesia sebagai pion yang dimainkan oleh kepentingan politik dan kepentingan ekonomi negara-negara kapitalis Amerika Serikat dan Eropa. AS dan Eropa sebagai vionir terbentuknya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan pembuat kebijakan dengan sengaja mendorong atau mengarahkan Indonesia sebagai negara pengimpor.

Kebijakan WTO mengikat Indonesia untuk tidak membatasi atau menutup kran impor dan mempermudah masuknya barang-barang impor dari pasar dunia dengan membebaskan bea cukai, sehingga Indonesia tidak memiliki wewenang lagi dalam mengatur pasar dalam negeri, karena peran negara hanya sebagai legulator kontrak swasta dan importir-importir asing saja.

Seperti dikutip dari Jurnal. Politik Kebijakan Pangan Pasca Ratifikasi Agreement On Agriculture (AoA)-WTO : 2015. WTO mengharuskan negara anggotanya menerapkan liberalisasi perdagangan Agreement on Agriculture (AoA), mewajibkan membuka pasar domestik bagi masuknya komoditas pertanian/pangan dari luar atau sebaliknya (market acces), serta pengurangan dukungan subsidi terhadap petani (domestic support) dan pengurangan dukungan dan subsidi terhadap petani untuk mengekspor (export competition).

Selanjutnya, konsep keterbukaan pasar (openness) diaplikasikan pada banyak sedikitnya regulasi atau intervensi yang dilakukan pemerintah. Pada pasar bebas yang murni (free market) sudah tidak ada intervensi pemerintah lagi kecuali hal-hal yang mengatur kontrak swasta dan kepemilikan.

Kebijakan ini merupakan proses liberalisasi pangan yang radikal, karena menyerahkan nasib petani Indonesia kepada mekanisme pasar bebas yaitu, “Free-Fight Liberalism,” (liberalisme pertarungan bebas).

Dan inti dari penandatanganan ini, Indonesia harus meliberalisasikan pasar komoditas pangannya, menghapus hambatan tarif dan hambatan lainnya, serta segera mencanangkan swastanisasi pangan. Ciri khas perjanjian AoA ini adalah “penyesuain” kebijakan dan mekanisme pembuatan kebijakan nasional yang sebelumnya berada di bawah yuridiksi pemerintah bergeser di bawah pengaruh WTO.

Dengan demikian, selama Indonesia masih terus menerapkan sistem kapitalisme, kebijakan- kebijakan yang diambil dan diterapkan oleh penguasa, pada hakekatnya hanya untuk melayani kepentingan-kepentingan para kapitalis. Maka, negara ini tidak akan pernah bebas dari persoalan impor pangan, akibatnya akan terus mengabaikan perlindungan terhadap petani lokal dan menjauhkan harapan rakyat untuk swasembada pangan.

Dikutip dari video Muslimah Media Center (MMC) yang diunggah di halaman youtube pada 27/09/2021, mengangkat tema “Impor Garam 3.07 Juta Ton, Swasembada Pangan Gagal Terwujud”,  diuraikan bagaimana seharusnya peran dan tanggung jawab negara dalam pengelolaan pangan seperti garam dalam konsep Islam.

Untuk mewujudkan swasembada pangan. Maka, negara harus berdaulat penuh terhadap sistem politik, sistem ekonomi dan sistem pemerintahan. Hal ini hanya akan bisa terwujud ketika negara hadir secara benar dengan prinsip yang benar, yaitu sebagai raa’in (pelayan) dan junnah (perisai) pelindung rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw;

“Imam (khalifah) raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad dan Bukhari).

Berdasarkan hadits Nabi Saw inilah yang mengharuskan negara dan pemerintah bertanggung jawab langsung, mulai dari perencanaan yaitu produksi, distribusi dan komsumsi hingga realisasi yaitu pemenuhan hajat rakyat dan keberlangsungan usaha petambak garam.

Untuk itu perlu melakukan tindakan strategis. Pertama, dalam hal produksi negara memaksimalkan potensi sumber daya alam dengan mendukung petambak memaksimalkan produksi melalui edukasi dan pelatihan, dukungan sarana produksi, serta infrastruktur penunjang. Untuk distribusi negara menciptakan pasar yang sehat dan kondusif serta menghilangkan distorsi pasar, sedangkan pada konsumsi negara menjamin penyediaan bahan makanan halal dan thayyib.

Kedua institusi tehknik yang menjadi perpanjangan tugas negara atau BUMN wajib mengedepankan fungsi pelayanan. Ketiga edukasi dan sangsi yang berefek jera kepada pelaku kejahatan pangan termasuk pelaku kartel keempat anggaran yang berbasis baitulmal.

Sementara itu, impor merupakan bagian dari aktivitas perdagangan luar negeri yang harus mengikuti hukum Islam serta mengedepankan kemaslahatan umat, dilakukan atau tidaknya impor tergantung pandangan negara atau kepala negara (khalifah), bukan karena intervensi atau keterikatan pada perjanjian internasional. Pun kebijakan impor diambil, maka harus memperhatikan status negara pengimpor dan status hukum barang.

Maka terjawab sudah, jika Indonesia tidak segera membenahi sistem pangan yang selama ini diterapkan dengan mengikat diri dalam perjanjian pasar bebas internasional yang berbasis pada sekuler-kapitalisme-liberalisme, maka Indonesia tidak akan bisa menghentikan derasnya kran impor pasar internasional yang sangat merugikan para petani/petambak garam.

Sebaliknya jika negara menerapakan konsep yang diterapkan oleh sistem Islam, insyaallah, perlindungan terhadap petani/petambak garam, swasembada pangan dan kedaulatan pangan akan terwujud sehingga negara senantiasa menjaga persoalan rakyat yang mendatangkan keberkahan dan kesejahteraan umat.

“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila Dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan.” (QS Al Anfaal:24).[]

Comment