Indonesia Antara Demokrasi Liberal Dan Liberalisasi Syariat Islam

Opini502 Views

 

Oleh: Widya Amidyas Fillah,  Pendidik Generasi

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– “Lidah itu sangat kecil dan ringan, tapi bisa mengangkatmu ke derajat yang paling tinggi dan bisa menjatuhkanmu di derajat yang paling rendah.” – Imam Ghazali

Berangkat dari kata bijak di atas, tentu setiap perkataan yang dilontarkan seorang muslim harus memiliki dasar pemikiran yang mendalam, sumber-sumber yang shahih serta dasar hukum yang baku, terutama Al-Qur’an dan Sunnah. Sehingga apa yang disampaikan benar adanya, membawa ia pada derajat yang paling tinggi, bukan sebaliknya.

Baru-baru ini muncul pandangan ‘nyeleneh’ dari seorang berinisial IN yang mengatas namakan fiqih progresif. Dia mengatakan bahwa wanita haid boleh puasa. Unggahan tersebut menyebutkan bahwa tidak ada satu ayatpun dari  Al-Qur’an yang melarang perempuan haid berpuasa.

Kemudian, disebutkan juga bahwa hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah ra. dan riwayat lainnya menyatakan bahwa Rasulullah hanya melarang salat bagi perempuan haid dan tidak melarang puasa (Detikcom, Minggu, 02/05/2021).

Tidak lama tulisan yang diunggahnya itu pun dihapus karena menuai kontroversi di ranah publik, tetapi tulisan tersebut sudah dilihat hingga 11.600 kali.

Berbagai reaksi muncul dari lembaga-lembaga Islam yang menolak dan mengecam alasan tersebut. Bagi sebagian kalangan, hal ini menimbulkan keraguan terhadap hukum berpuasa.

Terkait pandangan nyeleneh tersebut, Wakil Ketua MUI, Anwar Abbas menyampaikan pandangannya sebagai upaya meluruskan. Ia mengatakan, hadits dari Aisyah ra. memang menjadi salah satu rujukan soal perempuan yang haid dalam puasa. Hadits dari Aisyah itu disampaikan oleh Imam Muslim.

Dalam hadits itu diceritakan bahwa Aisyah, isteri nabi, berkata: “Kami pernah kedatangan hal itu (haid), maka kami diperintahkan meng-qada puasa dan tidak diperintahkan meng-qada salat.” (HR. Muslim)

Anwar Abbas juga memberikan hadits lain sebagai penegasan hukum puasa bagi wanita yang sedang haid yakni hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

Nabi Muhammad saw dalam bentuk dialog, beliau bersabda: “Bukankah wanita itu jika sedang haid, tidak shalat dan tidak berpuasa?” Mereka menjawab, Ya.” (HR. Bukhari)

Jadi dengan demikian kata Anwar Abas seperti dilansir laman detik.com Minggu, (02/05/2021), wanita haid itu tidak gugur kewajibannya untuk melaksanakan ibadah tersebut. Dengan kata lain dia tetap wajib berpuasa tapi dia melaksanakan puasanya bukan ketika dia haid di bulan Ramadan tersebut tapi dia meng-qada atau menggantinya di hari-hari di bulan lain atau di luar bulan Ramadan.

Kebebasan berpendapat dalam demokrasi liberal justru melahirkan berbagai pendapat dan pandangan ngawur yang menabrak dan merusak syariat Islam.

Negeri ini dipenuhi pandangan pandangan liberal yang menyasar syariat Islam dan dapat menyesatkan umat.

Lebih buruk, umat akan semakin jauh dari aturan Al-Qur’an dan Sunnah yang sebenarnya. Umat pun tergiring untuk tidak lagi mengenal bahkan membenci syariah.

Bagaimana Menghentikan Liberalisasi Syariat Islam?

Dalam TQS. Al-A’raf ayat 96, Allah berfirman :

“Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu sehingga Kami menyiksa mereka karena perbuatan yang mereka lakukan.” (TQS al-A’raf [7]: 96)

Serta dalam TQS. Al-Qashash ayat 86 yang artinya :

“Tidaklah engkau mengharap al-Quran diturunkan kepada dirimu melainkan sebagai rahmat dari Tuhanmu.” (TQS. Al-Qashash [28]: 86)

Islam adalah solusi agar liberalisasi syariat Islam dapat dihentikan. Negara dengan konsep Islamlah satu-satunya yang dapat menjamin tegaknya syariat Islam.

Dengan Islam yang komprehensif dan paripurna yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, maka tidak akan ada lagi kesempatan pandangan yang menyesatkan untuk berkembang. Wallaahu a’lam bishshawab.[]

______

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat menyampaikan opini dan pendapat yang dituangkan dalam bentuk tulisan.

Setiap Opini yang ditulis oleh penulis menjadi tanggung jawab penulis dan Radar Indonesia News terbebas dari segala macam bentuk tuntutan.

Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan dalam opini ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawab terhadap tulisan opini tersebut.

Sebagai upaya menegakkan independensi dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Redaksi Radar Indonesia News akan menayangkan hak jawab tersebut secara berimbang.

Comment