Ine Wulansari*: Korupsi Dan Demokrasi Saudara Kembar Kezaliman

Opini565 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Korupsi telah lama membelit negeri ini, Indonesia. Kasus demi kasus terus terungkap, mulai dari kelas teri hingga kasus yang jumlahnya sangat fantastis. Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yakni corruption sehingga lahirlah coruptie yang merupakan istilah dari Belanda, yang sampai saat ini kita sebut sebagai korupsi.

Korupsi adalah tindakan setiap orang yang memiliki tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Juga menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Kasus korupsi di tanah air tak terhitung jumlahnya berdasarkan penelusuran CCNIndonesia.com kerugian akibat korupsi divonis lebih dari 100 miliar. Dimulai dari kasus mantan Ketua DPR Setya Novanto yang terbukti bersalah dan merugikan negara hingga Rp 2,3 trilliun.

Kasus Bank Century yang menyeret mantan Gunernur Bank Indonesia Budi Mulya, terbukti bersalah dan merugikan negara yang mencapai Rp 7 trilliun. Selanjutnya kasus Wisma Atlet Hambalang dengan terdakwa mantan Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum, terbukti bersalah dan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 706 miliar.

Sederet kasus korupsi lainnya yang tentu nilai dan jumlah kerugian negara sangatlah besar. (Selasa, 4 Agustus 2020)

Belum lama ini, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Probowo ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan atas tuduhan korupsi ekspor benih lobster. Edhy tak sendiri, ada enam tersangka lainnya yang ikut terlibat dalam korupsi tersebut. (Liputan6.com, 23/11/2020).

Kasus korupsi dikalangan pejabat bukan yang pertama terciduk oleh KPK, sebelumnya ada Mensos Idrus Marhan, Menpora Imam Nahrawi dan Andi Mallarangeng serta sederetan Menteri lainnya yang mencuatkan nama Indonesia memiliki prestasi dalam hal korupsi.

Berbagai upaya dalam pemberantasan korupsi telah dilakukan. Namun faktanya peningkatan jumlah kasusnya terus melonjak pesat, padahal korupsi sangat berbahaya bagi kehidupan manusia dari segala aspek baik aspek sosial, politik, ekonomi dan lainnya.

Saat ini, ekspor lobster yang telah dilakukan menuai tanggapan yang beragam, seperti Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, ekspor benih lobster tidak bermasalah selagi dijalankan sesuai prosedur dan tetap dibarengi upaya pembudidayaan, dan meyakinkan bahwa kebijakan ini bermanfaat bagi masyarakat.

Sementara tanggapan berbeda disampaikan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, meski tak menanggapi dengan kalimat yang panjang namun dia menegaskan sangat melarang praktik tersebut.

Hal ini tertuang melalui Peraturan Menteri KKP Nomor 56 Tahun 2016 tentang Penangkapan Lobster, yang melarang perdagangan benih lobster dan lobster berukuran kurang dari 200 gram ke luar negeri. (CNNIndonesia.com, 30/11/2020).

Sejalan dengan Susi, Pengamat Perikanan Institusi Pertanian Bogor (IPB), Suhana menilai kebijakan ini sebaiknya diberhentikan secara permanen. Sebab, kebijakan ekspor benih lobster hanya menguntungkan satu pihak saja yakni Vietnam. Sehingga negara ini semakin menguasai pasar lobster internasional.

Pengusahaan lobster di dalam negeri sebenarnya jauh lebih menguntungkan, para pembudidaya lobsterpun tidak perlu mengeluarkan modal besar untuk membeli pakan buatan pabrik, karena mereka dapat meracik pakan sendiri dan jauh lebih aman karena bahan dasarnya alami.

Maka sangat jelas, jika ekspor benih lobster terus dilakukan maka pembudidaya akan kesulitan. Sebaliknya hal ini akan sangat menguntungkan bagi pihak-pihak yang memiliki kewenangan menangkap lobster secara bebas dan tanpa bersusah payah menunggu hasil yang lama.

Kebijakan yang dikeluarkan para petinggi bangsa ini tentu tak lepas dari regulasi dan fasilitas negara yang menjadi sasaran empuk kapitalis. Lingkaran para pemilik modal yang bermain cantik menyeret pejabat agar bersedia menyalahgunakan kekuasaannya.

Akibatnya, lahirlah kebijakan-kebijakan pesanan. Inilah wujud neoliberalisme, dimana para pengusaha pemilik modal mampu menekan pejabat publik demi kepentingan untuk menguasai aktivitas ekonomi yang usahanya dikelola pemerintah.

Sementara posisi pemerintah hanya berperan sebagai regulator yang melahirkan pejabat-pejabat bermental makelar yang tentu saja mengarahkannya pada tindakan korupsi.

Berbeda dengan Islam sebagai ideologi yang menjadikan akidah Islam sebagai standar kebijakan, maka Islam akan mewujudkan sebaik-baiknya kepengurusan umat. Islam dipastikan meniadakan praktik-praktik neoliberalisme yang merupakan khas ideologi sekuler kapitalisme yang sifatnya menghisap sumber daya alam sebagai aset ekonomi milik umat yang dieksploitasi sebesar-besarnya untuk kepentingan para pemilik modal.

Dengan tegaknya kepemimpinan Islam yang bersandar pada syariat, maka negara Islam memiliki mekanisme dalam upaya pencegahan korupsi. Pertama, sistem Islam akan melahirkan para pemimpin yang berorientasi pada akhirat.

Sehingga pejabat yang terpilih akan menjalankan tugasnya dengan penuh kesungguhan, dan memiliki karakter yang bertakwa. Kedua, adanya Badan Pengawasan Keuangan.

Dalam kitabnya Al Amwal fi Daulah Khilafah, Syekh Abdul Qadim Zallum menyebutkan, dalam sistem Islam akan ada badan pengawasan/pemeriksaan keuangan untuk mengetahui apakah pejabat tersebut melakukan kecurangan atau tidak.

Sistem Islam memiliki mekanisme alami dalam menjaga agar seseorang terhindar dari perbuatan curang, yakni keimanan yang kokoh. Ketiga, gaji yang cukup. Dengan terpenuhinya seluruh kebutuhan dirinya dan keluarganya, akan menutup celah terjadinya potensi untuk korupsi.

Karena mereka digaji secara cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier. (Abdurrahman Al Maliki 2001). Keempat, hukum sanksi yang tegas. Penerapan aturan haramnya korupsi yang tegas dan keras, akan memberi efek jera bagi para pelakunya. Hukumannya dapat dipublikasi, dicap buruk, peringatan, penyitaan harta, pengasingan dan cambuk hingga mati.

Oleh karena itu, hukuman dalam sistem Islam tentu akan mencegah para pejabat publik bertindak tidak sesuai dengan aturan syariat. Karena mereka telah dibekali dengan ilmu, iman dan akan menjalankan tugasnya sebagai pengatur urusan umat dengan sebaik-baiknya.

Maka semua ini akan terwujud apabila syariat Islam diterapkan secara menyeluruh dalam bingkai kepemimpinan Islam. Wallahu a’lam bish shawab.[]

*Pendidik generasi

Comment