Irah Wati Murni, S.Pd*: Pakta Integritas Viral, Di Mana  Kebebasan Mahasiswa?

Opini524 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Baru-baru ini dunia mahasiswa dihebohkan dengan beredarnya pakta integritas di kalangan mahasiswa baru di Universitas Indonesia (UI). Disinyalir, pakta integritas tersebut merupakan aturan baru yang diterapkan UI tahun ini dan wajib ditandatangani setiap mahasiswa baru.

Dilansir Cnnindonesia.com,  Sabtu (15/9/2020), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia menentang pakta integritas untuk mahasiswa baru tahun ajaran 2020/2021 tersebut.

Ketua BEM UI, Fajar Adi Nugroho mempertanyakan sejumlah poin pada pakta tersebut, di antaranya aturan mahasiswa tidak boleh terlibat dalam politik praktis yang mengganggu tatanan akademik dan bernegara.

Mahasiswa juga disebut tidak boleh mengikuti kegiatan yang dilakukan sekelompok mahasiswa yang tidak mendapat izin resmi pimpinan fakultas atau kampus.

Poin ini dianggap mengekang kehidupan berdemokrasi mahasiswa, salah satunya mahasiswa tidak akan bisa mengkritik kebijakan pemerintah atau melakukan aksi demonstrasi.

Dilansir CNNIndonesia.com, awalnya Kepala Biro Humas dan KIP UI Amelita Lusia sempat membenarkan pakta integritas untuk mahasiswa baru UI itu. Namun, baru-baru ini UI menyebut Pakta Integritas yang beredar di kalangan mahasiswa baru kampus bukan dokumen resmi yang dikeluarkan UI.

Solusi yang Tak Solutif

Pakta integritas itu berisi poin-poin di mana mahasiswa khususnya dalam hal ini mahasiswa UI agar berjanji tidak terlibat dalam perilaku yang dianggap menyimpang seperti problem narkoba, pergaulan bebas bahkan ingin menangkis paham radikalisme.

Namun nyatanya hal tersebut tidak bisa menjadi solusi ampuh untuk mengatasi segala problem di atas. Justru pakta integritas itu bisa menghambat hak-hak mahasiswa untuk menyuarakan saran atau kritik terhadap segala kebijakan yang ada.

Bahkan pakta integritas itu bisa menjadikan mahasiswa yang hanya fokus “study oriented” belajar dan belajar saja, tak peduli terhadap lingkungan sekitar dan mengurangi daya kritis mahasiswa terhadap masalah yang membelit masyarakat dan lingkungan sekitar.

Padahal mahasiswa itu sebagai garda terdepan dalam perubahan sosial. Oleh masyarakat dan publik eksistensi mahasiswa didampuk menjadi Agent of change terhadap kondisi yang ada. Mahasiswa sebagai jembatan untuk menyuarakan aspirasi antara masyarakat dan penguasa. Jika mahasiswanya pasif, acuh dan tak peduli pada masalah di sekitarnya maka bagaimana mungkin mahasiswa ini bisa menjadi agen perubahan bagi masyarakat dan generasi ke depan?

Terlebih jika perjanjian pakta integritas itu justru diarahkan untuk memberangus arus kesadaran politik dan stigma kritis mahasiswa dengan radikalisme. Kebijakan ini sejatinya kebijakan refresif yang justru akan melahirkan berbagai masalah baru.

Seharusnya mahasiswa didorong untuk berpikir kritis dan mencari solusi terhadap berbagai permasalahan yang ada saat ini. Bukan malah menghambat potensi dan hak-hak suara mahasiswa dengan pakta integritas ini.

Akar masalah di kalangan pendidikan dan segala aspek hari ini sesungguhnya adalah segala yang terkait dengan problem sistemik. Di mana semestinya mahasiswa dipahamkan dan didorong untuk terlibat mencari jawaban dalam menghadirkan solusi.

Satu-satunya solusi untuk menyelesaikan segala problem yang ada saat ini ialah dengan menerapkan aturan-aturan transendental termasuk di dalamnya pendidikan.

Seharusnya semua pengurus lembaga pendidikan mengingat kembali perkataan Bu Tejo.

“Jadi Orang Toh yang Solutif Gitoloh! Masa sekelas mahasiswa yang kalangan intelektual didorong untuk bersifat pasif sih. Kalah sama Bu Tejo dong. Aduuuh kan jadi ambyaaar.”[]

*Pemerhati Kebijakan Publik

Comment