Irma Setyawati, S.Pd*: Investasikan Dana Haji, Halalkah?

Opini483 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Dilansir AYOBANDUNG.COM.com, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) akan menggunakan dana haji pada 2020 untuk investasi fasilitas haji di Makkah dan Madinah, Arab Saudi.

Dari total dana sekitar Rp 121 triliun yang dikelola, 70% digunakan investasi dan 30% akan ditempatkan pada mitra yaitu bank-bank syariah.

“Investasi langsung fasilitas haji di Arab Saudi di Makkah dan Madinah juga katering. Kita sudah melihat hotel yang bagus dan dijangkau buat haji dan umrah. Bentuk investasi yang akan dilakukan yaitu kerja sama sewa dengan hotel di Madinah dan Makkah untuk jangka panjang. Sebab, ia mengatakan jika harus membeli hotel atau tanah di sana terlalu mahal. ” ujar anggota Dewan Pengawas BPKH, Suhaji Lestiadi di acara BPKH di Bandung Barat sebagaimana dikutip ayobandung.com, Ahad (9/2).

Dana haji yang terkumpul di rekening pemerintah akibat panjangnya antrian para calon jama’ah haji yang hendak berangkat ke tanah suci jumlahnya sangat besar dan kembali menjadi pusat perhatian untuk dikembangkan dalam berbagai macam bentuk pembiayaan dan investasi.

Wacana yang sempat bergulir beberapa waktu lalu adalah mulai dari pembiayaan infrastrukur hingga pemulihan kondisi ekonomi bangsa.

Terlepas dari peruntukkan dana haji tersebut akan dikembangkan oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) sebagai pihak yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mengelola dana haji, yang pasti dana tersebut adalah dana para calon jama’ah haji yang dengan ihlas mengumpulkan rupiah demi rupiah agar bisa menjalankan kewajiban Allah SWT menunaikan rukun Islam yang ke5.

Tidak seharusnya pemerintah menjadikan konsep kapitalis mengurusi ibadah umat Islam, salah satunya dengan mngembangkan dana haji untuk berbagai macam kepentingan ekonomi. Apalagi samapai menunda pelaksanaan ibadah haji hanya karena alasan ekonomi.

Ingatlah bahwa Allah SWT telah menetapkan haji sebagai fardhu ‘ain bagi kaum Muslim yang memenuhi syarat dan telah berkemampuan. Allah SWT menyatakan dalam Alquran, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (TQS Ali ‘Imran [03]: 97).

Nabi SAW bersabda, “Wahai manusia, Allah SWT telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah.” (HR Muslim dari Abu Hurairah).

Mengenai syarat wajibnya haji, menurut Ibn Qudamah, ada lima: (1) Islam; (2) berakal; (3) baligh; (4) merdeka (bukan budak); (5) mampu. Mampu itu sendiri, dijelaskan dalam hadits Nabi, meliputi dua hal, (1) bekal (az-zad); (2) kendaraan (ar-rahilah) (HR ad-Daruquthni dari Jabir, Aisyah, Anas, Abdullah bin ‘Umar). (Lihat, Ibn Qudamah, al-Mughni, hal. 650).

Oleh karena itulah bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat dan berkemampuan (baik bekal maupun kendaraan) sebagaimana penjelasan dalil di atas untuk menunaikannya, maka kewajiban haji tersebut telah jatuh kepadanya.

Jika karena satu dan lain hal yang tidak disengaja menjadikannya tidak bisa menunaikan kewajiban haji tersebut, kemudian meninggal sebelum sempat menunaikanya, maka terhadapnya tidak berdosa, karena telah bertekat kuat saat kewajiban tersebut jatuh kepadanya.

Namun, jika dia mempunyai ghalabatud dzan (dugaan kuat) bahwa kemampuannya akan hilang, sebelum menunaikan haji, maka dia tidak boleh menangguhkan hajinya. Sebaliknya, wajib menunaikan haji saat itu juga. Jika tidak, maka dia berdosa. (Lihat, al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz III/41; Ibn Qudamah, al-Mughni, hal. 660).

Namun sangat disayangkan bahwa fakta yang ada saat ini adalah banyak para calon jama’ah haji yang telah bertekat kuat untuk berhaji serta sudah mampu untuk ke Baitullah akan tetapi kewajiban tersebut gagal tertunai karena negara sebagai pihak penyelenggara tidak memberikan jaminan atas terlaksananya kewajiban (fardlu ain) tersebut hanya karena alasan ekonomi.

Apalagi sampai menunda pemberangkatan haji karena dana mereka diinvestasikan terlebih dahulu, walaupun dengan alasan bahwa hasil investasi akan diperuntukkan bagi kemaslahatan jama’ah haji, tentu alasan itu tidak di benarkan.

Jika memang negara dengan sengaja melakukannya, maka negara telah melakukan dosa besar karena menghalang-halangi terlaksananya kewajiban seorang muslim yang telah diwajibkan Allah SWT .

Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai bentuk kezoliman yang harus di koreksi. Apalagi jika investasi yang di lakukan di sektor-sektor ribawi. Ini jelas-jelas sebuah kezaliman yang akan berakibat jauhnya negeri ini dari rahmat Allah SWT.

Bagaimana agar tidak sampai terjadi penumpukan dana para calon jama’ah haji, maka negara sebagai pihak penyelenggara harus sungguh-sungguh memperhatikan pengaturan kuota haji dan umrah sehingga tidak terjadi waiting list yang panjang.

Negara berhak untuk mengatur masalah ini, sehingga keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jamaah haji dan umrah.

Dalam hal ini, Negara harus memperhatikan: Pertama, kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup. Kedua, kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan.

Bagi calon jamaah yang belum pernah melaksanakan haji dan umrah, sementara sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan.

InshaAllah dengan pengaturan yang seperti ini, maka pelaksanaan ibadah haji akan bisa berjalan dengan baik tanpa harus ada yang terzolimi.[]

*Praktisi Pendidikan

Comment