Jusniati Dahlan*: Negeri Tak Berdaulat 

Opini458 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Seiring penanganan wabah, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia semakin membumbung tinggi. Baik untuk defisit anggaran periode sebelumnya atau mengalokasikan secara efisien untuk membiayai rakyat di masa pandemi.

Tercatat pembengkakan ULN Indonesia pada akhir (4/2020) menjadi sebesar USD400,2 miliar. ULN terdiri dari sektor publik yakni pemerintah dan bank sentral sebesar USD192,4 miliar dan sektor swasta termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar USD207,8 miliar.

“ULN Indonesia tersebut tumbuh 2,9%, lebih tinggi di bandingkan dengan pertumbuhan (3/2020) sebesar 0,6%. Hal itu di sebabkan oleh peningkatan ULN publik di tengah perlambatan pertumbuhan ULN swasta”, jelas Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko melalui keterangan di Jakarta, Senin (15/6/2020).

Perkembangan tersebut di pengaruhi oleh arus modal masuk pada Surat Berharga Negara (SBN), dan penerbitan Global Bonds pemerintah sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan pembiayaan, termasuk dalam rangka penanganan wabah covid-19.

Berhutang lagi menjadi solusi andalan pemerintah hari ini untuk mengatasi defisit anggaran negara. Seolah tidak kapok dengan bunga yang telah menggunung.

Tanpa rasa bersalah pada generasi mendatang, sebab telah mewariskan hutang kepada mereka. Inikah warisan yang ingin di berikan oleh negeri kapitalis. Warisan yang bukannya buat seseorang jadi milyader. Tapi malah, kelampangan harus bayar hutang yang tak tahu kapan akan habisnya.

Menjadi sebuah polemik di tengah negeri yang kaya ini. Mengapa hanya untuk membiayai APBN saja, negeri namrut khatulistiwa ini perluh berhutang. Ke mana gunung emas Indonesia. Ke mana nikel, semen, hasil hutan, batu bara dan sumber kekayaan negeri yang lainnya. Ya…pertayaan itu wajar terdengar di negeri yang menganut sistem kapitalis.

Negeri ini berdalih seolah tak sanggup mengurus kekayaan alam negeri ini, jadi biarkan saja di berikan kepada pihak asing. Benarkah demikian, atau memang sengaja memberikannya, agar tak usah repot urus sana-sini. Tinggal terima hasil saja.

Padahal dengan semakin menumpuknya ULN, dapat membawa negeri ini kehilangan wibawaan. Sebab, harus bergantung dengan pinjaman luar negeri untuk membangun negerinya. Bagaimana jika mereka tak memberikan pinjaman. Apakah negeri ini akan kao. Tak berdaya tanpa suntikan dana asing.

Ibarat kita menaruh harapan dan ketergantungan kepada orang lain. Maka rasa tak enakpun muncul untuk menolak permintaan tuan baik hati yang telah memberikan pinjman dana.

Apakah negeri ini mengalami hal yang sama. Tak enak hati menyiakan permintaan tuannya. Atau memang sengaja merencanakan hal tersebut agar dapat menikmati remah-remah proyek di sudut negeri.

Nampak sekali kebijakan pemerintah bukannya membawa kemaslahatan untuk rakyat, malah mencekik mereka dengan berhutang lagi. Dengan berhutang lagi, pajak jelas akan di naikan, subsidi ke rakyat akan di cabut, lantas siapa yang di untungkan.

Semestinya, hal ini dapat membuka mata kita kawan, bahwa negeri tercinta ini butuh negera yang mandiri secara ekonomi.

Pembangunan negara tidak boleh mengandalkan hutang dan investasi asing, sebab kedaulatan negara akan tergadai, negeri ini tak akan leluasa untuk bersikap tegas pada tuan baik hati yang berhati perompak.

Jika Indonesia tak lagi berdaulat di negerinya sendiri, lalu akan ke mana lagi rakyat ingin mengaduh nasib. Jika penguasanya tak lagi menlayani, lalu siapa lagi yang akan membela.

Berbeda dengan sistem keuangan Islam. Dalam memenuhi APBN negara, atau biasa di kenal dengan baitul mal. Semua pemasukan dan pengeluaran baitul mal menjadi milik kaum muslim. Sehingga untuk mengatasi defisit negara tidak harus mengemis dengan berhutang ke luar negeri. Namun di dapatkan dari sumber pendapatan negara dengan pemangkasan seperti:

Pengolahan harta milik negara. Misalnya, menjual atau menyewakan harta milik negara, seperti tanah atau bangunan milik negara.

Melakukan hima pada sebagian harta milik umum. Hima adalah penkhususan suatu harta kaum muslimin yang di lakukan oleh khilafah untuk keperluan khusus, dan tidak boleh di gunakan untuk keperluan lain. Menarik pajak (dharibah) sesuai ketentuan syariat. Pajak hanya bisa ditarik oleh khalifah jika ada kewajiban finasial yang harus di tanggung bersama antara negara dan rakyat.

Khalifah sebagai pemimpin tunggal kaum muslim di seluruh dunia memiliki tanggung jawab yang begitu besar dalam mengurusi urusan umat. Rasulullah Saw. bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِه

“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya”, (H.R Al-Bukhari). Wallahu a’lam bissawab.[]

Comment