Kala Sosok Ibu Tak Lagi Menjadi Tempat Untuk Mengadu dan Merindu

Berita401 Views
Ilustrasi.[raarindonesianews.com]
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA –  “Mas, pinjami aku uang untuk pergi ke Banten. Aku ingin menemui
‘orang pintar’ yang katanya bisa membantu aku memperoleh kembali anakku
dari mantan suamiku.”
 
Seorang kenalan, perempuan belia,
janda satu anak yang tinggal tak jauh dari rumah, malam tadi datang
dengan ‘kusut masai’. Penampilannya yang berantakan menandakan
kekisruhan hati yang sedang dialami. Sejak perceraiannya dengan
suaminya, anaknya yang masih bayi memang ‘terpaksa’ diserahkan kepada
mantan suaminya dengan berbagai pertimbangan. Menurut janji tertulis
yang ditandatangani bersama, si perempuan diperbolehkan sesekali waktu
menemui anaknya. ‘Serah terima’ hak asuh anak ini telah disepakati kedua
belah pihak dengan pemahaman atas resiko dan konsekuensinya masing –
masing.

Namun dalam perjalanan waktu selanjutnya, jangankan bisa
menengok anaknya, tahu dimana dan sedang apa bayi mungilnya saja, si
perempuan ini tak lagi bisa memperoleh kesempatannya. Apalagi setelah
mantan suaminya menikah lagi. Semakin susah si perempuan untuk menemui
si buah hati. Upaya bernegosiasi, meminta ijin bahkan memohon untuk
bertemu anaknya sesekali, semakin tak digubris sama sekali.

Saat
semua jalan terasa tertutup, manusia cenderung melakukan tindakan yang
di luar batas nalarnya. Tak terkecuali  bagi seorang ibu. Ibu yang konon
menyumbang 75%  bagian dari jiwa dan raga anak – anaknya, memiliki
ikatan batin dan emosional yang jauh kuat melebihi ikatan atau hubungan
lain antar manusia yang pernah ada. Lalu pergi ke ‘orang pintar’ adalah
salah satu jalan alternatif yang dipilih untuk dilalui.

‘Orang
pintar’? Sepintar itukah hingga diyakini bisa membawa anaknya ke pelukan
dirinya kembali? Sepintar itukah hingga dirasa bisa melunakkan hati
orang – orang yang menolak mempertemukan ibu dan anaknya kembali, walau
cuma seminggu sekali? Sepintar itukah, hingga nantinya dari Banten sana
si orang pintar mampu menggerakkan gelombang metafisika hingga ke Jogja?
Ah, namanya juga orang yang sedang lupa pada batas nalar dan logikanya,
karena nurani yang tak terpenuhi keinginannya menjerit – jerit tak
terkendali. Tanya yang hanya menimbulkan silang pendapat tak bermanfaat.

“Mbak,
saya 9 tahun di Banten. Belum pernah mendengar ada ‘orang pintar’ yang
bisa mengalahkan dan menaklukkan hati manusia dari jarak jauh. Apalagi
hati seorang bapak yang saat ini sedang merasa ‘bertugas’ melindungi
anaknya. Melindungi anaknya dari ibunya sekalipun. Satu – satunya ‘orang
pintar’ yang bisa membantu masalah Anda sebenarnya Anda sendiri. Setahu
saya ‘orang pintar’ adalah orang yang tahu dan memahami kekuatan dan
kelemahan, kebenaran dan kesalahan pada diri sendiri. Lihatlah dan
koreksi diri Anda sendiri terlebih dulu, sebelum menunjukkan pada mereka
kenapa Anda layak mendapatkan hak bertemu. Saya yakin, kondisi saat
ini, untuk siapapun, dan apapun itu adalah yang terbaik yang diberikan
Tuhan.”

Si perempuan muda pamit dengan masih dalam ‘kusut masai’
nya, dengan air mata berleleran dari matanya, meleleh bersama maskara
tebal hingga menganak-sungai hitam di pipinya. Rambut berwarna serabut
jagung bikinan salon ternama, acak – acakan dalam setiap garukan kepala
yang dilakukannya. Dia pulang, melangkah gontai dengan rok pendek di
atas lutut setengah paha, dengan sepatu hak tinggi berkilau karya
desainer ternama. Masuk ke mobil putihnya dan tancap gas entah kemana.
Kok jadi semakin yakin bahwa saat ini adalah kondisi terbaik baginya dan
terutama bagi anak bayinya yang telah secara sempurna direkayasa oleh
Tuhan.

Akhirnya, ‘ibu’ mungkin saja pernah menjadi kata
terfavorit pilihan sebagian besar orang di antara pilihan lainnya. Namun
saat ini, setelah melihat salah satunya, ‘ibu’ mungkin saja bisa
menjadi pilihan kesekian bagi segelintir manusia yang meyakini bahwa
yang terbaik adalah justru tanpa mengucapkan dan memanggil namanya atau
bahkan tanpa kehadirannya.[vem]

Berita Terkait

Baca Juga

Comment