Marital Rape, Kebijakan Bikin Was Was

Opini506 Views

 

 

 

Oleh : Risnawati, S.Tp, Pegiat Opini Kolaka

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Dilansir ruangriau.com, RUU KUHP memperluas definisi pemerkosaan ke ruang keluarga, salah satunya pemerkosaan suami terhadap istrinya (marital rape). Delik ini saat ini sudah ada dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

“Marital Rape (Perkosaan dalam Perkawinan) ditambahkan dalam rumusan Pasal 479 supaya konsisten dengan Pasal 53 UU 23/2004 tentang PKDRT yaitu tindak pidana kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap istri atau suami bersifat delik aduan,” kata Guru Besar hukum pidana UGM Prof Marcus Priyo Gunarto dalam Diskusi Publik RUU KUHP di Hotel JS Luwansa, Senin (14/6/2021).

Tidak dipungkiri, kasus kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat.  Dilansir detiknews (16/6/2021), Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini mengatakan bahwa berdasarkan catatan tahunan 2021, jumlah laporan terkait pemerkosaan terhadap istri adalah 100 kasus untuk tahun 2020. Tahun 2019, data kasus mencapai 192 kasus yang dilaporkan.

Istilah marital rape sebagai  pemerkosaan dalam perkawinan yang berkaitan dengan semua tindak paksaan atau kekerasan dalam hubungan suami istri ini menjadi diskursus kontroversial Di masyarakat.

Lalu, tepatkah tindak kekerasan dan paksaan suami ini dikategorikan sebagai pemerkosaan?

Sekularisme Akar Masalah

Konsep marital rape adalah produk kebebasan berpikir yang lahir dari rahim sekulerisme yang bertentangan dengan Islam, yakni membuang jauh aturan agama dari kehidupan dan mengajarkan kebebasan dalam segala hal.

Marital Rape diusung oleh kaum phobia islam, yang senantiasa menuding bahwa syariat Islam telah membelenggu kebebasan perempuan dan menciptakan berbagai macam penderitaan bagi perempuan.

Syariat tentang kewajiban istri, kepemimpinan suami, syariat tentang nusyuz dan masih banyak lagi syariat Islam lainnya juga diserang.

Mereka menganggap bahwa syariat Islam adalah biang penderitaan perempuan. Padahal, justru sebaliknya. Berbagai masalah yang menimpa perempuan saat ini terjadi karena kaum perempuan telah tertipu dengan ide feminisme ini.

Misalnya, pasal 53 UU No. 23 Tahun 2004, tentang PKDRT, atau pasal 479 RKUHP yang menetapkan bahwa suami yang diadukan oleh istrinya karena dianggap telah melakukan tindakan kekerasan seksual akan dikenakan hukuman penjara maksimal 12 tahun.

Jika suami dipenjara, siapa yang akan menanggung nafkah keluarga? Siapa yang akan melindungi dan menjaga keluarga?

Akhirnya, istri yang akan melakukan semuanya sendirian, baik mencari nafkah, mengurus rumah, mendidik dan membesarkan anak, dan seterusnya. Bukankah ini semua justeru memberatkan perempuan?

Begitu pula, penerapan sistem pendidikan sekuler dan ekonomi kapitalis, suami terasa kering dari sebuah rasa kasih sayang,  pengertian dan istripun merasa diperkosa.

Adapun masyarakat kian kehilangan fungsi kontrol akibat individualisme yang mengikis budaya amar ma’ruf nahi munkar.

Islam Solusi Tuntas

Telah jelas bahwa sistem kapitalisme inilah penyebab rapuhnya ketahanan keluarga. Syariat Islam sejatinya telah menjamin perlindungan perempuan dari tindakan kekerasan di rumah dengan syariat pernikahan yang menjamin hak dan kewajiban terhadap suami istri.

Maka jika ada yang menistakan salah satu pihak, berarti sama saja sedang melanggar syariat Allah SWT. Oleh karena itu, syariat Islam mendorong agar laki-laki atau perempuan menikah atas dasar agamanya, bukan hartanya, keturunannya, atau fisiknya.

Sehingga bekal keimanan mengarungi bahtera rumah tangga sebagai modal terbesar dalam kokohnya bangunan sebuah keluarga.

Konsep pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape), tidak ada di dalam Islam. Dalam konsep marital rape, hubungan seksual di antara suami istri harus karena keinginan keduanya, bukan karena hal tersebut adalah kewajiban istri kepada suami.

Ini artinya, jika istri sedang tak ingin melayani suami, maka ia tak wajib melayani. Jika dipaksa, maka ini adalah bentuk pemerkosaan. Jelas konsep ini bertentangan dengan Islam. Islam mewajibkan istri untuk taat kepada suami.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan dalam kitabnya An-Nizham al-Ijtimaa’iy fi al-Islam, bahwa taat dan melayani suami adalah kewajiban istri sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

“Jika seorang istri tidur malam meninggalkan tempat tidur suaminya, niscaya para malaikat akan melaknatnya sampai ia kembali.” (Muttafaq ‘alaih dari jalur Abu Hurairah).

Beginilah ketika hukum dibuat oleh manusia. Tidak akan pernah menyelesaikan masalah secara tuntas. Sungguh benar firman Allah SWT yang artinya: “Apakah hukum jahuliyah yang mereka kehendaki? Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi oyang-orang yang yakin”. (TQS. Al Maidah: 50).

Di sinilah pentingnya keberadaan negara dalam upaya menanamkan pemahaman Islam kepada masyarakat melalui tegaknya islam secara kaffah, mencakup  seluruh aspek kehidupan. Wallaahu a’lam bish shawab.[]

Comment