Masirah, S.Pi, MP*: Kebijakan Gegabah Membuka Sekolah Di Tengah Wabah

Opini480 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Saat ini, orang tua terutama ibu bisa merasa sedikit lega karena tugas mendampingi anak ‘sekolah from home’ melalui sistem daring, sudah masuk waktunya ‘libur akhir sekolah’.

Beberapa sekolah bahkan sudah memberikan nilai hasil akhir (raport) kenaikan kelas bagi siswa-siswanya. Akan tetapi perasaan sedikit lega ibu-ibu kini berubah menjadi gelisah, cemas juga was-was.

Bagaimana tidak, di tengah kondisi wabah covid-19 yang belum mereda, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berencana membuka sekolah pada pertengahan Juli yaitu mulai awal tahun pelajaran baru. Hal itu sebagaimana disampaikan Muhammad Hamid Plt. Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (9/5/2020).

Hamid menegaskan bahwa rencana ini hanya dimungkinkan bagi sekolah di daerah-daerah yang sudah dinyatakan aman dari wabah covid-19 (zona hijau) oleh Satgas Covid-19 dan Kementerian Kesehatan.

Hamid juga mengatakan nantinya kegiatan sekolah akan menggunakan protokol kesehatan di area institusi pendidikan yang sudah ditentukan pemerintah dan diwajibkan memakai masker. Tapi ia tidak menjelaskan lebih lanjut apakah pihaknya bakal menetapkan protokol kesehatan tersendiri maupun pembatasan jumlah siswa.

Meskipun demikian alasan yang diungkapkan Hamid, tetap saja kebijakan ini membuat kekhawatiran semua orang tua terutama yang memiliki anak usia sekolah. Wakil Ketua Komisi IX DPR Abdul Fikri Faqih meminta pemerintah tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Tidak ada data yang mampu meyakinkan bahwa kondisi sudah aman.

”Idealnya mendekati nol untuk pertumbuhan pasien positif baru. Data yang digunakan sebagai acuan juga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,” tegas Abdul Fikri Faqih (Sumeks.co/16/5/2020).

Memang, tidak ada jaminan anak-anak yang dilepas sekolah akan aman dari covid-19, kemungkinan penularannya akan sangat tinggi. Indonesia belum aman dari corona. Bahkan jumlah pasien positif juga semakin banyak. Belum lagi ungkapan Bapak Jokowi yang meminta rakyat berdamai dengan corona. Ungkapan ini terasa kontra dan ironis di tengah upaya perlawanan yang dilakukan secara maksimal oleh tenaga medis juga oleh orang-orang yang berusaha me’lock down’ dirinya sendiri dalam upaya memutus mata rantai covid-19.

Kekhawatiran juga datang dari Federasi Serikat Guru Indonesia melalui Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan. FSGI khawatir jika kebijakan ini direalisasikan maka siswa dan guru menjadi korban wabah covid-19. Kekhawatiran tersebut beralasan karena seringkali terlihat koordinasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak sinkron dalam penanganan corona.

“Kalau ingin membuka sekolah di tahun ajaran baru, oke itu kabar baik. Tapi [datanya] harus betul-betul [tepat], mana [daerah] yang hijau, kuning, merah,” tuturnya kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Sabtu (9/5/2020).

Peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Anggi Afriansyah berpendapat membuka sekolah sangat beresiko. Dibukanya sekolah tanpa memperhitungkan berbagai resiko justru akan menambah kluster baru penyebaran Covid-19. Beliau menyarankan agar pemerintah sebaiknya memundurkan waktu pembukaan sekolah dan tetap melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Karena resiko terpapar anak tinggi, terutama bagi mereka yang harus menggunakan transportasi public. Kondisinya berbeda dengan anak-anak keluarga menengah atas yang menggunakan transportasi prbadi yang relative lebih aman (Polkrim.news/14/5/2020).

Pembukaan Sekolah Dan Pemulihan Ekonomi

Wacana dibukanya kembali sekolah adalah skenario pemulihan ekonomi pasca wabah. Kondisi pandemic memang membawa dampak ekonomi yang luar biasa. Banyak pegawai-pegawai yang terpaksa di PHK.

Daya beli masyarakat turun, sehingga beberapa usaha terpaksa gulung tikar. Kondisinya memang masih belum stabil sehingga peran negara sangat penting disini. Upaya membuka sekolah di tengah kondisi wabah ini sangat mengkhawatirkan karena belum ada upaya memastikan bahwa apakah virus tidak menyebar dan bagi mereka yang sudah terinfeksi apakah sudah diisolasi.

Faktanya tingkat kemampuan tes Covid-19 di Indonesia hingga kini belum bisa mencapai 10 ribu spesimen per hari seperti yang ditargetkan Presiden Jokowi.

Presiden pun mengeluhkan kemampuan pengujian spesimen di berbagai laboratorium di Indonesia masih jauh dari target. Berdasarkan laporan yang diterima Jokowi, kemampuan pengujian spesimen untuk alat tes PCR saat ini baru mencapai 4-5 ribu sampel per harinya. Jokowi juga menilai perlunya peningkatan sumber daya manusia yang lebih terlatih. Selain itu, ia juga menyinggung masih kurangnya alat pengujian virus corona, seperti PCR, RNA, dan juga VTM.

Jubir penanganan covid-19 mengatakan ada beberapa kendala sehingga pemeriksaan belum mencapai target, di antaranya karena keterbatasan laboratorium dan keterbatasan reagen. Menurut Ketua Gugus Tugas Penanganan covid-19 Doni Monardo pasokan reagen yang ada belum bisa digunakan secara optimal karena laboratorium penguji kurang Sumber Daya Manusia yang tersedia (Republika/11/5/2020).

Rakyat butuh perlindungan, butuh dipimpin oleh sosok pemimpin yang tegas.

Kebijakan yang dikeluarkanseharusnya juga konsisten, tidak memaksakan, tidak membingungkan dan tentunya harus mampu memberikan solusi tepat atas persoalan rakyat. Sosok pemimpin yang memahami tugas kepemimpinannya dalam mengurusi rakyat yaitu memiliki kapasitas riayah (mengurusi) sehingga dia akan fokus memberikan solusi dan pelayanan atas segala kebutuhan rakyatnya dengan tepat.

Jika rakyat sedang kesusahan dalam menghadapi wabah seperti saat ini, maka pemimpinlah yang hadir di garda terdepan.

Pemimpin akan mengupayakan segala kemampuan yang ia miliki untuk menyelamatkan rakyatnya dari wabah. Oleh karena itu kebijakan yang ia keluarkan pun adalah kebijakan yang menyegerakan penanganan wabah (menghentikan penularan)sebagaimana sesuai tuntunan syariat seperti memberlakukan kebijakan lockdown, sehingga pemimpin dapat fokus mengobati masyarakat terdampak sedangkan wilayah zona hijau atau tidak terdampak wabah tetap bisa melakukan aktifitas ekonomi secara normal. Pemerintah juga menanggung secara penuh keperluan masyarakat terdampak wabah seperti kebutuhan pangan, obat-obatan dan segala keperluan logistik lainnya.

Pemerintah juga menjamin pelayanan kesehatan dengan kualitas terbaik untuk mengobati pasien korban wabah tanpa mendzalimi tenaga medis yang bertuga, memberlakukan aturan khusus bagi masyarakat sehat di wilayah wabah dengan jaminan ketersediaan peralatan dan bahan obat-obatan sehingga mereka dapat melakukan aturan khusus tersebut dengan mudah serta mendukung berbagai riset penemuan vaksin dan obat-obatan yang mampu menghentikan wabah.

Pada saat situasi telah terkendali barulah dilakukan pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat terdampak wabah.

Patut direnungkan hadist Rasulullah SWA, beliau bersabda : “Akan tiba pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu, orang bohong dianggap jujur. Orang jujur dianggap bohong. Pengkhianat dianggap amanah. Orang amanah dianggap pengkhianat. Ketika itu, orang “Ruwaibidhah” berbicara. Ada yang bertanya, “Siapa Ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Orang bodoh yang mengurusi urusan orang umum.” (HR. Hakim).

Imam as-syathi menjelaskan ruwaibidhah adalah orang bodoh yang lemah, yang membicarakan urusan umum. Dia bukan ahlinya untuk berbicara tentang urusan khalayak ramai, tetapi tetap saja dia menyatakannya. (As-syathibi, al-I’tisha, II/681).

Pemerintahan yang lahir dari sistem Islam-lah yang akan menghasilkan sosok pemerintahan dan pemimpin yang bertanggungjawab, melindungi dan mengurusi rakyatnya dengan maksimal. Selalu mengutamakan keselamatan rakyatnya. Dia hadir membela rakyatnya yang kesusahan, sebagaimana dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab pada saat terjadi paceklik panjang di Madinah.

Khalifah Umar yang warna kulitnya putih kemerahan sudah berubah menjadi hitam akibat kemarau panjang. Jika dulu beliau terbiasa menyantap susu, samin, dan daging, sejak musim paceklik hanya menyantap minyak zaitun, bahkan sering mengalami kelaparan.

Khalifah Umar berpendapat tidak mungkin seorang pemimpin dapat memperjuangkan kehidupan rakyatnya kalau dia tidak merasakan apa yang dirasakan rakyat.[]

*Dosen

Comment