Penulis: Qisti Pristiwani, S.Farm | Aktivis Muslimah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Meningkatnya jumlah kasus kekerasan terhadap anak harus menjadi perhatian serius. Kekerasan ini terjadi dalam berbagai bentuk dan sayangnya – pelaku seringkali adalah orang-orang yang dekat dengan anak tersebut. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Menurut laporan dari Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) sebagaimana ditulis dataIndonesia.id, pada tahun 2023 sebanyak 16.854 anak menjadi korban kekerasan termasuk kekerasan fisik, psikologis, seksual, penelantaran, perdagangan manusia hingga eksploitasi.
Pada tahun 2024 angka tersebut masih tetap tinggi. Terdapat banyak faktor penyebab timbulnya kekerasan pada anak seperti masalah ekonomi dan sosial serta pengaruh media massa atau faktor hukum.
Tuntutan ekonomi dapat membuat orang tua mengabaikan perannya sebagai wali serta menelantarkan atau bahkan melakukan tindakan tidak manusiawi kepada anak mereka sendiri. Banyak orang tua yang sibuk bekerja seharian di luar rumah tanpa waktu bersama dengan anak-anak sehingga kurang memberikan kasih sayang.
Dampak dari kurang mendapatkan kasih sayang itu biasanya ditunjukkan melalui perilaku nakal si anak yang kemudian direspon negatif oleh para orang tuanya sehingga muncul tindakan kekerasan terhadap sang buah hati.
Bahkan karena kondisi perekonomian sulit, seorang ibu rela menjual bayinya seperti dikutip dari Detik News (23/2/2024). Sistem kapitalisme telah menggerus fitrah seorang ibu. Biaya hidup yang sangat mahal menyebabkan seseorang mempertimbangkan ribuan kali untuk memiliki keturunan. Akibatnya, banyak orang tua menelantarkan atau melakukan tindakan buruk lainnya kepada putra-putrinya karena kesulitan finansial.
Lingkungan yang kurang baik juga dapat memicu tindakan kekerasan pada anak, seperti penculikan, pengintimidasian (bullying), dan bahkan tindak kekerasan seksual.
Saat ini, lingkungan masyarakat kita tidak kondusif karena penerapan sistem kapitalisme-sekular. Lingkungan yang bebas tanpa aturan agama membuat seseorang merasa bebas untuk melakukan apa saja sesuai dengan hawa nafsunya. Akibatnya, kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak sering menjadi korban atas hal tersebut.
Keberadaan media massa memiliki peran penting sebagai koreksi atas maraknya kasus kekerasan anak. Media massa seperti televisi dan internet sering menayangkan konten negatif seperti bullying, pornografi, dan pornoaksi. Media tersebut mudah diakses oleh anak-anak yang belum mampu memilah informasi yang baik dan buruk.
Oleh karena itu, kontrol pemerintah terhadap media penyiaran termasuk internet harus dilakukan. Namun demikian, hal ini tidak dapat optimal diwujudkan selama negara masih mengadopsi sistem kapitalisme-liberal sebagai asas kebijakan karena sistem ini hanya menekankan aspek materi daripada moralitas.
Banyak persoalan terkait hukum muncul akibat kapitalisme-demokrasi. Hukum bisa dibeli dengan uang sehingga siapa saja yang punya uang mudah untuk lolos dari jeratan hukum. Akibatnya, ada penyepelean terhadap hukum di negeri ini sehingga kejahatan pun berulang tanpa memberikan efek jera pada pelaku.
Anak adalah amanah dan titipan dari Allah Swt. yang harus dijaga sesuai dengan aturan sebagaimana firman-Nya dalam Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…”(Q.S at-Tahrim :6).
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan faktor penentu baik buruknya peradaban dunia saat ini. Oleh karena itu, membentuk anak-anak cerdas dan bertakwa menjadi tanggung jawab bersama bagi keluarga, masyarakat, maupun negara untuk membangun peradaban yang baik.
Islam menuntut setiap orang tua untuk menanamkan aqidah yang benar pada anggota keluarga mereka. Dengan memiliki aqidah yang benar, anak akan memiliki benteng untuk membedakan antara tindakan halal dan haram.
Kehadiran partisipasi masyarakat dalam menjalankan tugas Amar ma’ruf nahi munkar sangat krusial untuk menciptakan lingkungan yang kondusif. Ketika masyarakat memainkan perannya dengan sungguh-sungguh, maka individu-individu akan merasa takut ataupun malu untuk melakukan pelanggaran. Oleh karena itu, pengawasan sosial dari komunitas harus dilaksanakan secara serius.
Selain itu, negara juga memiliki peran penting sebagai penjaga dan pelindung keseluruhan warga negara. Dalam sistem Islam, negara berkewajiban untuk memastikan kesejahteraan rakyatnya melalui penyediaan kebutuhan primer dan sekunder mereka.
Sebagai contoh, seorang ibu dapat menunaikan tanggung jawabnya sebagai Ummu warobatul bait atau pengatur rumah tangga sesuai fitrahnya. Begitu pula dengan ayah yang bertanggung jawab sebagai pencari nafkah dan pelindung keluarga. Mereka dapat lebih fokus pada peran masing-masing karena kebutuhan dasar mereka telah terpenuhi oleh negara yang bertanggung jawab atas hal tersebut.
Selanjutnya, negara juga menerapkan regulasi dalam kehidupan sosial yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara. Negara menutup semua celah yang dapat merusak pemikiran di tengah-tengah masyarakat dengan cara seperti memperintahkan laki-laki dan perempuan untuk menutup aurat secara syar’i serta mengawasi media penyiaran dan memberlakukan sanksi tegas bagi pelanggar aturan.
Pembentukan aqidah melalui sekolah dilaksanakan demi membentuk individu yang cerdas dan bertakwa.
Hal ini hanya dapat tercapai apabila negara mengimplementasikan Islam Kaffah dalam menjalankan kehidupannya. Wallahu a’lam bishshowab.[]
Comment