Mia Agustiani*: Antara Pernikahan Dini Dan Seks Bebas

Opini473 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pengadilan Agama Jepara, Jateng, menjelaskan sebanyak 240 permohonan dispensasi nikah tidak semua karena hamil terlebih dahulu.

Melainkan ada yang karena faktor usia belum genap 19 tahun sesuai aturan terbaru. (Jawapos.com – 26 Juli 2020)

Angka pernikahan dini melonjak selama masa pandemi. Jabar merupakan salah satu provinsi penyumbang angka perkawinan dibawah umur tertinggi di Indonesia berdasarkan data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional tahun 2020.

Dosen Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Unpad Susilowati Suparto mengatakan, peningkatan angka pernikahan dini dimasa pandemi Covid-19 salah satunya ditengarai akibat masalah ekonomi.

“Para pekerja yang juga orang tua tersebut sering kali mengambil alternatif jalan pintas dengan menikahkan anaknya pada usia dini karena dianggap dapat meringankan beban keluarga.” (Kompas.com – 8 Juli 2020).

Fenomena dewasa ini janganlah dianggap remeh. Generasi kita tidak dididik sesuai dengan nilai-nilai Islam. Mereka justru disuguhi konten pornografi, porno aksi, media sosial dan tontonan televisi yang tak bertanggung jawab.

Kekhawatiran orang tua pun muncul, takut anaknya terbawa arus pergaulan diluar Syariat Islam. Menikahkan pada usia dini sebelum terjerat tangan syetan. Namun keinginan menikah dini pun terjegal oleh UU perkawinan semula 16 tahun dirubah jadi 19 tahun.

Di lapangan, batasan usia menikah itu pun menuai persoalan baru. Ketika menikah dini yang terhalang peraturan. Apakah sebenarnya yang terjadi? Ini mencegah nikah dini atau melegalkan seks bebas?

Landasan hidup yang digunakan masyarakat dewasa ini sangatlah jauh dari Syariat Islam. Mendidik anak -anak penentu generasi hanya sambilan. Tanpa ilmu generasi hanya dicetak seadanya.

Salah satu pemicu maraknya pernikahan dini adalah lemahnya pengawasan orang tua. Terlebih saat ini ada kebijakan sekolah dirumah. Justru anak malah memiliki keleluasaan waktu dan tanpa kontrol.

Adapun beberapa aspek yang harus diperhatikan, diantaranya:

Aspek ekonomi

Orang tua yang menganut sistem kapitalis menganggap menikah adalah jalan keluar dari kesulitan ekonomi. Menganggap anak perempuan adalah beban ekonomi. Hingga menikah dini dijadikan solusi praktis ditengah himpitan ekonomi.

Biaya sekolah yang tidak murah membuat mereka putus sekolah. Menganggap dengan menikah dapat merubah nasib keluarga dari kemiskinan. Paham rusak kapitalis ini sudah mendarah daging pada tubuh masyarakat.

Aspek pendidikan

Pendidikan yang miskin visi. Orang tua yang minim tsaqofah dan perjuangan dalam mencetak generasi cemerlang yang tangguh dan beraqidah Islam.
Banyak orang tua yang mudah menyerah. Melupakan peran utamanya sebagai madrasah ula.

Mereka menyerahkan pendidikan anak pada sistem pendidikan sekuler. Berdalih sibuk bekerja untuk anak dan bahkan ada yang kehabisan energi untuk sekadar mendidik.

Praktik perkawinan semakin menjamur, di pedesaan yang serba kurang secara ekonomi dan pendidikan. Sekuler dengan bumbu kentalnya, menghilangkan aroma Agama dalam kehidupan.

Sekuler tidak memakai Agama sebagai pondasi dan benteng keimanan. Akibatnya tidak ada ketahanan keluarga dalam berumah tangga dan mudah rapuh.

Aspek Sosial

Generasi kita dirusak oleh tontonan televisi dan media sosial yang tidak layak. Pendidikan ijtimaiy yang tidak tersampaikan, justru pergaulan bebas dipertontonkan dan ditiru habis-habisan.

Remaja tidak memiliki arah pergaulan. Perilaku seks bebas dan gaya hidup hedonis yang kerap diserap. Buah pahit karena kita menanam benih kapitalis dan meninggalkan nilai Islam.

Aspek Hukum

Hukum manusia yang selalu berubah, semula UU Perkawinan adalah 16 tahun kini menjadi 19 tahun, menuai masalah lain. Angka kehamilan diluar nikah meningkat. Anak melakukan hubungan diluar nikah hingga hamil agar dapat solusi praktis mengajukan dispensasi nikah.

Dispensasi nikah hilang arah. Hanya dijadikan alat oleh pelaku seks bebas dan hamil diluar nikah.

Ketahanan Keluarga

Pernikahan tanpa persiapan hanya akan menciptakan masalah berkelanjutan. Perceraian kerap dijadikan solusi. Sering ditemui perceraian pada pasangan muda. Ketahanan keluarga yang terabaikan, muncul pasangan tanpa ilmu dan pemahaman ilmu parenting.

Masalah pun kian membulat apabila tidak ditemukan solusi bagi pemecahannya. Islam memiliki peraturan mengurusi aspek kehidupan manusia secara menyeluruh.

Aspek Ekonomi

Negara wajib memenuhi kebutuhan dasar, sehingga himpitan ekonomi bukan lagi masalah orang tua. Maka solusi praktis menikahkan anak tak kan
lagi terpikirkan.

Biaya pendidikan tak lagi jadi beban orang tua, ketika sekolah digratiskan.

Aspek Pendidikan

Kurikulum yang dipakai haruslah satu suara, yaitu pendidikan akidah Islam bukan berbau sekuler. Pendidikan Islam memiliki visi yang jelas melahirkan generasi Syaksiyah Islamiyah.

Aspek Hukum

Hukum Islam haruslah dijadikan pedoman apabila ada pelanggaran Syariat. Menimbulkan efek jera. Bukan menyelamatkan anak hamil dengan dinikahkan. Dalam islam penentuan dewasa bukanlah berdasarkan usia, tapi tanda akil baligh.

Aspek Sosial

Alquran telah mengatur secara detail untuk pencegahan dalam kehidupan sosial. Diantaranya tertuang dalam firman Allah tentang menjaga kesucian (An-Nur: 33). Ketentuan berpakaian bagi muslimah ( Al- Ahzab: 59).

Anjuran Allah mengenai pergaulan tersebut diperlukan kontrol masyarakat sebagai wujud amar ma’ruf nahi mungkar.

Masalah yang timbul begitu kompleks. Solusi praktis yang masih parsial bukan jalannya. Solusi islam yang menyeluruhlah yang dapat menangani semuanya. Wallahu a’lam bishawab.[]

*Member of Revowriter Majalengka

Comment