Mitigasi Bencana, Terhalang Dana atau Kebijakan?

Opini176 Views

 

Penulis : Hermawati, S.Si |
Penggiat Lingkungan

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada rentang waktu 29 Februari -7 Maret 2024, terjadi 40 bencana alam yang berdampak signifikan di Indonesia. Bencana tersebut melanda 17 provinsi di dalam negeri.

Secara rinci,  terjadi 28 kali bencana banjir. Jawa Tengah menjadi provinsi yang paling banyak dilanda bencana dwngan empat kejadian banjir di provinsi tersebut. Belakangan, terjadi di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan. Air meluap ke jalan utama hingga memasuki permukiman warga, Sabtu malam 28 April 2024.

Selain banjir, Indonesia juga dilanda enam bencana tanah longsor dalam rentang waktu tersebut dan Jawa Tengah merupakan daerah yang terbanyak diterpa bencana tersebut dengan tiga kejadian. Kemudian, tiga kejadian lainnya tersebar di Sumatera Utara, Banten, dan Nusa Tenggara Barat.

Lebih lanjut, BNPB seperti ditulis  dataindonesia.id mencatat sebanyak 234.952 orang terdampak berbagai bencana alam tersebut. Sebanyak 3.303 orang terpaksa mengungsi, satu orang hilang, tujuh orang luka-luka, dan tujuh orang meninggal dunia.

Kerugian materi dan nonmateri hampir memenuhi kolom berita di setiap tahunnya karena bencana. Pasca bencana penanganan kadang tidak berlangsung cepat dan tepat. Tempat tinggal korban bencana alam butuh waktu pulih, demikian juga dengan psikis. Bahkan beberapa kehilangan lapangan pekerjaan karena imbas bencana alam ini.

Karena berulang ulang, fenomena bencana alam yang terjadi hampir setiap tahun ini seakan menjadi hal biasa. Masyarakat tidak ada pilihan selain pasrah menerima kiriman bencana setiap tahunnya.

Bukankah ini kondisi yang tidak wajar, di mana kerugian demi kerugian menjadi belurang setiap tahunnya. Aksi masyarakat dengan inisiatif dan kesadaran individu masih belum cukup unruk menanggulangi bencana, bahkan untuk mitigasi bencana sekalipun. Akhirnya hanya ada adaptasi dan “pemakluman” setiap kali huru hara bencana datang.

Tidak cukup empati, namun butuh aksi yang semangatnya bukan hanya dari masyarakat sebagai pihak yang paling berdampak, tapi juga petahana yang punya jangkauan besar terhadap kebijakan yang pengaruhnya bisa mengatasi bencana.

Aksi ini dibutuhkan dalam perbaikan dan pencegahan terhadap bencana. Mitigasi bencana seharusnya menjadi ruang yang tidak hanya banyak dibahas dan didiskusikan tapi juga dengan aksi nyata separti alokasi dana dan penyaluran yang tepat agar dampak dari bencana yang ada bisa diminimalisir.

Namun ada tanggapan bahwa dana yang dikeluarkan negara tidak cukup untuk meng-cover datangnya bencana dan dampaknya. Benarkah dana yang kurang atau sebaliknya, dana besar yang ada tidak mampu menggerakkan arah program mitigasi sehingga tidak efektif, karena tersangkut macam kebijakan yang ada?

Pada laman CNN Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan total dana dalam pooling fund bencana (PFB) telah mencapai Rp7,4 triliun. PFB merupakan skema mengumpulkan, mengakumulasi dan menyalurkan dana khusus bencana oleh sebuah lembaga pengelola dana.

“Dananya sekarang Rp7,4 triliun. Kita berharap ini akan menjadi salah satu faktor yang mendukung respons segera kalau terjadi bencana di berbagai daerah” ujar Sri Mulyani dalam Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana.

“Kemenkeu juga bekerja sama dengan berbagai kementerian atau lembaga untuk memetakan budget yang digunakan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” katanya.

Namun demikian, ia memandang pendanaan untuk memitigasi dampak perubahan iklim tak cukup hanya ditopang oleh APBN. Oleh karena itu pemerintah perlu bekerja sama dengan pelaku usaha swasta baik di dalam maupun di luar negeri, pemerintah negara lain, serta organisasi internasional untuk mendanai proyek menurunkan emisi karbon.

“Kita bisa melihat bahwa Indonesia juga aktif dalam forum internasional, seperti Conference of the Parties (COP) dan menjadi chair dari koalisi Menteri Keuangan terhadap pendanaan perubahan iklim,” lanjut Wamenkeu.

Di sisi lain, Wamenkeu mengatakan bahwa mengatasi perubahan iklim juga membutuhkan pendanaan inovatif sehingga Indonesia meluncurkan Energy Transition Mechanism (ETM) dan aktif dalam Just Energy Transition Partnership (JET-P).

Kedua platform internasional tersebut sebagaimana ditulis laman antaranews.com, menjadi saluran untuk membantu negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk mendanai perubahan iklim yang berkontribusi kepada penurunan emisi. Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang mengatur penurunan emisi karbon dengan penyelenggaraan pasar karbon juga disahkan pada tahun ini.

Pendanaa dari luar dan swasta, justru harus diperhatikan lebih seksama bahkan diwaspadai. Karena pendanaan yang tidak berdaulat berpotensi menimbulkan intervensi yang bersifat permanen. Sehingga subjek pemberi dana bisa dengan leluasa melakukan kegiatan yang tidak mengindahkan bahkan melanggar arah kebijakan program mitigasi yang ada untuk kepentingannya.

Pada faktanya ada banyak perusahaan besar yang menimbulkan dampak buruk pada aktivasnya karena minim penanganan lingkungan dan mitigasi.

Dana dalam jumlah besar ini jika penggunaannya tepat sasaran mampu mengatasi masalah bencana termasuk bagaimana pencegahnnya. Namun penggelontoran dana yang fantastis jika tidak didukung oleh kebijakan negara yang kuat untuk penanganan bencana dan aksi mitigasinya maka dana yang ada seakan menjadi problem satu-satunya.

Negara sebaiknya menjadi “tangan besi” bagi sumber-sumber yang menimbulkan bencana. Negara tidak boleh longgar, baik swasta atau kelompok yang aktivitasnya berpotensi pada perusakan lingkungan yang menyebabkan bencana alam harus ditindak. Misalnya, Individu atau kelompok yang merusak lingkungan harus diadakan tindakan hukum yang jelas, tidak tarik ulur penanganan agar masalah yang ditimbulkan tidak luas.

Tapi negara belum sampai kesana. Bahkan Undang-undang Cipta Kerja terbaru seakan lebih melonggarkan semuanya. Kucuran dana dan kebijakan yang kuat tanpa intervensi harusnya satu paket agar penanganannya optimal.

Kita butuh solusi yang solutif. Banjir yang berulang, lonsor yang membuat resah, penanganan gempa bumi yang seolah “gagap” dan macam-macam bentuk bencana yang ada harus segera diakhiri.

Kita mulai dengan mengembalikan semua ke fitrahnya, pada asalnya.  Pertama, penguatan pemahaman bahwa bencana dari Pencipta Allah Swt, namun kita diberi cara menanggulangi plus bagaimana menghidari dampak bencana. Penguatan dan recovery mental juga merupakan hal yang harus dijaga kala bencana.

Kedua, kajian mendalam tentang lingkungan dan aktivitas pembangunan berbasis ramah lingkungan. Bukan pembangunan yang offside dan melanggar hukum lingkungan karena kebanyakan bencana yang ada akibat salah kaprah pengelolaan lingkungan. Tidak berbasis mitigasi dan adaptasi namun hanya berbasis profit. Ini yang membuat “dosa” lingkungan makin melebar.

Ketiga, peran kuat negara sebagai pengurus, pengatur dan pemegang regulasi yang benar dan pemberian sanksi tegas bagi yang melanggar sesuai dengan konsep Islam.

Pendanaan terhadap lingkungan, adaptasi dan mitigasi yang tidak diintervensi oleh pihak manapun, sehingga tetap pada koridor aturan yang benar. Ini menjadi kombinasi yang memberi jalan keluar dari langganan bencana.

Karakter pengurusan seperti ini tercermin dalam Islam yang mendasarkan semua hal pada kemaslahatan dan kepatuhan terhadap nilai-nilai agama yang mulia, bukan pada keuntungan materi dan mengabaikan keselamatan masyarakat.

Tawaran Islam sebagai solusi lingkungan dan aman dari segi pendanaan, perlu menjadi pertimbangan.[]

Comment