Nahida Ilma Nafi’a*: POP, Di Mana Peran Dan Tanggung Jawab Pemerintah?

Opini774 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Program Organisasi Penggerak (POP)  adalah bagian dari visi-misi bertajuk ‘Merdeka Belajar’ yang digagas Mendikbud Nadiem Makariem.

Nadiem menyediakan dana Rp595 miliar per tahun untuk dibagi kepada organisasi masyarakat yang lolos menjadi fasilitator program ini. Dana yang dikucurkan untuk organisasi fasilitator terbagi dalam tiga kategori: Gajah, Macan, dan Kijang.

Organisasi yang lolos di kategori Gajah wajib memiliki target minimal 100 sekolah. Mereka bakal mendapat hibah maksimal Rp20 miliar. Adapun target kategori Macan berkisar antara 21 sampai 100 sekolah dengan hibah maksimal Rp5 miliar. Sementara target kategori Kijang 5 hingga 20 sekolah dengan hibah maksimal Rp1 miliar pertahun. (BBC.com, 24/7/2020)

Belakangan Program Organisasi Penggerak (POP) yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus mendapat kritikan dari berbagai pihak. Imbasnya, sebanyak tiga lembaga pendidikan yakni Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah telah menyatakan mundur dari POP Kemendikbud.

Terdapat beberapa pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk mundur dari Program Organisasi Penggerak. Satu di antaranya karena kriteria pemilihan dan penetapan peserta dalam POP Kemendikbud yang dinilai tidak jelas. (Tribunnews.com, 26/7/2020)

Program Organisasi Penggerak ini merupakan program pemberdayaan masyarakat yang melibatkan organisasi secara masif melalui dukungan pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru dan kepala sekolah melalui model pelatihan. Bentuknya, ormas membuat pelatihan, kemudian Kemendikbud memberikan dana.

Program unggulan Kemendikbud, Nadiem Makariem menuai berbagai polemik. Program ini ramai dibicarakan setelah keluarnya tiga lembaga pendidikan besar dari program tersebut yang kemudian ‘digantikan’ oleh 2 perusahaan besar.

Nadiem bersama dengan jajarannya memasukkan Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation ke dalam daftar penerima hibah dari Kemendikbud.

Hal ini dianggap merupakan langkah yang tidak etis, pasalnya kedua lembaga ini adalah pihak yang dinilai tidak membutuhkan hibah dari APBN.

Meskipun Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation menyangkal menggunakan dana APBN dalam menjalankan programnya dan mereka menyatakan akan menggunakan dana mandiri.

Namun, perubahan skema pembiayaan ini terjadi setelah banyaknya protes dari berbagai pihak.

Di tengah persoalan sekolah daring yang belum tuntas, pemerintah justru membelokkan fokusnya kepada program lain. Padahal, masih banyak siswa yang terkendala dalam mengikuti sekolah daring.

Sarana prasarana yang belum memenuhi, membuat mereka pontang panting mengikuti kebijakan pemerintah.

Tidak ada inovasi signifikan terhadap upaya pemenuhan hak pendidikan para siswa yang terkendala. Baik permasalahan sarana dan prasarana yang tidak memadai maupun keterpurukan ekonomi yang semakin tinggi.

Konsep bagi peran, sekilas terlihat bagus. Melibatkan rakyat dalam proses pembangunan bangsa. Namun, sejatinya kebijakan seperti ini justru menampakkan seakan lepas tangannya pemerintah dalam mengurus kebutuhan rakyatnya.

Berusaha mengalihkan tanggung jawabnya kepada masyarakat ataupun swasta. Dengan begitu, ketika terjadi masalah dalam praktik di lapangan, maka penguasa akan dengan mudah menyalahkan pihak lain.

Begitulah memang tabiat penguasa dalam sistem kapitalisme. Berperan hanya sebagai regulator, bukan penanggung jawab dan penyelenggara langsung urusan kebutuhan umum rakyat. Serta mengeluarkan kebijakan bukan berdasarkan kesejahteraan rakyat, tapi untuk kepentingan pihak tertentu.

Kebijakan POP ini pun tak luput dari hal itu. Disinyalir, ada beberapa di antara ormas yang lolos itu terdapat ormas abal-abal dalam rekam jejaknya di dunia pendidikan tapi mendapat dana kategori Gajah.

“Kami ragu mereka mampu menjalankan program sebesar ini. Ini program tingkat nasional. Ada ormas yang kantor saja tidak punya, apalagi staf,” ujar Kasiyarno, Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah saat dihubungi, Kamis (23/07). (BBC.com, 24/7/2020)

Berbeda dengan kapitalis, sistem pendidikan Islam yang dijalankan dalam negara Khilafah terbukti mampu menghasilkan pendidikan berkualitas. Baik kurikulum, pengadaan guru hingga pengelolaan sekolah, semuanya diatur sesuai aturan Islam. Perhatian Negara pada guru pun begitu besar.

Pendidikan adalah salah satu kebutuhan dasar yang dijamin negara dan merupakan hak setiap warga negara. Pendidikan tidak hanya berbicara soal proses belajar mengajar, tetapi juga seluruh hal yang mendukungnya. Termasuk sarana prasarana, kurikulum, akreditasi, kualitas guru, dan sebagainya. Juga yang terpenting, bagaimana agar pendidikan bisa diakses seluruh masyarakat dengan mudah. Karena sesungguhnya, negara adalah pemelihara dan pengatur umatnya, termasuk masalah pendidikan.

Seorang iman (kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadis di atas menjelaskan bahwa negara adalah penyedia pendidikan, termasuk dananya. Sistem ekonomi yang tangguh mengantarkan negara memiliki anggaran cukup besar bagi pendidikan, termasuk mewujudkan guru-guru yang profesional.

Negara mengambil peran penuh dan strategis dalam upaya peningkatan kualitas guru, sehingga polemik dalam rangka peningkatan kualitas guru akan tereliminasi.

Negara juga akan memberikan jaminan dalam mewujudkan para pendidik dan tenaga pendidikan yang berkualitas dan profesional. Dengan kebijakan ini pula jalan menuju terwujudnya generasi cemerlang dan pemimpin peradaban di masa yang akan datang akan bisa dicapai. Wallahua’lam bish-showab.[]

*Pelajar SMA, Alumnus 2020

Comment