Nanik Farida Priatmaja,S.Pd*: Negeri Demokrasi, Keadilan Bagai Mimpi

Opini523 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM,  JAKARTA — Kasus Novel Baswedan yang tengah ditunggu-tunggu sekian lama kini tengah terungkap dengan ditangkapnya para pelaku kasus penyiraman air keras tersebut.

Namun banyak pihak menyayangkan sanksi hukuman penjara yang hanya satu tahun. Faktanya banyak kasus serupa yang mana pelaku mendapatkan hukum dua puluh tahun penjara. Sehingga wajar hal ini mengundang kekecewaan para tokoh dan publik.

Jaksa menuntut dua penyerang Novel Baswedan dengan hukuman pidana selama 1 tahun penjara. Apa alasan jaksa memberikan tuntutan yang dinilai ringan?

Dalam pertimbangan surat tuntutan yang dibacakan jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (11/6/2020), jaksa menyebut kedua terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke bagian wajah Novel. Menurut jaksa, kedua terdakwa hanya ingin menyiramkan cairan keras ke badan Novel.

“Bahwa dalam fakta persidangan, terdakwa tidak pernah menginginkan melakukan penganiayaan berat. Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman cairan air keras ke Novel Baswedan ke badan. Namun mengenai kepala korban. Akibat perbuatan terdakwa, saksi Novel Baswedan mengakibatkan tidak berfungsi mata kiri sebelah hingga cacat permanen,” ujar jaksa saat membacakan tuntutan.

Novel Baswedan Sebut Sidang Kasus Penyerangnya Formalitas Belaka
Jaksa menyebut dakwaan primer yang didakwakan dalam kasus ini tidak terbukti. Oleh karena itu, jaksa hanya menuntut kedua terdakwa dengan dakwaan subsider.

“Oleh karena dakwaan primer tidak terbukti, terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primer. Kemudian kami akan membuktikan dakwaan subsider. Dakwaan subsider melanggar Pasal 353 ayat 2 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP,” tambah jaksa.

Ketika dimintai keterangan seusai persidangan, jaksa mengatakan alasan selanjutnya memberikan tuntutan ringan adalah terdakwa mengakui perbuatannya. Selain itu, kedua terdakwa telah meminta maaf kepada Novel dan keluarga.(Detik.com,11/06)

Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai peradilan yang dilakukan terhadap kedua terdakwa pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan tidak asli.

“Kita bisa menilai kalau sesuatu itu genuine, kalau pengadilannya genuine kita bisa menilai dengan Tekad (tes kadar dungu). Jadi, kalau pengadilannya genuine kita bisa menilai soal logika, soal rasionalitas, dan lain-lain. Kalau kita menilai sesuatu pengadilan yang tidak genuine, kita bisa sesat,” ujarnya.(VIVAnews.com, 14/06)

Kasus Novel Baswedan bukanlah kasus pertama yang mempertontonkan matinya keadilan hukum di negeri ini. Banyak kasus lain yang serupa dengan kategori terkebirinya keadilan hukum yang ternyata bisa dibeli oleh kepentingan pihak lain. Misalnya kasus Ahmad Dani yang sekedar menulis ujaran saja belum menganiaya tapi mendapat hukuman dua tahun penjara. Sangat jauh berbeda jika dibanding kasus tersangka penyiram air keras Novel Baswedan yang hanya mendapat hukuman satu tahun.

Keadilan hukum yang diterapkan di suatu negara pastinya akan mampu terlihat dari cara pengadilan menyelesaikan suatu kasus hukum dan dinilai secara rasional oleh publik. Apalagi kasus yang melanda seorang tokoh penyidik KPK yang digadang-gadang mampu memberantas atau setidaknya mengurangi jumlah korupsi di negeri ini ternyata mendapat perlakuan yang mengenaskan.

Tidak adanya keberpihakan keadilan pada dirinya dan seharusnya memiliki jaminan keamanan bagi dirinya secara pribadi sebagai tokoh “yang ditakuti para koruptor.

Setiap manusia pastinya menginginkan keadilan yang sama di mata hukum. Namun faktanya di negara demokrasi kapitalis keadilan hukum seolah mati saat dihadapkan dengan kepentingan. Hingga muncullah sandiwara-sandiwara yang jauh dari rasionalitas.

Islam dengan syar’inya yang agung ciptaan Sang Maha Adil menyajikan keadilan bagi umat manusia. Hukum Islam akan mampu menjamin keadilan, memberi efek jera dan menebus dosa ketika di akhirat kelak.

Hukum sanksi dalam islam atau uqubat terdiri dari dari hudud, jinayat, dan ta’zir. Hudud adalah sanksi terhadap kemaksiatan yang telah ditetapkan kadarnya oleh syara guna mencegah terjerumusnya seseorang ke dalam tindakan maksiat yang serupa.

Misalnya kasus zina, homoseksual, menuduh berzina, minum khamr, murtad, hirabah atau penyamunan, dan mencuri.

Jinayat adalah sanksi untuk penganiayaan atas badan yang mewajibkan Qishash, atau sanksi (denda) berupa hara. Meliputi kasus pembunuhan, perlukaan/ penganiayaan, mematahkan anggota badan (qath’ul a’dha).

Ta’zir adalah sanksi-sanksi yang disyariatkan, yang dijatuhkan atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak ada had dan kafarat. Khalifah akan menentukan hukuman ta’zir serta bisa pula menyerahkan kepada Qadhi.

Kasus Novel Baswedan masuk kategori jinayat. Pelaku penyiram air keras telah melakukan kecacatan anggota badan korban, yakni mata sebelah kirinya. Maka, jika melenyapkan anggota tubuh yang berjumlah sepasang, maka hukuman yang berlaku adalah qishas. Darah dibayar dengan darah.

Namun apabila keluarga telah memaafkannya maka diyatnya adalah setengah diyat sempurna yaitu 100 ekor unta yang (termasuk sanksi) diringankan (mukhaffafah), dan 100 ekor unta yang 40 ekor diantaranya adalah unta bunting, yakni sanksi yang diberatkan, kemudian 1000 dinar emas dan 12.000 dirham perak.

Hukuman penjara satu tahun untuk kejahatan kriminal berat sangatlah tidak adil.

Hukuman yang berlaku di negeri ini buatan manusia (warisan Belanda) terbukti jauh jika dibandingkan hukum Allah SWT yang telah terbukti berabad-abad masa kejayaan Islam mampu memberikan jaminan keadilan dan keamanan bagi manusia.[]

*Anggota Revowriter

Comment