Nasib Penambak Garam Semakin Buram

Opini500 Views

 

 

 

Oleh : Ummu Aafiyah, A.Md, Jep,

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Petani garam di negeri ini, ibarat telah terjatuh tertimpa tangga pula. Di tengah kerugian besar karena anjloknya harga garam, mereka harus bersiap menghadapi akan masuknya garam impor setelah keputusan pemerintah untuk kembali melakukan importasi.

Menteri perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan, pemerintah memutuskan untuk membuka kran impor garam pada 2021 ini sebesar 3,07 juta ton. Impor terpaksa dilakukan pemerintah karena kebutuhan garam nasional mencapai 4,6 juta ton pada 2021. Sementara stok dari petani garam lokal jauh dari mencukupi.

Menurut Agus dua alasan utama perkaya garam impor adalah garam lokal tak mencukupi kebutuhan nasional, dan kualitasnya dianggap tidak memenuhi standar industri. Selama ini, Indonesia kekurangan garam khususnya untuk industri manufaktur yang belum bisa di penuhi di dalam negeri.

Ironisnya, meski stok garam lokal banyak, tapi pasokan garam untuk sektor industri seperti makanan dan minuman justru kekurangan. Industri makanan dan minuman membutuhkan sekitar 550.000 ton garam yang dipasok dari impor tahun ini, sedangkan kuota impor yang diberikan hanya sekitar 300.000 ton.

Penyebab Utama Polemik Garam

Karut-marut persoalan garam nasional bukan kali ini terjadi. Persoalan tersebut ibarat benang kusut yang tak kunjung dapat terurai. Banyak masalah klasik yang hingga kini belum teratasi secara tuntas. Jika kita coba urai benang kusutnya penyebab utama polemik garam nasional selama ini,
pertama kurangnya komitmen pemerintah terhadap usaha garam nasional.

Hingga kini pemerintah belum memiliki peta jalan pembangunan industri garam nasional yang komprehensif dan operasional. Sehingga, setiap kementrian/lembaga terkait maupun pemerintah daerah seringkali berjalan sendiri-sendiri. Misalnya saja terkait kebijakan penentuan impor garam yang sering tidak sinkron, meskipun sudah diatur dalam undang-undang.

Kedua, rendahnya mutu garam nasional yang sebagian besar dihasikan dari garam rakyat. Mutu garam rakyat sejauh ini belum mampu memenuhi permintaan industri (NaCL>96%) karena proses produksinya yang masih tradisional dan sangat tergantung iklim. Padahal, sebagian besar ( sekitar 80%) konsumsi garam nasional diserap oleh industri.

Sementara itu, ketersediaan industri pengolahan garam untuk menghasilkan garam industri juga masih minim. Akibatny, banyak industri yang lebih memiliki garam impor dibanding garam rakyat karena lebih kompetitif mutu dan harganya.

Ketiga,kompleksnya tatakelola niaga garam nasional yang dinilai tidak berpihak pada petambak garam rakyat. Meski margin perdagangan garam cukup besar tetapi nyatanya keuntungan tidak lebih banyak diperoleh petambak garam, karena jalur distribusi garam yang begitu kompleks.

Di sisi lain, pihak kartel dalam perniagaan garam nasional diduga juga masih dilakukan segelintir importir yang menekan petambak garam hingga titik terendah.

Sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah laut tiga per empat total luas wilayahnya, Indonesia sejatinya bisa menjadi negara teratas produsen garam dunia.

Demi mewujudkan, perlu ada perhatian serius agar benang kusut persoalan garam nasional bisa segera terurai. Terlebih lagi pemerintah sudah seringkali merevisi target swasembada garam nasional.

Pemerintah seharusnya menyadari bahwa penyebab utama kacaunya tatakelola garam karena konsep neoliberal yang di terapkan sistem neoliberal ini telah menghilangkan fungsi pemerintah yang sesungguhnya sebagai pengurus dan pelindung rakyat.

Peran pemerintah tak lebih sebatas regulator dan fasilisator, yaitu pembuat regulasi (bagi kemudahan masuknya korporasi). Bahkan sangat tampak keberpihakan yang begitu besar pada korporasi,sedangkan nasib rakyatnya sendiri diabaikan.

Pada aspek produksi, untuk mengejar target swasembada, alih-alih mensupport para petani agar meningkatkan produksinya, tapi pemerintah justru mendatangkan investor. Termasuk untuk pengelolaan tambak garam pemerintah menyerahkan kepada korporasi.

Berbagai fasilitas, dukungan, bantuan kepada petani lokal sangatlah mini. Padahal untuk meningkatkan kualitas garam lokal menjadi standar industri hanya membutuhkan penambahan teknologi.

Ironisnya pula kehadiran negara melalui BUMN seperti PT.Garam dalam sistem neoliberal bukan pula sebagai peyan bagi rakyat. Namun PT.Garam yang sejatinya perpanjangan tangan negara tak lebih dari koperasi yang ikut berbisnis untuk mengejar keuntungan.

Kelalaian negara di seluruh rantai pengelolaan garam inilah yang menjadi penyebab utama kekarut-marutan dan tidak pernah selesainya masalah. Kebijakan-kebijakan tampak sekedar untuk menggolkan program semata. Bahkan bukan rahasia lag, para pejabat pun turut mengambil keuntungan pribadi dari celah-celah bisnis besar ini.

Bagaimana dalam Pandangan Islam

Untuk mewujudkan pengaturan yang ideal untuk dijalankan oleh negara yang berlandaskan konstitusi Islam yaitu Khilafah. Kunci keidealan tersebut terletak pada keagungan Syariat Islam itu sendiri, serta fungsi Khilafah sebagai pengurus dan pelindung rakyat.

Sebagaimana sabda Rasullah Saw “ Imam(Khilafah) Raa’in ( pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggungjawab terhadap rakyatnya” (HR.Muslim dan Ahmad).

Berdasarkan pada nas ini, maka negara harus hadir secara utuh dalam mengurusi kebutuhan pangan rakyat termasuk pengaturan garam. Mulai dari pengaturan di ranah produksi, distribusi hingga konsumsi. Keberpihakan dan pengurusan Khilafah haruslah 100% untuk melayani hajat seluruh rakyatnya. Karenanya Khilafah akan mengatur sektor produksi sehingga terjamin pemenuhan kebutuhan dalam negeri tanpa bergantung impor serta berdampak pula pada kesejahteraan petaninya.

Di antaranya Khilafah mendorong para petani untuk meningkatkan produksinya, dengan diberikan dukungan mulai dari edukasi dan pengetahuan, pengembangan teknologi, bantuan modal dan sarana produksi bagi petani yang tidak mampu, termasuk infrastruktur pendukung lainnya.

Sementara di aspek distribusi Khilafah akan melakukan pengawasan terus-menerus agar terbentuknya keseimbangan harga secara alami. Selain itu akan menghilangkan semua kondisi dan pihak-pihak yang menyebabkan harga terdistorsi seperti pelaku kartel atau penimbunan stok oleh distributor besar.

Khilafah tidak akan melakukan intervensi harga karena bertentangan dengan syariat Islam. Hal ini disertai dengan penegakkan hukum sanksi yang jelas dan tegas.

Ketika negara hadir secara utuh untuk mengawasi dan melindungi rakyatnya, tidak akan terjadi penguasaan hajat rakyat oleh pihak lain yang mengejar keuntungan sendiri.

Tidak ada privatisasi dan penyerahan kepengurusan SDA kepada pihak swasta. Bahkan rakyat akan terlindungi dari korporasi-korporasi serakah yang ingin mengekploitasikan seluruh sumber daya alam negeri .

Sudah saatnya negeri ini kembali pada Syariah Islam yang berasal dari wahyu Allah. Hanya itulah satu-satunya jaminan akan terselesainya seluruh problematika umat dari krisis. Bahkan dengan penerapan Syariah oleh Khilafah akan mengangkat derajat umat Islam dan bangsa ini kepada keniscyaan dan membawa kesejahteraan yang hakiki bagi seluruh umat.Wallahu a’lam bishawab.[]

 

Comment