Noor Hidayah*: Mimpi Pengentasan Total Kemiskinan Massal di Era Kapitalisme

Opini463 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Kabar ditemukannya “manusia gua” dari Baubau, Sulawesi Tenggara membuat heboh masyarakat Indonesia. Berbagai media sosial melansir berita keberadaan pria paruh baya bernama La Udu ini, yang mengaku sudah 10 tahun tinggal di gua.

Tiap hari La Udu tidur di dalam gua tebing beralaskan dua buah papan selebar badan orang dewasa. Keseharian La Udu memancing ikan dan hasil pancingannya kadang dijual atau ditukar dengan beras. Seluruh aktifitas La Udu dilakukan di dalam gua baik istrahat, memasak dan sebagainya.

Untuk menjumpainya harus menggunakan sampan atau perahu. Dia memilih tinggal di gua karena tidak memiliki rumah dan enggan menyusahkan saudara-saudaranya. (tribunbuton.com).

Potret kehidupan La Udu hanyalah satu dari jutaan fenomena kemiskinan di Indonesia.

Dikutip dari laporan Bank Dunia bertajuk “Aspiring Indonesia, Expanding the Middle Class” yang dirilis pada akhir Januari 2020 lalu, masih ada 115 juta masyarakat Indonesia yang dinilai rentan miskin.

Tingkat kemiskinan di Indonesia saat ini di bawah 10% dari total penduduk. Rerata pertumbuhan ekonomi diprediksi 5.6% per tahun selama 50 tahun ke depan.

Produk Domestik Bruto (PDB) per kapitanya diperkirakan tumbuh enam kali lipat menjadi hampir US$ 4 ribu.

Namun, 115 juta orang atau 45% penduduk Indonesia belum mencapai pendapatan yang aman. Alhasil, mereka rentan kembali miskin (katadata.co.id).

Sementara itu, berdasarkan data BPS persentase penduduk miskin pada September 2019 sebesar 9,22%, menurun 0,19% poin terhadap Maret 2019 dan menurun 0,44% poin terhadap September 2018.

Penurunan persentase ini jumlah penduduk miskin pada September 2019 tercatat sebesar 24,79 juta orang, menurun 0,36 juta orang terhadap Maret 2019 dan menurun 0,88 juta orang terhadap September 2018.

Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eni Sri Hartati, kaum rentan miskin berpotensi langsung ‘goyang’ jika ada perubahan harga kebutuhan seperti BBM, listrik hingga kebutuhan pokok. Yang tadinya rentan akan berubah menjadi miskin.

Begitu juga kaum menengah jika mengenai kebutuhan sekunder, pasti akan ikut terdampak. Eni menilai bantuan sosial (bansos) dan bentuk bantuan lainnya untuk kaum miskin hanya membantu secara angka statistik.

Jadi ketika bansos itu digelontorkan, angka kemiskinan akan turun. Tapi setelah bansos habis, tidak ada subsidi, kemiskinan akan terjadi lagi (cnnindonesia.com).

Berbagai upaya dilakukan Pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan total. Bank Dunia pun merekomendasikan bermacam resep guna mengatasi masalah kemiskinan ini. Pertama, meningkatkan gaji dan tunjangan guru. Di satu sisi, sistem manajemen kinerja guru juga perlu diperbarui.

Memulai sertifikasi ulang guru dan dilakukan secara berkala. Kedua, meningkatkan anggaran kesehatan. Salah satu caranya dengan mengejar sumber pendapatan baru dari peningkatan pajak tembakau dan alkohol.

Banyak fasilitas kesehatan setempat tidak memiliki peralatan yang cukup untuk memberikan perawatan dasar atau layanan utama, bahkan di perkotaan. Kurang dari sepertiga warga miskin, rentan dan menengah yang mengandalkan rumah sakit milik pemerintah. Ketiga, memperluas basis pajak.

Caranya, bisa dengan menurunkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), menaikkan tarif pajak tertentu seperti alkohol, tembakau dan kendaraan, dan lainnya.

Terakhir, menyeimbangkan kembali (re-balancing) transfer fiskal seperti meningkatkan proporsi dana desa dan mengembangkan peraturan baru untuk mengoperasionalkan penyediaan layanan lintas daerah, termasuk mengatasi tantangan pembiayaan.

Selain itu, perlu membangun kapasitas pemerintah provinsi (katadata.co.id). Empat resep Bank Dunia ini diharapkan mampu menjadi solusi pengentasan kemiskinan di Indonesia.

Namun menilik fakta di masyarakat, pengentasan kemiskinan total adalah hal yang mustahil dalam sistem kapitalis. Upaya penurunan angka kemiskinan lebih banyak mengotak-atik angka melalui pembuatan standarisasi/ukuran, bukan menghilangkan kondisi miskin secara nyata, yakni memastikan semua pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Kemiskinan massal adalah kondisi laten akibat kapitalisme.

Yang bisa dilakukan hanya menurunkan angka kemiskinan, bukan mengentaskannya secara total. Mengapa demikian? Karena sistem kapitalis hanya berpihak pada si pemilik kapital/modal besar.

Bagi pihak yang bermodal kecil, meskipun ada peluang, nantinya akan tergilas oleh korporat-korporat besar. Liberalisasi ekonomi di sistem ini menjadikan 10% pengusaha raksasa menguasai 90% kekayaan sumber daya Indonesia; sementara sisa 10% kekayaan diperebutkan oleh 90% rakyat bawah. Apakah ini manusiawi?

Ditambah lagi kebijakan privatisasi yang merupakan sebuah keniscayaan di sistem kapitalis. Bidang-bidang strategis yang seharusnya menjadi tanggung jawab Pemerintah, dialihkan ke swasta. Akibatnya layanan kesehatan,

pendidikan dll menjadi mahal bahkan tak terjangkau oleh masyarakat bawah. Sehingga di era kapitalisme ini, yang kaya akan menjadi semakin kaya, yang miskin akan semakin miskin. Pengentasan total kemiskinan massal di era kapitalisme akan menjadi impian semata.[]

*ASN, Tinggal di Puspitek, Tangsel

Comment