Noor Hidayah, SIP, MPA*: Memotret 100 Hari Kabinet Jokowi

Opini516 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Kabinet Indonesia Maju era Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin telah melewati 100 hari.

Sejak dilantik pada akhir Oktober 2019 lalu, banyak rekam jejak kerja pemerintahan yang menjadi perhatian publik.

Sejumlah gebrakan baru pun telah dilakukan para menteri. Gebrakan tersebut dilakukan sesuai dengan arahan yang disampaikan Presiden Jokowi pada saat pelantikan.

Jokowi menegaskan, tidak ada visi misi menteri, yang ada visi misi Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, setiap kebijakan menteri tidak boleh keluar dari jalur visi misi Kepala Negara.

Jokowi juga mengingatkan para menteri agar bekerja cepat, kerja keras, dan kerja produktif. Menteri diminta tidak melakukan hal monoton dan terjebak pada rutinitas. Jika ada menteri tak serius bekerja, Jokowi mengancam akan mencopot langsung dari jabatannya (liputan6.com).

Berbagai gebrakan yang dilakukan para menteri Kabinet Indonesia Maju pada 100 hari masa kerjanya antara lain yang pertama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim yang mengumumkan kebijakan baru berupa penghapusan Ujian Nasional (UN) dan penggalakan Kampus Merdeka yang merupakan kelanjutan dari konsep Merdeka Belajar.

Sebagai pengganti UN, Nadiem mempunyai model ujian lain yakni asesmen kompetensi. Asesmen kompetensi akan berdasarkan pada numerasi (matematika), literasi (bahasa), dan survei karakter. Kebijakan ini akan mulai berlaku pada 2021 mendatang.

Gebrakan kedua dari Muhadjir Effendi, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Kemanusiaan dan Kebudayaan yang menerapkan program sertifikasi kawin bagi pasangan yang ingin menikah.

Menurut Muhadjir, tujuan dari sertifikasi kawin atau pembekalan pranikah ini merupakan bentuk tanggung jawab negara dalam menyiapkan calon-calon pasangan baru yang akan membangun rumah tangga sehat.

Pembekalan pranikah akan melibatkan kementerian lintas sektor, seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Kementerian Sosial, serta Kementerian Koperasi dan UMKM.

Selanjutnya gebrakan ketiga dilakukan oleh Menteri PAN RB, Tjahjo Kumolo yang akan menghapus tenaga honorer di jajaran instansi pemerintah.

Tjahjo mengungkapkan, penghapusan tenaga honorer bertujuan mewujudkan visi Indonesia Maju. Selain itu, penghapusan ASN tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK (turunan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara), di mana status kepegawaian pada Instansi pemerintah hanya ada 2 yaitu PNS dan PPPK.

Gebrakan keempat diluncurkan oleh Erick Thohir, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Belum sebulan menjabat sebagai Menteri BUMN, Erick langsung mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pemberhentian eselon I Kementerian BUMN. Tujuh orang yang menjabat eselon I digeser ke posisi dewan direksi di sejumlah perusahaan BUMN.

Selain pemangkasan eselon I Kementerian BUMN, Erick juga merombak jajaran direksi dan komisaris perusahaan plat merah. Perombakan dimulai dari PT Pertamina (persero).

Erick menunjuk Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjadi Komisaris Utama Pertamina. Kemudian, Erick mengangkat Royke Tumilaar sebagai Direktur Utama PT Bank Mandiri. Royke menggantikan Kartika Wirjoatmodjo yang sebelumnya telah dilantik sebagai Wakil Menteri BUMN.

Erick memilih mantan Menteri Keuangan Republik Indonesia Periode 2013-2014, Muhammad Chatib Basri sebagai Wakil Komisaris Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.

Untuk posisi Komisaris Utama PLN, Erick menunjuk Amien Sunaryadi. Sementara Zulkifli Zaini sebagai Direktur Utama PLN.

Sepak terjang keduanya selama ini menjadi alasan Erick Thohir menunjuk mereka memimpin perusahaan listrik milik negara tersebut.

Erick kemudian mengangkat mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra Hamzah sebagai Komisaris Utama Bank Tabungan Negara (BTN).

Sementara Pahala N Mansury menjadi Direktur Utama BTN. Pahala sebelumnya adalah Direktur Keuangan Pertamina (persero), yang kini diisi oleh Emma Sri Martini yang merupakan mantan Direktur Utama Telkomsel.

Erick mengatakan, Chandra Hamzah memiliki latar belakang mumpuni di bidang hukum. Untuk itulah, dirinya tertarik mengajak Chandra Hamzah bergabung di perusahaan pelat merah (liputan6.com).

Sementara itu dari kalangan masyarakat, banyak yang menilai bahwa kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf tidak memberikan sinyal positif.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, menyorotinya dari sisi penegakan hukum. Dia menuturkan bahwa pemerintahan Jokowi jilid dua ini akan berjalan sama saja dengan era kepemimpinannya di periode pertama, di mana kekuasaannya cenderung kurang memperhatikan kepentingan rakyatnya.

Lebih lanjut menurutnya, selama 100 hari perjalanan pemerintahan Jokowi ini, komitmen penuntasan kasus HAM di masa lalu tidak juga kunjung menemukan titik terang. Skenarionya tetap sama, ada hukum yang represif dan ada pembungkaman sipil demi kelancaran investasi orang-orang tertentu.

Tak hanya itu, Asfinawati juga menyinggung terkait Omnibus law. Omnibus law adalah sebuah konsep pembentukan undang-undang utama untuk menyasar isu besar dan dapat mencabut atau mengubah beberapa UU. UU ini dimaksudkan untuk merampingkan regulasi dari segi jumlah.

Asfinawati berpandangan, Omnibus law semakin memperjelas adanya hukum yang represif, terlihat dari sulitnya masyarakat sipil untuk mengakses dokumen tersebut.

Sementara Pendiri Lokataru Foundation, Haris Azhar, menilai bahwa selama perjalanan 100 hari ini, kinerja Jokowi-Ma’ruf dinilai masih buruk.

Senada dengan Asfinawati, ia menyebut Jokowi belum terlihat ingin menuntaskan pelanggaran HAM yang ada di Indonesia ini.

Dalam periode kedua ini justru timbul kasus-kasus baru, terutama munculnya Undang-Undang KPK hasil revisi.

Ahli Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti pun memberi nilai di bawah 5 untuk kinerja Kabinet Jokowi.

Bivitri menjelaskan ukuran yang dipakai dalam penilaian tersebut adalah soal pemberantasan korupsi dan soal wacana mengenai hukum yang hanya dipenuhi sebagai regulasi.

Bivitri menyampaikan bahwa di 100 hari Pemerintahan Jokowi, kedua persoalan tersebut masih belum terselesaikan. Bivitri juga menambahkan, jika ada satu kasus pun terkait skandal dalam pemerintahan yang menurutnya menganggu rasa keadilan masyarakat dan prinsip negara hukum, maka sebenarnya sudah patut sekali pemerintah itu dikritik (tribunnews.com).

Tak hanya dari sisi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, permasalahan di bidang lain pun tak kunjung usai, bahkan kian merebak. Sebut saja utang BPJS Kesehatan yang terus menunggak dan kenaikan premi yang menuai protes.

Berikutnya kasus karhutla, impor pangan, disintegrasi, keamanan, kasus Jiwasraya, Asabri, Taspen dan berbagai masalah lainnya (muslimahnews.com).

Dari sini, mampukah Kabinet Jokowi menyelesaikannya dalam periode 4 tahun lebih mendatang? Kabinet yang sesuai slogannya diharapkan mampu memajukan Indonesia, berani mengambil kebijakan yang berpihak pada rakyat; berani melawan dominasi kapitalis baik Timur maupun Barat; menolak segala bentuk liberalisasi ekonomi yang membuat negeri ini bagaikan ayam mati di lumbung padi.

Sesungguhnya, keberanian melawan ideologi kapitalismelah yang dibutuhkan negeri ini. Bukan hanya mereformasi birokrasi, tapi juga merevolusi sistem yang melingkupi.

Meski menteri diganti jika sistemnya sama, tak akan banyak perubahan yang terjadi. Birokrasi tak akan bersih dari korupsi, sebab sistem kapitalisme sendiri membuka celah korupsi.

Bila sistem ekonominya masih kapitalis liberal, Indonesia maju hanya akan menjadi harapan semu. Penguasa kekayaan alam dan ekonomi tetap menjadi milik kapitalis. Para pemodal yang menguasai hajat kehidupan.

Bila sistem sosial masyarakatnya masih menganut paham sekular, generasi unggul dan berkualitas hanya berhenti di atas kertas.

Bagaimana mungkin lahir generasi mulia dan beradab, sementara agama dijauhkan dari kehidupan manusia? Walhasil, wajah Indonesia tak akan jauh berbeda dari sebelumnya. Bahkan bisa jadi lebih parah.

Maka dari itu, mengatasi problem negara tak cukup ganti kepala atau pembantu saja. Harus ada perubahan mulai dari paradigma hingga sistem sebagai sumber kebijakan.

Islam sebagai sebuah sistem kehidupan, menawarkan jalan revolusi dari filosofi hingga birokrasi. Islam memiliki seperangkat aturan yang berfungsi sebagai solusi hakiki. Islam tidak hanya mementingkan kelompok tertentu, tapi fokus pada kepentingan rakyat banyak.

Pemerintah di dalam Islam berperan sebagai penjaga dan penjamin kesejahteraan. Sehingga, penegakan hukum betul-betul diberlakukan demi terlindunginya keamanan dan kepentingan masyarakat. Kemajuan negeri yang diidamkan pun akan terwujud. Wallahu a’lam bi ash shawwab.[]

*ASN, tinggal di PUSPIPTEK-Tangsel

Comment