Pajak Sembako Dan Ekonomi Islam

Opini517 Views

 

 

Oleh: Ummu Aqila Sakha, S.E.I, Aktivis Pemerhati Ekonomi

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Pemerintah berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), termasuk untuk bahan pokok (sembako), menjadi 12 persen.

Rencana pengenaan PPN tercatat dalam Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Disebutkan dalam dokumen tersebut, tarif PPN diusulkan naik menjadi 12 persen dari yang sebelumnya hanya 10 persen.

Pemerintah mengklaim bahwa rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen itu dilakukan sejalan dengan tren global di mana PPN menjadi salah satu struktur pajak yang makin diandalkan.

Rencana perubahan PPN tersebut tidak terlepas sebagai bagian upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara di tengah pandemi Covid-19.

Dalam satu rapat dengan komisi XI DPR, seperti dikutip bisnis.com (10/6/2021),  Menteri Keuangan Sri Mulyani berkomentar soal rencana kenaikan PPN.

“Kami melihat PPN jadi sangat penting dari sisi keadilan atau jumlah sektor yang tidak dikenakan atau dikenakan.”

Rencana pemerintah ini menjadi polemik dan ramai mendapatkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat.

Mengutip dari detik.com (13/6/2021) Sosiolog dari Universitas Nasional, Sigit Rohadi, mengatakan kebijakan pemerintah ini bisa memberikan dampak sosial ke masyarakat.

Sigit lantas mengungkap fakta di mana masyarakat yang berada di garis kemiskinan dan turun di bawah garis kemiskinan menghabiskan 60-70 persen pendapatannya untuk kebutuhan pokok.

Dengan demikian, jika pajak dikenakan pada bahan pokok tersebut, kualitas hidup masyarakat akan menurun.

“Kalau barang-barang kebutuhan pokok dikenai pajak, tentu pengeluaran untuk kebutuhan pokok akan berlipat-lipat sehingga mereka akan tidak mampu memenuhi kebutuhan barang sekunder atau tersier. Kalau itu (pajak) betul diterapkan bisa dipastikan kualitas hidup masyarakat yang lapisan bawah akan semakin menurun, angka kemiskinan akan meningkat lebih cepat dibandingkan periode periode sebelumnya,” ucapnya.

Selain itu, penolakan pun datang dari Ketua MPR RI Bambang Soesatyo yang meminta Kementerian Keuangan membatalkan rencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap sektor sembako dan pendidikan.

Menurutnya, wacana ini tak hanya bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, akan tetapi juga sangat berkaitan dengan naik turunnya inflasi.

“Pengenaan pajak PPN, otomatis akan membuat harga sembako maupun pendidikan naik tajam. Pada akhirnya akan menaikkan inflasi Indonesia. Rata-rata per tahunnya, dari kondisi harga beras saja bisa menyumbang inflasi mencapai 0,13%. Tidak bisa dibayangkan bagaimana jadinya apabila sembako, terutama beras, akan dikenakan PPN,” ujar Bamsoet dalam keterangannya, Minggu (detik.com 13/6/2021).

Penolakan tegas akan wacana ini juga disampaikan oleh dua organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Sungguh ironi, di tengah kondisi pandemi yang belum juga usai, pemerintah justru berencana mengenakan pajak sembako. Seolah tidak ada alternatif lain untuk memulihkan ekonomi dan meningkatkan pendapatan negara.

Berhutang dan terkadang dengan mencetak mata uang menjadi solusi pintas yang mampu sistem kapitalisme berikan untuk mengatasi defisit anggaran.

PPN terhada sembako akan berdampak meningkatnya harga pangan, mengancam ketahanan pangan hingga akan mempengaruhi perekonomian Indonesia secara keseluruhan karena terjadi impact terhadap konsumsi masyarakat.

Pengenaan PPN sembako dapat mengancam ketahanan pangan terutama masyarakat berpendapatan rendah. Perlu dicatat bahwa lebih dari sepertiga masyarakat indonesia tidak mampu membeli makanan bernutrisi karena harganl yang mahal.

Bila rencana PPN l tersebut diimplementasikan, maka 12 bahan pokok akan terkena pajak seperti beras, gabah, daging, jagung, telur, kedelai, gula, sagu, garam, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.

Kondisi ini akan semakin menambah penderitaan rakyat dan meningkatkan angka kemiskinan.

Ekonomi Islam sebagai solusi

Tentu hal ini berbeda dengan Islam yang memiliki aturan khas dan jelas dalam pengelolaan ekonomi. Masalah keuangan negara hari ini akan sangat mudah diselesaikan jika negeri ini mau mengambil  strategi ekonomi yang diatur syariat Islam secara sempurna.

Konsep ekonomi Islam terdapat tiga pos pemasukan yang tetap dalam Baitul mal yaitu, Pos Kepemilikan Negara, Pos Kepemilikan Umum dan Pos shodaqoh.

Pos kepemilikan negara berasal dari harta seperti usyur, fa’i, ghanimah, kharaj, jizyah dan lain sebagainya. Harta ini digunakan secara khusus untuk mengatur kepentingan kaum muslimin serta kemaslahatan mereka sesuai pendapat dan ijtihad khalifah.

Selain itu, dalam pengelolaan ekonomi dan meningkatkan pendapatan,  negara melakukan optimalisasi pengelolaan SDA secara mandiri.

Hasil pengelolaan ini sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan negara dan mensubsidi kebutuhan rakyat seperti pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur bahkan pembiayaan dikala pandemi.

Model pengelolaan ini menjadi salah satu pos pemasukan Baitul Mal yakni pos kepemilikan umum.

Sedangkan pos shodaqoh terdiri dari zakat uang dan perdagangan yang meliputi  zakat emas, zakat perak, zakat ternak, zakat pertanian, zakat perdagangan.

Tiga pos ini mendistrubusikan harta Baitul Mal dengan bertumpu pada sektor produktif. Baitul Mal selalu mengalir karena tidak terjerat hutang ribawi.

Istilah pajak dalam fiqih Islam dikenal dengan sebutan dharibah. Al-Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum mendefinisikan sebagai harta yang diwajibkan Allah kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal. ” (al amwal fi Daulati al-khilafah hal.129).

Dalam Islam, pajak (dharibah) bersifat instrumental dan insidental. Bersifat instrumental, karena Islam menetapkan kepada kaum muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan ketika dana di Baitul Mal kosong.

Karena itu, ini menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara dan dibebankan hanya kepada umat islam yang mampu.

Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap, tergantung kebutuhan yang dibenarkan syara’ untuk mengambilnya.

Demikianlah pengaturan dan pengelolaan ekonomi dan pemasukan negara di dalam Islam tanpa menjadikan pajak sebagai pemasukan tetap bagi negara sebagaimana di negara yang menerapkan sistem kapitalis-sekuler.

Negara yang menerapkan sistem Islam akan memiliki kemandirian, kedaulatan, serta mampu memberikan kesejahteraan dan kemaslahatan kepada seluruh rakyatnya.

Hanya dengan sistem Islam semua permasalahan yang ada bisa teratasi, baik dalam bidang perekonomian, pendidikan, politik, sosial budaya dan lain sebagainya. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surat Thaha ayat 124, “Siapa saja yang berpaling dari perintahku, sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit”. Wallahu a’lam.[]

Comment