Parliamentary Threshold Tak Efektif untuk Sederhanakan Partai Politik

Politik184 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Wacana menaikan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen menjadi 7 persen dinilai tak efektif menyederhanakan jumlah partai di parlemen. Sebagai bukti jumlah partai yang lolos ke parlemen pada Pemilu 2009 dan 2014.

Heroik M. Pratama, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan penetapan ambang batas parlemen tidak akan efektif di negara yang menganut sisetm multi partai. Hal tersebut berdasarkan indeks effective number of parliamentary parties (ENPP).

“Ketentuan ini mengategorikan sistem multipartai di parlemen, yaitu multipartai sederhana (1-5 partai) dan ekstrem (di atas 5),” katanya, Minggu (28/6).

Dia mencontohkan pada Pemilu 2009. Pada Pemilu tersebut jumlah partai politik (parpol) yang lolos ke parlemen sebanyak sembilan dari 38 parpol peserta. Saat itu, ambang batas parlemen yang ditetapkan yaitu 2,5 persen.

“Nyatanya sistem kepartaian kita tetap multipartai ekstrem. Indeks ENPP yaitu 6,6 (persen),” katanya.

Selanjutnya, Pemerintah dan DPR sepakat menaikkan ambang batas parlemen pada Pemilu 2014 menjadi 3,5 persen. Namun, kenaikan ambang batas tersebut justru membuat parpol yang lolos ke DPR bertambah menjadi 10 parpol.

“Sekalipun ada 10 partai di parlemen tapi partainya tetap multipartai ekstrem. Indeksnya ENPP 8,2,” ungkap dia.

Upaya penyederhanaan parpol di parlemen kembali dilakukan pada Pemilu 2019 dengan menaikkan ambang batas parlemen menjadi empat persen. Namun, jumlah partai dan indeks ENPP tidak berkurang signifikan.

“Pada 2019, jumlah peserta yang lolos ke parlemen sebanyak sembilan parpol. Sementara indeks ENPP 7,2,” ujar dia.

Terkait ambang batas tersebut, Fadli Ramadhanil yang juga peneliti Perludem mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, besaran angka ambang batas parlemen harus dirumuskan secara terbuka.

“Kita tidak akan memohon ke MK untuk menghilangkan ambang batas parlemen tetapi hitung besaran ambang batas parlemen itu harus dilakukan dengan rumusan yang terbuka,” katanya.

Dituturkannya, peserta pemilu dan semua pemangku kepentingan harus paham rumusan mana yang digunakan pembentuk undang-undang untuk menentukan angka ambang batas parlemen. Sebab, hal itu akan sangat berpengaruh pada proporsionalitas hasil pemilu.

“Problemnya sekarang besarannya berapa nah ini yang tidak pernah dibuka kepada kita dan tidak pernah dirumuskan secaa fair besaran 4 persen ini datangnya dari mana. Setelah dicek dari hasil pemilunya ternyata besaran angka yang ditetapkan ini justru menimbulkan disproporsionalitas hasil pemilu,” tuturnya.

Oleh sebab itu, Perludem ingin ada sistem Pemilu yang proporsional. Fadli menyebutkan asas jujur dan adil di pasal 22 (E) ayat 1 UU Pemilu. Menurutnya dua hal itu penting dan berkorelasi terhadap keadilan dari setiap pemilu, serta keadilan juga dari pemilih yang memberikan hak suaranya.

Sehingga, menurutnya, penting bagi MK untuk memeriksa besaran ambang batas parlemen empat persen di dalam UU Pemilu 7 tahun 2017. Serta harus dibuka rumusan mana yang digunakan.

“Sehingga ini memberikan keadilan dan konsistensi terhadap sistem penyelenggaraan pemilu dan juga memberlakukan peserta pemilu dan warga negara scara sama,” katanya.

Sebelumnya, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra tak setuju dengan menaikan ambang batas. Sebab hal tersbeut justru akan membuat semakin banyak suara sah pemilih yang terbuang.

Yusril justru mengusulkan agar parpol melakukan koalisi sebelum pemilu digelar. Dijelaskannya, koalisi partai tersebut terdiri dari empat partai politik dan tidak diintervensi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Kemudian, dalam pemilu nantinya koalisi partai memiliki nama dan berada dalam satu nomor urut agar dapat lolos ambang batas parlemen.

“Jadi mengatasi ini, partai-partai diberikan kesempatan untuk berkoalisi maju dalam pemilu, baik partai yang mencapai parliamentary threshold dan tidak mencapai PT, sepanjang partai itu setelah verifikasi dinyatakan bisa mengikuti pemilu,” ujarnya.

Yusril mencontohkan, partai-partai Islam bergabung membentuk satu koalisi dengan nama “Koalisi Keumatan”. Kemudian, jika dalam pemilu koalisi tersebut berhasil melewati ambang batas parlemen, maka partai-partai tersebut dinyatakan lolos ke parlemen.

“Misalnya, partai-partai Islam di luar PKB ya, ada PKS, PAN, PPP, dan PBB ini campuran ada yang lolos dan ada yang tidak. Nah, demi umat Islam, kami gabung satu ‘Koalisi Keumatan’. Nah, kalau mereka bergabung dan pemilu menembus 4 persen ya sudah mereka dilantik,” ucapnya.

Menurut Yusril, gagasannya koalisi partai sama dengan semangat parpol di DPR yang ingin ada penyederhanaan fraksi.

“(Koalisi partai) pun terjadi proses penyederhanaan partai politik dengan cara yang soft dan tetap menghargai Demokrasi dan tidak main paksa dengan UU yang sekarang,” pungkasnya. (gw/zul/fin/sumber)

Comment