Penulis: Nurul Fahira | Mahasiswi Psikologi
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Pelecehan seksual, kini semakin marak terjadi. Tidak memandang bulu, apakah perempuan atau laki-laki. Baik yang sudah berusia tua ataupun yang masih berusia muda, semuanya memungkinkan menjadi pelaku, maupun korban.
Menurut Sentraltimur (05/04/2024), dikatakan bahwa telah terjadi pelecehan seksual yang dialami oleh mahasiswi Unpatti dengan pelakunya adalah seorang dosen. Dilaporkannya kasus ini kepada pihak kepolisian terkait adalah pada 3 April 2024.
Sungguh miris bukan? Dosen yang seharusnya mengayomi dan juga memberi contoh yang baik untuk mahasiswanya malah terlibat dalam skandal pelecehan seksual.
Tidak cuma sampai disitu, terjadi pula kasus Ayah mencabuli anak kandungnya sendiri di Jakarta Timur. Bahkan ini lebih menyayat hati. Tidak tahu apa yang ada di pikiran sang ayah sampai begitu tega mencabuli anak kandungnya sendiri. Dan terakhir, dilaporkan bahwa seorang dokter telah dipecat, lantaran diduga lakukan pelecehan seksual pada istri pasien (KompasTv, 01/03/2024).
Dengan modusnya adalah, sang dokter membius istri pasien yang tengah hamil dan sedang menjaga suaminya yang sakit.
Dilansir dalam CATAHU (Catatan Tahunan) 2023, tercatat kasus-kasus pelecehan seksual non-fisik dan fisik semakin banyak dilaporkan dibandingkan pemerkosaan.
Kalau kita lihat pada detiknews, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat ada 401.975 kasus kekerasan sepanjang 2023.
Ketua Umum Kowani (Komnas Wanita), Giwo Rubianto Wiyogo mengatakan bahwa penting untuk memberikan upaya pencegahan sedini mungkin dengan memberikan pendidikan seksual yang tepat pada anak secara bertahap sesuai dengan usia (Antaranews, 06/04/2024).
“Segera laporkanlah kepada RT/RW atau tokoh setempat maupun pihak kepolisian, jangan sampai ada pengabaian dari masyarakat walaupun masalah internal jika diabaikan akan masuk ke ranah hukum dan ada sanksinya,” lanjutnya.
Wakil Ketua KPAI (Perlindungan Anak Indonesia), Jasra Putra berharap penuh kepada Kepolisian sebagai garda terdepan penegakan hukum kejahatan seksual pada anak, tegak lurus memperhatikan TR Kapolri terkait pelaksanaan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, mengingatkan kita bahwa pelaku kekerasan seksual bila dilakukan orang terdekat, maka akan mendapatkan hukuman maksimal (Antaranews, 04/04/2024).
Pasal 281 KUHP menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan cabul di muka umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun empat bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perbuatan cabul di sini mencakup segala bentuk tindakan pelecehan seksual, mulai dari pelecehan verbal, perbuatan tidak senonoh, hingga pelecehan fisik.
Beginilah kondisi yang terjadi di negeri kita, silih berganti terjadi hal-hal yang memilukan dan seharusnya tidak perlu terjadi. Orang-orang bebas memuaskan nafsu bejatnya kepada mereka yang notabenenya pihak yang ‘lemah’ dan mudah dikendalikan.
Menurut Cnnindonesia, ada banyak yang menyebabkan terjadinya pelecehan seksual ini. Seperti faktor dari dalam dirinya, maupun dari lingkungannya.
Mereka yang menjadi pelaku ini terkadang dibutakan oleh fantasi seksualnya yang tidak tersalurkan, sehingga merasa harus disalurkan bagaimanapun caranya, bahkan dengan orang yang sedarah dengannya.
Selain itu juga kurangnya pemahaman tentang pendidikan seksual, kurangnya ketaqwaan individu dan juga sanksi yang dinilai kurang tegas dalam mengatasi kasus pelecehan seksual.
Pelecehan tidak mesti sampai kepada berhubungan badan.
Namun, hanya sebatas catcalling (bersiul atau memberikan kata-kata tidak senonoh kepada korban) saja juga sudah termasuk ke dalam ranah pelecehan seksual.
Tahun 2018 lalu, Jakarta termasuk dalam daftar kota yang tidak aman bagi wanita, khususnya dalam hal pelecehan dan kekerasan seksual. Kota yang sudsh lumayan maju tapi apa yang terjadi di dalamnya tidak semaju seperti kotanya.
Lingkaran setan ini kerap terjadi. Mulai dari sang korban yang dilecehkan ini merasa orang lain juga harus merasakan apa yang ia rasakan, sehingga ia tumbuh dengan pemikiran bahwa ia juga harus melakukan pelecehan seperti yang ia dapatkan sebelumnya.
Atau bisa juga korban merasa depresi atas apa yang terjadi pada dirinya, lalu lingkungan tidak menerima kondisinya, dan pada akhirnya ia lebih memilih untuk bunuh diri akibat tidak tahan dengan perlakuan yang ia terima dari lingkungannya.
Hal yang menjengkelkan, pelaku pelecehan seksual dihukum secara tidak adil. Setelah dipenjara beberapa tahun, lalu dibebaskan, dan ia lanjut mencari korban selanjutnya. Tidak pernah jera. Tidak pernah tegas.
Padahal islam sudah membentengi tiap-tiap pemeluknya dengan sempurna. Mulai dari menutup aurat secara syar’i, membatasi pergaulan antara laki-laki dan perempuan, tidak adanya campur baur yang tidak penting (ikhtilat), dan juga tidak dibolehkannya berdua-duaan dengan yang bukan mahram.
Peran masyarakat juga sangat terlihat, yang mana apabila ada yang terlihat bedua-duaan, bercampur baur dengan alasan tidak syar’i dan juga tidak menutup aurat secara syar’i akan dilakukan yang namanya amar ma’ruf.
Masyarakat tidak acuh terhadap apa yang dilakukan saudara seimannya. Tidak apatis terhadap sekitar, tetangga dan juga lingkungannya, dan juga saling mengingatkan akan apa yang sudah diperintahkan oleh Allah.
Tidak cukup sampai di situ, karena tidak hanya individu dan masyarakatnya saja yang dilatih untuk membentengi diri, namun juga pihak negara men-support apa yang sudah dilakukan oleh individu dan masyarakatnya.
Negara sebagai pemegang penuh kekuasaan, mengatur sistem pendidikan sedemikian rupa, agar terciptanya ketaqwaan individu. Termasuk di dalamnya tentang bagaimana edukasi interaksi antara lawan jenis dan hukummya di dalam islam.
Bahkan juga urusan dalam keluarga terkait satu ranjang dengan saudara yang berbeda jenis kelaminnya juga diatur oleh negara. Selain itu, negara juga mengontrol peredaran adanya tontonan yang tidak memberi tuntunan, seperti film-film porno dan mengumbar aurat yang saat ini marak beredar bahkan di smartphone kita sendiri.
Apabila itu dibiarkan bebas, gharizah nau’ muncul akibat tontonan yang merusak generasi tersebut. Menjadi liar dan ingin meluapkan nafsu sebanyak-banyaknya. Di sinilah peran negara bekerja.
Selain itu, negara juga menghukum tegas pelaku perzinahan. Mereka yang belum menikah akan didera atau dicambuk sebanyak 100 kali di hadapan masyarakat. Sedangkan bagi yang sudah menikah akan dirajam sampai mati. Hal ini disaksikan oleh banyak orang.
Inilah yang menjadikan hukum islam itu adil. Sebab, mereka yang menjadi pelaku akan dihukum di dunia sesuai perintah Allah dan nantinya tidak akan dihukum kembali tentang perzinahannya di akhirat kelak oleh Allah.
Sanksi ini pasti membuat jera. Bagaimana tidak? Masyarakat yang sudah melihat langsung proses hukumannya tak akan sanggup untuk melakukan hal yang serupa. Benar saja, dalam masa kekhilafahan, hanya ada sekitar ±300 kasus di masyarakat selama ±14 abad islam memegang kekuasaan. Tentu saja termasuk di dalamnya kasus perzinahan, pemerkosaan, dan lain sebagainya.
Inilah bukti, bahwa penerapan sistem dan hukum saat ini, hanya akan menambah daftar panjang korban pelecehan seksual dan korban-korban dalam kasus lainnya. Karena memang, penerapan sistem kapitalis-sekuler yang hanya mengutamakan asas keuntungan, semua bisa dibeli dengan uang. Bahkan nantinya jatah masa tahanan juga bisa dibeli oleh uang mereka.
Padahal sudah ada bukti nyata tentang sedikitnya kasus kejahatan yang terjadi selama islam memimpin dunia.[]
Comment