Perayaan Seremonial, Kemerdekaan Hanya Sebuah Angan

Opini588 Views

 

 

Oleh; Naimatul Jannah, Ibu Rumah Tangga Asal Ledokombo, Jember

________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Bulan Agustus merupakan bulan yang istimewa bagi bangsa Indonesia. Pasalnya di bulan tersebut ikrar kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Berbagai kegiatan pun digelar oleh masyarakat untuk memperingati hari bersejarah ini.

Masyarakat Indonesia memiliki cara tersendiri untuk merayakan sekaligus mengenang perjuangan para pahlawan. Banyak hal yang masyarakat lakukan mulai dari mengadakan kegiatan kerja bakti lingkungan.

Mulai dari anak-anak hingga orang tua turut meramaikan. Pemasangan umbul-umbul dan bendera merah putih pun sudah seperti tradisi yang tidak dapat terlewat saat perayaan kemerdekaan.

Bagaimana tidak, di jalan umum hingga rumah-rumah warga pun tampak indah berwarna warni karena dihiasi umbul-umbul dan bendera merah putih beserta pernak-perniknya. Begitu pula lomba makan kerupuk, balap karung, mengambil belut, memasukkan paku dalam botol, dan lain sebagainya membuat suasana peringatan hari kemerdekaan menjadi semakin meriah.

Tidak hanya anak-anak yang senang mengikuti kegiatan ini, bahkan ibu-ibu dan bapak-bapak tidak kalah antusiasnya. Ditambah melakukan karnaval dan festival yang menampilkan has kemerdekaan serta yang menjadi puncak untuk memperingati momen bersejarah ini adalah dengan melakukan upacara dan pengibaran bendera merah putih.

Namun ketika masyarakat dengan suka cita merayakan hari kemerdekaan ini, ada pertanyaan terselip yang sering kita dengar, apakah bangsa ini sudah benar-benar merdeka?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, ada berbagai definisi atau arti dari kata merdeka. Arti ketiga dari merdeka adalah tidak terikat, tidak bergantung pada pihak atau orang tertentu, dan leluasa.

Secara yuridis, Indonesia sudah merdeka dari penjajahan bangsa luar dengan adanya pengakuan secara De Facto dan De Jure. Bangsa luar sudah mengakui kalau Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.

Tanggal tersebut sudah menjadi ulang tahun Indonesia yang wajib dirayakan. Namun, apakah rakyat Indonesia semuanya telah menghirup iklim kemerdekaan? Betulkah rakyat Indonesia sudah merdeka berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945?

Perlu kita menghela nafas dan menjawabnya kalau belum, problem tersebut masih menjadi PR besar bangsa kita. Nyatanya, penerapan nilai-nilai Pancasila belum merata sampai di pelosok negeri ini. Taruhlah misalnya poin kelima dari Pancasila, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Pada faktanya, masih banyak rakyat yang hidup di atas jurang kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia turun tipis sebanyak 0,04% dari 27,55 juta pada September 2020 menjadi 27,54 juta.

Angka tersebut naik jika dibandingkan dengan Maret 2020 sebesar 4,2%. Masih tingginya angka kemiskinan Indonesia disebabkan pandemi Covid-19 yang masih melanda Indonesia. Berdasarkan persentase, penduduk miskin Indonesia sebesar 10,14% pada Maret 2021.

Angka ini hanya turun 0,05% dibandingkan dengan September 2020 yang sebesar 10,19%. Sementara jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya meningkat 0,36% dari 9,78%. perlakuan hukum secara adil nilainya nihil, dan pendidikan yang berkualitas juga belum merata, apalagi dimasa pandemi banyaknya anak yang putus sekolah.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menyebut, jumlah anak putus sekolah cukup tinggi selama pandemi Covid-19. Hal itu disampaikan Retno berdasarkan hasil pemantauan KPAI di berbagai daerah.

Lalu, apakah itu yang dinamakan merdeka yang sesuai dengan ‘sila berkeadilan’.

Ataupun contoh lain, kesehatan masyarakat yang tidak stabil, serta isu SARA yang kadang menjadi senjata untuk memecah belah persatuan. Jadi, jelas problem tersebut menjadi virus dari tujuan dan nilai-nilai Pancasila.

Banyak yang menjadikan Pancasila hanya sebagai tameng merauf kekuasaan. Menjadikan Pancasila tampak seperti museum mati yang sering diagung-agungkan, namun kenyataannya tidak sesuai dengan perkataan dan perbuatan.

Memperingati kemerdekaan hanya sebatas aktivitas rutin yang tidak meninggalkan bekas dalam konteks mental patriot dan kepahlawanan.  Kemerdekaan bak angan-angan tanpa upaya ada kemauan mewarisi nilai nilai perjuangan yang diwariskan para pahlawan.

Makna merdeka secara hakiki dapat dilihat saat Rib’iy ibn ‘Amir, utusan Sa’ad ibn Abi Waqqosh (rodhiyallahu’anhu), dengan pakaian yang sangat sederhana menghadapi Rustum -Jenderal Persia- dengan segala kemewahannya, ketika hendak masuk, mereka meminta Rib’iy menanggalkan senjatanya. Rib’iy menjawab :

إِنِّي لَمْ آتِكُمْ فَأَضَعُ سِلاحِي بِأَمْرِكُمْ، أَنْتُمْ دعوتموني، فان ابيتم ان آتيكم كما اريد رَجَعْتُ.

“Sesungguhnya aku mendatangi kalian bukan untuk meletakkan senjataku karena perintah kalian, kalian yang telah mengundangku, jika kalian tidak menerima kedatanganku sebagaimana yang aku kehendaki, aku akan kembali pulang”

Akhirnya bertemulah Rib’iy dengan Rustum, ketika Rustum bertanya :
“Apa yang membuat kalian datang kemari ?”

Rib’iy ibn ‘Amir menjawab :

اللَّهُ ابْتَعَثَنَا لِنُخْرِجَ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ إِلَى عِبَادَةِ اللَّهِ، وَمِنْ ضِيقِ الدُّنْيَا إِلَى سِعَتِهَا، وَمِنْ جَوْرِ الْأَدْيَانِ إِلَى عَدْلِ الْإِسْلَامِ.

“Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan siapa saja yang Dia kehendaki dari penghambaan terhadap sesama hamba kepada penghambaan kepada Allah, dari kesempitan dunia kepada keluasannya, dari kezholiman agama-agama kepada keadilan Islam.”

Kemudian mereka berdiskusi. Setelah pulangnya Rib’iy, Rustum mengumpulkan para petinggi kaumnya kemudian berkata :

“Pernahkah kalian melihat (walau sekali) yang lebih mulia dan lebih benar dari perkataan lelaki ini ?”

Mereka menjawab :
“Kami meminta perlindungan Allah dari (supaya engkau tidak) terpengaruh kepada sesuatu dari (ajakan) ini dan dari menyeru agamamu kepada (agama) anjing ini. Tidakkah engkau melihat kepada pakaiannya ?”

Rustum menjawab :

وَيْلَكُمْ لَا تَنْظُرُوا إِلَى الثِّيَابِ، وَانْظُرُوا إِلَى الرَّأْيِ وَالْكَلَامِ وَالسِّيرَةِ. إِنَّ الْعَرَبَ يَسْتَخِفُّونَ بِالثِّيَابِ وَالْمَأْكَلِ، وَيَصُونُونَ الْأَحْسَابَ.

“Celaka kalian ! Janganlah kalian melihat kepada pakaian. Akan tetapi lihatlah kepada pendapat, perkataan, dan jalan hidupnya ! Sesungguhnya orang ‘Arab menganggap ringan masalah pakaian dan makanan. Tetapi mereka menjaga harga diri mereka.”

(Imam ath-Thobari, Tarikh ath-Thobari, juz.3, hal.519

Comment