Polemik Pinjol, Membantu Atau Menjerat?

Opini479 Views

 

 

Oleh : Luthfiah Jufri, S. Si, M. Pd, Pemerhati Sosial Asal Konawe

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Maraknya Pinjaman online (pinjol) saat ini, menjadi salah polemik di tengah masyarakat. Hal ini disebabkan oleh mekanisme pemberian pinjaman dan proses penagihannya yang meresahkan. Alih-alih ingin membantu persoalan keuangan masyarakat, justru menjerat mereka dengan lilitan utang yang berlapis lapis.

Sadar tidak sadar keberadaan pinjol tidak bisa lepas dari kebijakan negara kita saat ini. Diketahui digital ekonomi adalah bagian dari strategi pemerintah untuk memulihkan perekonomian pasca pandemi. Aktifitas pinjol ini sangat menguntungkan bagi perusahaan teknologi finansial (fintech), karena bisa mengambil keuntungan berbasis potongan di awal, bunga dan denda secara akumulasi.

Jadi tidak heran banyak korban yang mengeluhkan praktik ini. Sebut saja Ais, seorang korban pinjaman online, Ais, bercerita kerugian yang dialaminya saat telat bayar pinjaman yaitu fotonya diedit jadi konten porno dan disebar ke semua kontak diponselnya.

Ais saat itu menyebut hendak meminjam uang sebesar Rp3.000.000,- Namun, dana yang dicairkan tak sampai dari jumlah yang ia ajukan. Ais meminjam di salah satu aplikasi Play Store dengan pinjaman 3 juta tapi yang cair hanya Rp. 2.040.000. Ini disampaikan dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya Jakarta Selatan seperti dikutip newsdetik.com, Jumat (22/10/2021).

Lain Jakarta lain Bandung, korban pinjol berinisial TM menderita sakit mental, psikis dan fisik. TM takut menghadapi orang-orang yang sudah diteror (pinjol) yang ada pada phone booknya. Dia pun harus dirawat di RS selama 4 hari karena terkena stroke.

Berdasarkan laporan yang diterima Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jabar, Komisaris Besar Polisi Erdi A Chaniago, korban TM sebagaimana dilansir kompas.com (23/10/2021) mendapati praktek pinjol melalui sebuah aplikasi dan hanya mendapatkan uang pinjaman 50 persen dari yang diajukan. Namun, TM harus mengembalikan uang pinjaman tersebut dengan bunga yang tinggi, hingga tiga kali lipat.

Sungguh, masih banyak lagi korban pinjol yang berseliweran di media. Sehingga penting bagi masyarakat untuk mengetahui fakta rusaknya pinjol ini baik legal maupun illegal.

Dalam Pasal 1 angka 3 POJK 77/2016 menerangkan bahwa layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.

Jika merujuk pada UU tersebut, masyarakat sangat terbantukan dengan keberadaan pinjol. Beratnya beban ekonomi membuat mereka gelap mata. Saat kebutuhan hidup, menuntut dipenuhi, pinjol hadir menawarkan solusi cepat. Uang pendaftaran yang rendah, proses administrasi yang tidak bertele-tele, cukup mengandalkan HP dan jaringan internet uang pun segera cair.

Selain alasan ekonomi, tuntutan gaya hidup menjadi pemicu menjerat diri pada pinjol. Maklum, budaya hedonis makin menggurita di tengah masyarakat didukung dengan pola pikir pragmatis dan sikap konsumtif sehingga membuat sebagian masyarakat tidak bisa menahan diri dari godaan gaya hidup yang terus berkembang.

Mirisnya, meski situasi ini makin parah dan sudah berjalan lama, pemerintah baru bereaksi ketika sudah banyak laporan dari korban. Itupun dengan solusi yang tidak menyelesaikan secara tuntas.

Pemerintah meminta untuk menyetop pelunasan pinjol kepada korban, namun tak memberikan bantuan untuk membayarkannya, lalu siapa yang akan melunasinya sementara mereka para korban dan keluarganya terus saja diteror, diancam akan diculik dan dibunuh. Ngeri!

Seharusnya pemerintah tidak hanya fokus pada perputaran uang yang dijadikan ukuran pertumbuhan ekonomi, tapi cobalah melihat mengapa  mereka melakukan transaksi pinjol yang jelas-jelas berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat.

Selain itu, baik pinjol legal dan ilegal sejatinya sama-sama dilarang agama alias haram. Transaksinya menggunakan praktik ribawi yang dosanya amat besar. Kenapa? Karena ada tambahan bagi salah satu pihak yang beraqad atau tambahan sebagai pengganti dari waktu.

Bila merujuk kepada Islam, maka Islam sangat tegas melarang praktik riba dan mengancam pelakunya dengan sanksi yang berat. Allah telah memperingatkan kita dalam ayatnya :

“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Al Baqarah; 275).

Oleh sebab itu, bagaimana bisa akan tercipta negeri yang sejahtera, berkah dan membawa kebaikan jika sesuatu yang jelas haram justru dilegalisasikan oleh penentu kebijakan.

Islam sudah jelas memberi panduan untuk menjauhi riba dan segera meninggalkannya jika sudah terlanjur terjerat. Negara pun harus berupaya untuk membantu mereka agar keluar dari jeratan hutang dan menindak tegas pelaku pinjol agar tidak bermuamalah lagi dengan sistem ribawi.

Jika memang masyarakat membutuhkan dana, negara mengelompokkan terlebih dahulu mana yang fakir miskin dan golongan mustahik zakat. Mereka akan mendapatkan dana zakat dan bantuan sembako, sandang, pekerjaan, modal usaha atau keterampilan.

Semua ini didukung dengan penerapan ekonomi Islam melalui baitul mall yang  memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.

Demikianlah jika Islam diimplementasikan secara komprehensif,  maka mustahil rakyat meminjam ke sana kemari karena  kebutuhannya telah tercukupi. Wa’allahu’alam bii showab.[]

Comment