Rakyat Antara Pajak Dan Kesejahteraan

Opini537 Views

 

 

Penulis:  Muthi’ah S. TP., MP, Instruktur Enterpreneur IIBS Al-Izzah Batu

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Pajak bagi Indonesia adalah tulang punggung nasional, sehingga jatuh bangunnya suatu negara sangat tergantung bagaimana lihainya negara memungut pajak dari rakyatnya.

Begitulah pernyataan Menteri Keuangan yang bisa dilihat dalam web kemenkue.go.id. Hal ini serupa dengan pernyataan Arthur Vanderbilt, ahli pemerintah Barat, bahwa pajak adalah urat nadi (lifeblood) pemerintah.

Prediksi yang ada, Indonesia akan memiliki masa depan jauh lebih baik jika salah satu instrument fiskal yaitu pajak dipatuhi masyarakat dalam rangka menjaga kedaulatan negara Indonesia.

Maka, tidak aneh jika suatu saat nanti akan ada kebijakan pajak naik, atau pajak akan dikenakan pada komoditas tertentu. Seperti gaduhnya soal wacana Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan dikenakan pada sembako dan Pendidikan untuk menutup defisit APBN.

Melihat definisi, PPN adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen (Kemenkeu.go.id).

PPN ini merupakan jenis pajak tidak langsung yang disetor pedagang dari konsumen yang membeli barang pedagang tersebut.

Pemberlakuan PPN di Indonesia bisa dilihat pada Undang-undang No.8 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dengan perubahan, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 1994, Undang-Undang No.18 Tahun 2000, dan Undang-Undang No. 42 tahun 2009. Lewat legitimasi hukum ini pajak akan bisa dinaikan dan diberlakuan pada komoditas lain.

Rencana pengenaan PPN terhadap sembako akan diatur dalam Pasal 4A draf revisi UU. PPN sembako yang awalnya hanya 10 persen, naik menjadi 12 persen.

Sembako yang rencana dikenakan pajak seperti dilansir kompas.com (/11/06/2021) adalah jagung, sagu, kedelai, beras dan gabah, garam konsumsi, telur, daging, susu, ubi-ubian, buah-buahan, sayur-sayuran, bumbu-bumbuan dan gula konsumsi.

Guna optimalisasi pajak, selain sembako kenaikan PPN sebagaimana dikutip republika  (14/06/2021), juga akan dikenakan pada objek jasa baru seperti jasa pelayanan sosial, jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pengiriman surat dengan prangko, jasa keuangan dan jasa asuransi, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa pendidikan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa tenaga kerja, jasa angkutan udara dalam dan luar negeri, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, serta jasa pengiriman uang dengan wesel pos.

Yustian Prastowo (Staf Khusus Menteri Keuangan) dalam laman kompas.com  (09/06/2021) menyatakan bahwa kenaikan PPN merupakan cara pemerintah untuk mengurangi distorsi dan menciptakan asas keadilan. Kenaikan tarif PPN terhadap barang yang dikonsumsi masyarakat kelas atas akan memberikan fasilitas pajak yang tepat sasaran.

Benarkah kesejahteraan seluruh rakyat akan dapat dirasakan dengan menaikan tarif pajak? Apakah kesejahteraan hanya lips servis belaka? Kenapa tidak dinaikan pada pengusaha besar dan kaum the haves.

Fakta di lapangan, dampak akibat tergoncangnya sektor ekonomi selama pandemi terus menambah pahit derita rakyat. Rakyat terus menanggung beban kehidupan yang semakin berat, seakan jauh dari harapan sejatera.

Mimpi buruk terus menghantui perjuangan menyambung hidup sehari-hari. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Bagaimana tidak, mahalnya biaya kesehatan diikuti PHK dan pemasukan yang tidak menentu diiringi kebutuhan dan pengeluaran yang harus dibayar.

Jika benar pemerintah merealisasikan wacana menaikan pajak kebutuhan pokok yaitu sembako maka sempurnalah penderitaan rakyat ke depan. Penderitaan tiada berujung.

Kenaikan ini mungkin logikanya jika hanya menaikkan pajak pada barang mewah tidak terlalu optimal, tapi jika sembako yang secara jumlah lebih banyak dan frekuensi pembeliannya selalu ada sehingga pajak dalam konteks ini Akan sangat menggiurkan.

Bak peribahasa, tak ada rotan akarpun jadi. Sembako yang menjadi kebutuhan pokok bisa dimanfaatkan juga sebagai pendapatan pajak negara.

Meski pemerintah akan menerapkan skema multitarif dengan rentang lima persen hingga 25 persen agar dinilai lebih adil terhadap masyarakat, banyak pakar yang menilai ini tetap tidak adil.

Seandainya kebutuhan pokok telah terjamin pemenuhannya, mungkin adil. Nyatanya pangan belum berdaulat dan masih banyak perilaku dan tindak korupsi.

Beginilah sistem ekonomi kapitalis, berbagai pungutan. Pajak akan terus digencarkan, meski rakyat miskin terus dikejar dengan beban dan beban.

Jika ini diteruskan untuk kemudian direalisasikan dengan kebijakan yang dipaksakan, mengusik urusan ‘perut’ dan dalih demi kesejahteraan, maka tunggulah akibat yang lebih besar.

Bukankah telah banyak contoh bahwa kondisi sulit dan beban penderitaan masyarakat sering menjadi pemicu munculnya revolusi di banyak negara?

Maka untuk menghindari hal tersebut  harus dicarikan jalan keluar tanpa memberi dan menambah beban rakyat yang sudah sangat berat.[]

Comment