Ratu Himmatun Nazhifah*: Tragedi Berdarah 22 Mei Bukti Bobroknya Demokrasi

Berita374 Views
Ratu Himmatun Nazhifah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Sistem demokrasi saat ini sudah menampakkan kerakusan serta kerusakannya pada dunia. Pesta demokrasi 2019 di Indonesia nyatanya masih belum puas memangsa ratusan korban jiwa usai perhitungan suara. Peristiwa People Power 21-22 Mei yang distimulus oleh kecurangan-kecurangan yang menyertai proses pemilu 2019 juga ternyata menuntut tumbal dari rakyat.
Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Fadli Zon menyebutkan, masyarakat Indonesia kini sedang menghadapi sebuah tragedi di dalam demokrasi Indonesia. “Kita menghadapi sebuah tragedi di dalam demokrasi kita. Sudah jatuh korban dari KPPS, lebih dari 600 orang meninggal yang tidak mendapatkan satu perhatian memadai, kemudian sekarang ada 8 orang, ada juga informasi yang menyebutkan 16 orang yang meninggal di dalam penanganan aksi demonstrasi 21-22 Mei,” ujar Fadli Zon. (wow.tribunnews.com).
Ia lantas menyebutkan adanya sejumlah bukti yang memperlihatkan bahwa ada oknum aparat yang menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power). “Video-video yang beredar di media sosial juga banyak bukti-bukti yang melihat, mempertunjukkan bahwa begitu banyak abuse of power yang terjadi menurut saya dilakukan oleh oknum-oknum, termasuk juga aparat keamanan. Saya melihat itu,” ujar Fadli.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo, tidak dapat menyangkal bahwa telah terjadi kesalahan prosedur dalam yang dilakukan oknum Brimob. Apa yang dilakukan petugas oknum tersebut, tidak dapat dibenarkan. (m.viva.co.id)
Selain warga sipil yang menjadi korban penganiayaan, Forum Zakat (FOZ) yang menaungi 121 organisasi pengelola zakat se-Indonesia angkat bicara terkait penyerangan yang menimpa tim medis Dompet Dhuafa di lokasi aksi massa 22-23 Mei, Jakarta. Dompet Dhuafa merupakan salah satu lembaga kemanusiaan yang terjun langsung ke lapangan untuk membantu korban. Dompet Dhuafa tidak parsial dan pula tidak memihak kelompok politik manapun. Menurut Bambang Suherman, Ketua Umum FOZ, penyerangan yang dilakukan oleh oknum aparat ini patut diduga telah melanggar Pasal 11, Pasal 24-27, Pasal 36, dan Pasal 37 Konvensi Jenewa. (www.republika.co.id)
“Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga telah menyebutkan bahwa terdapat tiga anak tewas pasca aksi 22. Harus ada investigasi mendalam dan menyeluruh untuk mengungkap fakta yang sebenarnya dan segera mengadili para pelaku,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia. Usman Hamid mengatakan, para pelaku kekerasan, apakah itu berasal dari kepolisian maupun pihak-pihak dari luar yang memicu kerusuhan, harus diinvestigasi dan dibawa ke muka hukum untuk diadili. (www.republika.co.id)
Bahkan Kelompok Relawan Kemanusiaan Medical Emergency Rescue Committee atau MER-C, berencana melaporkan aparat Kepolisiann Indonesia ke Mahkamah Internasional. Hal ini, lantaran aksi dugaan kekerasan aparat terhadap warga sipil, termasuk petugas medis dan anak di bawah umur pada aksi 21-23 Mei 2019. MER-C saat ini mengumpulkan sejumlah berkas dan alat bukti yang ada. Beberapa alat bukti di antaranya, peluru tajam yang diduga digunakan oleh aparat di lapangan. Alat bukti lainnya, yakni ditemukannya selongsong peluru karet yang diambil dari pasien yang dioperasi. Selain itu, ditemukan juga timah yang diduga bekas peluru yang berasal dari senjata laras pendek. Selain itu, MER-C juga tengah mengumpulkan keterangan dari saksi yang ada untuk menguatkan laporan yang akan diajukan. 
Relawan medis MER-C, Joserizal menduga Kepolisian juga menggunakan peluru tajam dalam mengamankan aksi unjuk rasa. Hal ini, tentunya tak tepat. Sebab, pihak yang dihadapi adalah rakyat yang tak memiliki senjata dan hanya menyuarakan aspirasinya. Selain itu, Jose menekankan, penyerangan terhadap petugas medis dan para pendemo itu sangat melanggar aturan dan bertentangan dengan Konvensi Jenewa. Berdasarkan Konvensi Jenewa, apabila kondisi berat seperti perang saja, relawan medis, sipil, dan wanita itu dilindungi. Apalagi, hanya aksi demonstrasi yang tak seberat peperangan.
“Perang saja ada etika, apalagi hanya demo. Tak bisa, perang bunuh orang sembarangan. Ini dinyatakan dalam Geneva Convention, meski terjadi kericuhan, tak begitu penanganannya. Menghadapi sipil, tidak dengan cara militer,” kata Jose. (www.viva.co.id)
Dari data di atas cukup menjadi bukti bahwa demokrasi tak seindah teorinya. Kita bisa menyaksikan betapa ‘kebebasan’ yang menjadi asas demokrasi justru memberikan peluang untuk rezim bersikap represif, otoriter dan curang demi mempertahankan kekuasaan untuk kepentingan pribadinya. Sejatinya melanggengkan kepentingan para kapitalis yang berada di belakang rezim untuk merampok kekayaan alam Bumi Pertiwi. Demokrasi hanyalah ilusi dan halusinasi keadilan pada abad ini. Tidak ada prestasi yang diberikan demokrasi pada rakyat, yang ada justru selalu memberikan kesengsaraan yang berujung kematian.
Jika bisa dikatakan bahwa munculnya peristiwa People Power sebenarnya pertanda rakyat sudah muak dengan system demokrasi yang tidak mampu memproteksi diri dari kecurangan. Hanya saja rakyat tidak tahu cara yang ampuh untuk memberantas kecurangan rezim. Padahal tidak akan pernah terjadi perubahan yang mendasar jika solusinya sangat dangkal. 
Kecurangan ini terjadi akibat lemahnya keimanan para pejabat negara dan penegak hukum. Kurangnya kadar keimanan ini terbentuk karena adanya sekulerisasi politik yang membidani lahirnya demokrasi. Dihilangkannya ruh agama di dalam berpolitik. Sehingga wajar jika tidak ada rasa takut pada pribadi para pejabat negara dan penegak hukum untuk berlaku curang. Terbukti dengan banyaknya proses yang tidak sesuai dengan aturan selama pemilu berlangsung sampai pada pengumuman hasil pemilu.
Bahkan dengan alasan untuk menghindari penyebaran berita bohong atau hoax, pemerintah Indonesia mengambil langkah menerapkan restriksi terhadap platform media sosial seperti Facebook, Instagram, Whatsapp dan Twitter dalam beberapa hari selama berlangsungnya aksi People Power. Walaupun pembatasan tersebut telah dicabut oleh pemerintah per 25 Mei 2019, Amnesty International mengingatkan pemerintah bahwa langkah ceroboh tersebut adalah pelanggaran hak orang untuk mendapatkan informasi dan lebih besar lagi adalah pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat. (www.republika.co.id)
Lagi-lagi demokrasi tak bisa memberikan apapun terhadap rakyat. kebebasan yang didengungkan pun nyatanya tak berpihak pada rakyat. Demokrasi hanyalah alat eksploitasi yang soft bagi para kapitalis untuk tetap mempertahankan eksistensinya di negeri berkembang ini. Sudah saatnya rakyat cerdas untuk memilih metode perjuangan yang mampu menumbangkan kecurangan rezim beserta system sampah demokrasi ini. Tidak bisa perjuangan ini hanya sebatas pergantian rezim, jika keran kecurangan itu justru dibuka oleh system yang menopangnya, yakni system demokrasi.
Melihat begitu jelasnya ketidak adilan dan ketimpangan hukum yang terjadi dalam system demokrasi ini, sudah saatnya rakyat menggantinya dengan system yang adil. System agung yang mampu menutup kran-kran kecurangan sampai pada menghentikan cengkraman para kapitalis. Sistem yang memberikan keadilan tanpa memandang status, baik rakyat ataupun pejabat negara, jika mereka melakukan kejahatan maka akan dihukum. 
System yang memberikan keadilan itu adalah system Islam yang merupakan warisan Rasulullah saw. Dari ‘Aisyah ra, beliau menceritakan, Rasulullah saw bersabda: ‘Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.’ (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688).
Sistem yang berasal dari wahyu, tak mungkin memiliki kecacatan seperti system demokrasi ciptaan manusia yang lemah. Sistem Islam yang lebih dikenal dengan Khilafah mampu memproteksi dirinya sendiri dari kecurangan dan ketidak adilan. Jika ada yang berbuat curang maka tidak segan untuk dihukum. Sebagai contoh, kecurangan yang berkaitan dengan harta, maka calon pejabat/pegawai negara akan dihitung harta kekayaannya sebelum menjabat. Selanjutnya saat menjabatpun selalu dihitung dan dicatat harta kekayaan dan penambahannya. Jika ada penambahan yang meragukan, maka diverifikasi apa ada penambahan hartanya itu secara syar’i atau tidak. Jika terbukti dia melakukan kecurangan/korupsi, maka harta akan disita, dimasukkan kas negara dan pejabat/pegawai tersebut akan diproses hukum. (www.muslimahnews.com).
Fragmen-fragmen sejarah membuktikan bahwa sejak era Rasulullah saw. sudah dilakukan audit terhadap para pejabat yang diangkat oleh Rasulullah, baik sebelum maupun setelah diangkat. Misalnya ketika Rasulullah mengaudit kualitas tapung di pasar, ternyata tepung tersebut kering di atas, sedangkan bagian bawah tepung basah, sehingga dilakukan sanksi bagi pelaku secara adil sesuai dengan perbuatannya. Abu Bakar pun melakukan audit terhadap pelaksanaan zakat. 
Pada saat suatu kaum menolak membayar zakat, Abu Bakar menindak orang itu dengan tegas. Contoh audit paling lengkap adalah masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Ia selalu mencatat kekayaan seseorang yang diangkatnya sebagai kepala daerah (wali) sebelum dan sesudah menjadi pejabat. Jika ia meragukan kekayaan seorang pejabat, Umar tidak segan-segan menyita jumlah kelebihan dari jumlah yang telah ditentukan sebagai penghasilannya yang sah. 
Kadangkala pula Umar membagi dua kelebihan kekayaan tersebut. Setengah buat pejabat yang bersangkutan, setengah lagi buat dimasukkan ke baitul mal. (Hawariah Marsah, Cara Khilafah Memberantas Suap-Menyuap, hlm. 120) Berdasarkan laporan bahwa ada kecurangan, Khalifah Umar kemudian membagi kekayaan Abu Hurairah (Gubenur Bahrain), Amru bin Ash (Gubenur Mesir), Nu’man bin Adi (Gubenur Mesan), Nafi’ bin Amr al-Khuzai (Gubenur Makkah), dan lain-lain. Pada zamannya, beliau juga melarang para pejabat berbisnis, agar tidak ada konflik kepentingan. 
Khalifah Umar juga pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan membagi dua, setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah-saat itu menjadi gubernur Syam.(Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm.123).[]
*Mahasiswi UIN SMH Banten, Jurusan Ilmu Tafsir semester 6

Berita Terkait

Baca Juga

Comment