Rekonstekstualisasi Fikih, Ijtihad Atau Justru Merusak Syariat Islam?

Opini752 Views

 

 

 

Oleh: Khaeriyah Nasruddin, S.Sos, Freelance Writer

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Tak ada habis-habisnya umat Islam dikejutkan dengan pernyataan kontroversi, kali ini datang dari seorang pejabat negara, Yaqut Cholil Qoumas, ia menyatakan bahwa fikih islam harus direkontekstualisasi agar sejalan dengan perkembangan zaman.

Hal ini disampaikan dalam acara AICIS (Annual International Conference on Islamic Studies) ke-20 yang digelar oleh Kementerian Agama pada Senin, 25 Oktober 2021.

Adapun tema yang diusung yaitu Islam In A Changing Global Contex: Rethinking Fiqh Reactualization and Public Policy atau reaktualisasi fikih dan kaitannya dengan berbagai kebijakan publik.

Harapan diselenggarakannya acara ini agar memiliki dampak pada penguatan identitas ilmu pengetahuan Islam yang bisa menjadi rujukan dunia Islam di luar sekaligus menjawab dinamika perubahan Islam dunia.

Sebenarnya rekontekstualisasi ataupun reinterpretasi atau rekonstruksi fikih, sama halnya dengan lagu lama yang diulang hanya diubah liriknya agar terlihat intelek. Ide ini sama sekali tidak membuat Islam kuat sebagaimana diharapkan melainkan melemahkan Islam.

Tidak sampai di sini, rekontekstualisasi fikih yang telah diaruskan oleh pemerintah nyata ingin menjauhkan umat dari syariat yang sempurna, Mereka tidak pernah rela ketika Islam memimpin makanya mereka melakukan apapun demi menghancurkan akidah umat.

Di balik semua itu ada tujuan terselubung yang ingin dibuat mengakar, yaitu ingin membuat stigma Islam agar pemikiran sekuler bisa tampil dengan label Islam. Bila melihat kondisi hari ini, fikih tidaklah perlu direkontekstualisasi melainkan butuh diamalkan dan diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan secara sempurna.

Sebagai makhluk kerdil dan terbatas manusia tidak punya formulasi menciptakan aturan untuk mengatur urusannya apalagi ingin merevisi apa yang telah ditetapkan oleh yang menciptakannya, yakni Allah swt.

Bila Allah telah menetapkan ini haram, ia ingin mengganti keharaman menjadi halal, bila Allah menetapkan aturlah hidupmu dengan syariat, ia mengatakan syariat sudah kolot dan tidak sesuai perkembangan. Bukankah ini sama saja dengan mempermainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah? Ini sama saja sikap penentangan!

Adapun ilmu fikih adalah suatu ilmu yang membahas hukum-hukum syara (seperti wajib, sunah, makruf, halal, haram dan mubah) mengenai perbuatan manusia baik dari segi kehidupan pribadi, bermasyarakat ataupun kehidupan dengan Penciptanya, berdasarkan dalil-dalil terperinci dalam nash Al-Qur’an.

Fikih tidak lahir dari buah pikiran manusia sebagaimana pendapat para filosof atau pemikir barat sehingga entengnya direvisi sesuai kehendak, tetapi fikih adalah pemahaman terhadap wahyu yang bersumber pada Al-Qur’an dan hadist yang kebenarannya telah disandarkan kepada Allah swt.

Rekontekstualisasi fikih yang digaungkan saat ini sangat berbeda dengan metode ijtihad. Ijtihad berlaku pada nash syariat yang zhanni, atau pada nash yang mengandung illat (sebab pensyariatan hukum). Sebagai contoh, harta ghanimah (harta rampasan perang) pada masa Rasulullah hanya diberikan kepada orang Muhajirin dan dua orang Anshar saja, tetapi pada masa Abu Bakar harta ghanimah malah diberikan kepada semua umat Islam.

Apakah pada kasus ini Abu Bakar sedang melakukan rekontekstualisasi? Sebenarnya tidak, beliau malah menerapkan hukum syariat sesuai dengan illatnya sebagaimana yang termaktud dalam QS. Al Hasyar: 7
“…agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”

Untuk persoalan lain pula yang bisa dijadikan contoh adalah talak. Pada masa Abu Bakar ucapan talak tiga dianggap sebagai talak satu, sementara pada masa Umar bin Khattab, beliau menetapkan ucapan talak tiga sekaligus sebagai tiga kali talak. Adanya dua pendapat yang berbeda ini terjadi dalam hal ijtihad karena hal ini tidak ada dalil jelas yang menjelaskan sehingga melahirkan perbedaan pendapat.

Perbedaan seperti ini sah-sah saja karena dibolehkan oleh syariat. Meskipun demikian praktik ijtihad memiliki dua batasan yang tidak boleh dilanggar, yaitu pertama, harus menggunakan dalil qathi (al-qur’an, as-sunna, ijmat sahabat dan qiyas). Kedua, tidak melanggar nash qath’i, baik qath’i tsubut (al-Qur’an dan hadist mutawatir) atau dath’i dalallah (penunjukkan maknanya).

Sementara rekontekstualisasi yang dihembuskan saat ini praktinya berbeda, makanya jangan sampai salah tafsir. Lihat saja, seperti desakralisasi fikih, misalnya wacana menetapkan ibadah haji di bulam haram menjadi di bulan Zulhijjah. Ataupun kata kafir yang diganti dengan istilah muwathinun karena dianggap menyakiti sebagian kelompok non muslim.

Sebagai akhir penulis ingin mengutip perkataan dari Abu Al Hasan Ali Al Hasan, “hukum Islam kalau diumpamakan ia seperti kompas, menunjukkan arah yang tetap, sedangkan hukum barat seperti termometer, mengikuti tubuh yang diukur, mengikuti kehendak manusia.”

Sebuah perbedaan jauh. Untuk itulah bagaimanapun cocoklogi ingin dilakukan tetap tidak bisa, selamanya hukum Islam tidak bisa disandarkan dengan hukum barat.

Inilah sistem sekuler kapitalis yang tidak henti membuat dan menyebarkan ide-ide merusak ke tengah-tengah umat. Akibatnya umat makin terjauhkan dari Islam sekaligus syariat karena mengadopsi pemahaman menyimpang yang bukan berasal dari wahyu.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita menghentikan penyebaran ide-ide merusak itu dengan tetap menerapkan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Wallhu ‘alam bissawab.[]

Comment