Resep IMF, Benarkah Mujarab?

Opini522 Views

 

 

Oleh: Hamsina Halik, A. Md*

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Ibarat orang sakit datang berobat, dokter akan memberikan resep agar bisa pulih dan sehat kembali seperti semula. Namun, berbeda dengan resep ala IMF untuk pemulihan perekonomian Indonesia yang terpuruk. Bukannya bangkit dan keluar dari krisis, justru sebaliknya Indonesia semakin jatuh ke dalam jurang krisis yang semakin parah.

Terlebih sejak pandemi covid-19 menghantam negeri ini dan menyebabkan perekonomian limbung. Maka, untuk mengatasi hal tersebut jalan satu-satunya yang ada di benak pemerintah adalah mengajukan pinjaman kepada International Monetary Fund (IMF).

Sebagaimana dilansir kompas.com (18/01/2021), bahwa hingga akhir Desember 2020, Indonesia tercatat memiliki utang sebesar Rp 6.074,56 triliun. Angka itu setara dengan 38,68 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Konsekuensi Utang Luar Negeri

Kata orang Barat yang kapitalistik,  No Free Launch alias tak ada makan siang gratis. Begitulah kira-kira ungkapan yang pantas untuk IMF.

Bantuan dalam bentuk pinjaman yang diberikan kepada Indonesia tak sekadar bantuan semata tapi ada imbalan yang menjadi syarat.

Indonesia harus bersedia bekerja sama dengan lembaga itu melakukan reformasi struktural di bidang ekonomi, yaitu liberalisasi ekonomi.

Selain itu, Indonesia wajib tunduk pada aturan yang dikeluarkan oleh IMF, antara lain: bersedia diawasi oleh lembaga itu.

Oleh karena itu, hingga saat ini – IMF secara rutin melakukan monitoring dan memberikan nasehat kepada pemerintah Indonesia. Meskipun demikian, Indonesia tetap bergandengan mesra dengan IMF.

Adanya negara yang berutang kepada negara yang lain dalam tatanan negara demokrasi kapitalis adalah keniscayaan. Termasuk negeri Indonesia ini.

Paradigma salah tentang utang telah menjerumuskan negara dalam cengkeraman utang luar negeri yang entah sampai kapan bisa keluar.

Utang luar negeri dianggap sebagai pendapatan negara dan dimasukkan ke dalam pos pendapatan negara. Kucuran utang dianggap sebagai bentuk kepercayaan luar negeri terhadap pemerintah, sehingga semakin banyak utang semakin tinggi kepercayaan terhadap negeri ini.

Padahal, sangat jelas telah diketahui bersama bahwa adanya persyaratan-persyaratan yang diajukan oleh lembaga pengutang tersebut saat memberikan pinjaman dan mewajibkan adanya liberalisasi perekonomian.

Dalam hal ini, seminim mungkin peran negara dalam pengaturan ekonomi dan menyerahkannya pada mekanisme pasar. Adapun negara pengutang, tak bisa berbuat apa-apa kecuali mengikuti permainan mereka, yaitu negara atau lembaga pemberi utang (creditor)

Inilah konsekuensi dari utang luar negeri yang harus diterima negara pengutang (debitor). Membuat perekonomian menjadi liberal sesuai arahan negara pemberi utang demi menguntungkan kapitalis dan asing. Maka benarlah, bahwa tak ada yang gratis dalam sistem kapitalis atas semua pinjaman, utang, investasi, dan bantuan apapun namanya. Selalu ada imbalan dan syarat yang harus dipenuhi.

Akibat dari semua itu, keadaan perekonomian yang semakin menurun dari tahun ke tahun berdampak dengan munculnya berbagai persoalan rakyat. PHK  semakin meningkat, harga-harga kebutuhan pokok naik, melemahnya nilai tukar rupiah, eksport menurun, serta daya beli masyarakat turun drastis alias terjun bebas.

Namun hingga saat ini demokrasi yang dipraktekkan Indonesia khususnya, maupun negara-negara di dunia belum menunjukkan tanda-tanda penyelesaian konkrit atas krisis untuk meningkatkan perekonomian rakyat yang riil.

Utang Luar Negeri Dalam Pandangan Islam

Utang yang menumpuk akan memandulkan peran negara. Ini membuktikan bahwa negeri ini tengah didikte oleh asing.

Utang dan investasi ibarat barang mahal dan mewah yang dikejar pemerintah namun dari investasi tersebut,  ekonomi rakyat tetap dalam kondisi lemah.

Beda halnya dengan Islam yang memandang pinjaman atau utang dari negara-negara asing dan lembaga-lembaga keuangan internasional, IMF salah satunya, tidak diperbolehkan oleh hukum syara’. Sebab, pinjaman seperti itu selalu terkait dengan riba dan syarat-syarat tertentu.

Riba diharamkan oleh hukum syara’, baik berasal dari seseorang maupun dari suatu negara. Sedangkan persyaratan-persyaratan yang menyertai pinjaman sama saja dengan menjadikan negara-negara dan lembaga-lembaga donor tersebut berkuasa atas kaum muslim.

Syekh Abdurrahman al-Maliki dalam bukunya Politik Ekonomi Islam dengan tajam mengatakan bahwa utang luar negeri sebenarnya bukanlah bantuan, melainkan senjata politik di tangan negara donor untuk memaksakan politik dan pandangan hidupnya atas negara debitor.

Utang luar negeri untuk pendanaan proyek-proyek adalah cara yang paling berbahaya terhadap eksistensi negeri-negeri Islam dan senantiasa membuat umat menderita akibat bencana yang ditimbulkannya.

Dengan demikian, resep yang diberikan oleh IMF kepada Indonesia bukanlah obat yang manjur melainkan obat yang menimbulkan dampak penyakit lain.

Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia berlepas diri dari dikte asing akibat pemberian utang-utang ini. Dalam hal ini, Indonesia lebih dari sekadar mampu bahkan bisa menjadi negara besar yang berdaulat penuh.

Sebab, Indonesia sudah memiliki modal yang luar biasa dengan berbagai kekayaan alam yang dimiliki serta posisi yang sangat strategis serta penduduk yang mayoritas muslim.

Namun, sangat disayangkan, Indonesia menjadi negara yang kurang percaya diri dan tak ada keberanian untuk melepaskan diri dari cengkeraman asing ini. Salah satunya, berlepas diri dari IMF ini.

Dengan penerapan sistem ekonomi Islam secara kaffah aakan mampu menyelesaikan segala situasi krisis yang menimpa negeri ini.

Dalam sistem keuangan negara, Baitul Maal sebagai tempat pengelolaan keuangan negara dengan pos-pos pendapatan yang berasal dari pengelolaan harta milkiyah ammah, pengelolaan harta negara, pengelolaan zakat mal tanpa pengenaan pajak dan utang.

Menata ulang sistem kepemilikan umum. Saat ini, kepemilikan umum atau harta milik umum berupa segala sumber daya alam dikuasai oleh individu ataupun swasta.

Dalam Islam pengelolaannya akan diserahkan kepada negara dan hasilnya atau manfaatnya dikembalikan kepada rakyat tanpa membedakan laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, orang solih ataupun orang jahat. Rasulullah Saw, bersabda:

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Wallahu a’lam.[]

*Anggota Komunitas Menulis Revowriter

_____

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat menyampaikan opini dan pendapat yang dituangkan dalam bentuk tulisan.

Setiap Opini yang ditulis oleh penulis menjadi tanggung jawab penulis dan Radar Indonesia News terbebas dari segala macam bentuk tuntutan.

Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan dalam opini ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawab terhadap tulisan opini tersebut.

Sebagai upaya menegakkan independensi dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Redaksi Radar Indonesia News akan menayangkan hak jawab tersebut secara berimbang

Comment